AYAM

on Senin, 15 Maret 2010

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keberadaan ternak ayam di Indonesia masih mendominasi, baik dalam hal populasi maupun produktivitas (telur dan daging), hal tersebut mampu meningkatkan pembangunan peternakan perunggasan di Indonesia pada khususnya dan pembangunan peternakan secara umum. Berdasarkan informasi dari majalah Agrina edisi November 2007, bahwa tahun 2008 diperkirakan akan mengalami peningkatan baik populasi layer maupun produksi telur. DOC layer akan meningkat sebesar 6,3 % atau meningkat sekitar 68 juta ekor dibanding tahun 2007 yang hanya berada pada angka 64 juta ekor. Begitu juga dengan produksi telur akan meningkat menjadi 1,435 juta ton dibanding tahun 2007 yang hanya mencapai 1,332 juta ton atau meningkat sebesar 7,7 %.
Adanya peningkatan produksi telur tentunya harus diimbangi dengan pemeliharaan yang baik, tetapi karena adanya gangguan dalam usaha pemeliharaan ayam, yaitu berupa gangguan kesehatan ternak ayam ataupun stress sehingga menyebabkan produktivitas ternak menurun dan kematian ternak ayam meningkat tajam. Stres panas pada ayam petelur sering terjadi pada peternakan daerah tropis dan apabila tidak ditangani, stres pada ayam petelur akan menurunkan penampilan produksi.
Stres panas pada ayam petelur akan menurunkan tampilan produksi karena berkaitan langsung dengan perubahan-perubahan fisiologik dan biokimiawi dalam tubuh ayam. Temperatur yang tinggi dan musim panas yang panjang pada negara tropis seperti Indonesia dapat menimbulkan stres dan membangkitkan adaptasi perilaku (behavior), fisiologik dan biokimiawi pada tubuh ayam, yang semuanya memerlukan energi yang pada akhirnya menurunkan penampilan (performance) ayam petelur.
Ayam petelur memiliki temperatur optimum untuk produksi adalah 18-21 ºC. Apabila temperatur lingkungan lebih dari 24 ºC dalam periode yang cukup lama selama musim kemarau, maka akan menyebabkan produksi dan berat telur serta kualitas kerabang akan menurun sehingga pada gilirannya akan meningkatkan konversi pakan yang merugikan secara ekonomis bagi peternak. Hal ini sebagai akibat menurunnya nafsu makan ayam, sehingga zat-zat gizi yang diperlukan tubuh berkurang.
Perubahan behavior pada ayam yang diamati selama stres panas antara lain : hiperventilasi (panting), yaitu meningkatnya kecepatan respirasi sampai lebih dari 20 kali per menit. Aktivitas tubuh berkurang, sedikit makan, banyak minum untuk menurunkan suhu tubuh. Penurunan konsumsi pakan membuat asupan nutrisi pakan juga berkurang sehingga imbasnya pada penurunan kualitas performance produksi. Adaptasi perilaku ayam petelur terjadi pada suhu 24-30 ºC. Di atas suhu tersebut ayam sudah tidak mampu lagi mengatasi suhu tubuh yang terus meninggi, sehingga pada tahap tersebut akan terjadi adaptasi berupa perubahan biokimiawi, seperti penurunan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan vitellogenic, yang merupakan faktor penting untuk sintetis kuning telur, dengan demikian secara praktis berat dan ukuran kuning telur akan berkurang.
Selama stres panas metabolisme dalam tubuh berlangsung cepat sehingga membutuhkan banyak oksigen (O2). Oksidasi asam lemak (glukoneogenesis) meningkat untuk memenuhi tuntutan energi. Diketahui pula bahwa stres panas dapat menurunkan kekebalan tubuh, karena terbentuk radikal bebas, seperti ion hidroksil (OH‾). Radikal bebas ini menyebabkan gangguan metabolisme dan gangguan sel berupa gangguan fungsi DNA, sehingga menyebabkan mutasi atau sitotoksik dan perubahan aktivitas enzim.
Radikal bebas juga menyebabkan kerusakan sel dengan cara oksidasi lipid, terutama asam-asam lemak tidak jenuh rantai panjang (poly unsaturated fatty acid). Homeostasis Kalium (K) mengalami perubahan selama stres panas. Konsentrasi K dalam plasma menurun, hal ini disebabkan oleh ekskresi K yang meningkat tetapi retensi K menurun. Terjadi kompetisi ion-ion K+ dan H+ yang diekskresi ginjal. Selama stres panas, pusat respirasi di otak bekerja lebih giat. Kebutuhan oksigen meningkat dan kecepatan respirasi meningkat sehingga terjadi panting. Panting ini menyebabkan hilangnya air dalam tubuh melalui sistem respirasi. Hal ini disertai dengan viskositas darah yang meningkat, konsentrasi CO2 dalam darah menurun sehingga respirasi bersifat alkalosis.
Selain itu juga terjadi penurunan ion bikarbonat, sehingga ketebalan kerabang telur menurun. Ketahanan panas yang semakin turun pada akhirnya menyebabkan kematian. Adaptasi fisiologik tubuh ayam selama stres panas dicirikan oleh meningkatnya hormon Adreno Cortico Trophic Hormone (ACTH). Kortex adrenal akan terangsang mensekresikan corticosteroid yang akan mempengaruhi membran sel-sel hati. Temperatur yang tinggi akan menurunkan intake pakan, karena proses pengambilan pakan (preherensi), pencernaan (digesti) dan metabolisme yang menurun. Ayam akan kekurangan zat-zat gizi sehingga jumlah dan ukuran telur serta kualitas kerabang menurun. Defisiensi asam amino lisin akan semakin meningkatkan suhu tubuh.
Penyebab kematian ayam dapat berawal dari menurunnya kondisi tubuh. Terjadinya kerusakan-kerusakan sel akibat kondisi tubuh yang buruk dapat menyebabkan penyakit bahkan kerusakan salah satu atau beberapa organ vital pada ternak, misalnya hati, jantung serta saluran pencernaan. Menurut penelitian Jawi dkk., (2007) bahwa kerusakan sel kemungkinan terjadi akibat oxidative stress sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan, yang merupakan efek dari serangan radikal bebas. Kadar radikal bebas dalam tubuh ternak ayam terus meningkat melalui beberapa proses antara lain pengaruh sinar matahari, radiasi, dan toksin. Akibat radikal bebas itulah yang menyebabkan kerusakan sel ternak ayam sehingga kematian ayam pun sulit untuk dihindari.
Menurunnya tingkat populasi ternak ayam akibat adanya kematian akan menurunkan pendapatan usaha. Upaya preventif sebagai langkah untuk meminimalisir kerugian secara medis dapat ditempuh dengan memberikan asupan pakan yang mampu menjaga kestabilan tubuh serta keseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan. Suplemantasi pakan ayam yang kaya dengan kandungan antioksidan akan menambah kadar antioksidan dalam tubuh ternak ayam, dengan harapan mampu menangkal pengaruh radikal bebas. Salah satu solusi yang mudah dan murah adalah dengan memanfaatkan tanaman yang sering digunakan juga untuk pakan ternak, serta mempunyai kandungan flavonoid berupa zat warna sebagai antioksidan, yaitu buah ubi jalar varietas unggu (Ipomoiea batatas Poiret).
Pemberian ubi jalar ungu dapat dilakukan melalui pakan atau air minum. Suplementasi pada pakan dapat berupa tepung sedangkan pemberian melalui air minum dapat dilakukan dengan cara mengekstraksinya. Ekstraksi ubi jalar ungu dengan teknik perebusan hanya merusak kandungan zat kimia sebesar 10%, namun apabila melalui pengeringan dapat merusak zat antioksidan mencapai 20%. Upaya pemberian ekstrak ubi jalar ungu pada ayam dapat menambah jumlah antioksidan anthosianin dalam tubuh ayam. Menurut hasil penelitian Suprapta (2004) bahwa ektrak ubi jalar ungu mengandung anthosianin cukup tinggi yaitu sekitar 110 mg sampai 210 mg/100 gram.
Potensi ubi jalar ungu sebagai sumber daya lokal sangat bagus, namun belum banyak dimanfaatkan untuk ternak sementara budidaya tanaman ini tidak sulit untuk dikembangkan maka pemanfaatan khasiat antioksidan dari air umbi ubi jalar ungu pada ayam perlu diupayakan. Upaya tersebut ditujukan untuk menjaga kondisi tubuh ayam agar tidak terjadi kerusakan sel ataupun organ, terutama hati, mengingat hati merupakan organ yang besar dalam tubuh dan memiliki fungsi yang amat penting dan rentan terhadap pengaruh radikal bebas. Pemanfaatan anthosianin dari ekstraksi ubi jalar ungu untuk ayam petelur diharapkan juga dapat menjaga kualitas telur agar tetap baik serta dapat menghasilkan telur ayam yang memiliki kandungan anthosianin sebagai antioksidan.


Perumusan Masalah
Gangguan kesehatan pada ternak ayam petelur menjadi polemik dan permasalahan yang sering terjadi pada masa-masa pemeliharaan, oleh karena itu tidak sedikit pula terjadi kematian ayam akibat terserang penyakit. Timbulnya penyakit tersebut diduga berawal dari rusaknya sel bahkan beberapa organ akibat pengaruh radikal bebas yang berada pada tubuh ternak tersebut. Peningkatan radikal bebas pada tubuh ayam menyebabkan ketidakseimbangan antara prooksidan dan antiokasidan sehingga menyebabkan oxidative stress. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan sel serta disfungsi berbagai organ dalam tubuh ayam, termasuk hati. Upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi pengaruh radikal bebas pada ternak ayam petelur adalah dengan penggunaan ekstrak ubi jalar ungu. Radikal bebas yang ada dalam tubuh ternak ayam akan berkurang karena adanya intervensi dari zat antioksidan yang dikandung oleh ubi jalar ungu yaitu kandungan flavonoid berupa zat warna yang dinamakan anthosianin. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan :
a. Apakah ektraksi ubi jalar ungu dengan kandungan anthosianin sebagai zat antioksidan mampu menangkal radikal bebas dalam tubuh ternak ayam petelur.
b. Bagaimana mekanisme anthosianin sebagai antioksidan dalam menangkal pengaruh radikal bebas pada ayam petelur.
c. Bagaimana potensi anthosianin dari ekstraksi ubi jalar ungu sebagai antioksidan ditinjau dari aspek ekonomi.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah :
a. Mengetahui potensi anthosianin dari ekstraksi ubi jalar ungu sebagai zat antioksidan dalam menghambat pengaruh radikal bebas pada ternak ayam petelur
b. Mengetahui mekanisme kerja anthosianin sebagai antioksidan dalam menghambat pengaruh radikal bebas pada ternak ayam petelur.
c. Mengetahui potensi secara ekonomi dari anthosianin sebagai antioksidan

Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah :
a. Memberikan informasi tentang upaya diversifikasi tanaman pertanian sebagai alternatif pemecahan masalah dalam dunia peternakan.
b. Sebagai bahan informasi ilmiah mengenai potensi ubi jalar ungu melalui kandungan anthosianin dalam peranannya sebagai antioksidan untuk menghambat pengaruh radikal bebas pada ternak ayam petelur.













TELAAH PUSTAKA
Ubi Jalar Ungu (Ipomoiea batatas Poiret)
Ubi jalar termasuk famili Convolvulaceae dan merupakan tanaman palawija. Bentuk ubi jalar biasanya bulat sampai lonjong dengan permukaan rata sampai tidak rata. Bentuk ubi jalar yang ideal adalah lonjong agak panjang dengan berat antara 200 – 250 gram per buah. Warna kulit dan daging ubi jalar beragam, yaitu antara putih, kuning, merah sampai ungu (Rukmana, 1997).
Ubi jalar merupakan tanaman pangan lokal yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan karena budidayanya mudah, daya adaptasinya luas dan sudah dibudidayakan di seluruh provinsi di Indonesia. Produktivitas ubi jalar cukup tinggi dibandingkan dengan beras maupun ubi kayu. Ubi jalar dengan masa panen 4 bulan dapat berproduksi lebih dari 30 ton/Ha, tergantung dari bibit, sifat tanah dan pemeliharaannya. Produktivitas ubi jalar nasional saat ini rata-rata baru mencapai 12 ton/Ha, tetapi masih lebih besar jika dibandingkan dengan produktivitas gabah (± 4.5 ton/Ha) atau ubi kayu (± 8 ton/Ha), padahal masa panen lebih lama dari masa panen ubi jalar (Jamrianti, 2007). Produktivitas ubi jalar di beberapa pulau di Indoesia disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas ubi jalar di Indonesia tahun 200.
Wilayah Luas panen
(ha) Produksi
(ton) Produktivitas
(ton/ha)
Sumatera 46.409 456.830 9,8
Jawa 69.482 856.347 12,3
Bali, Nusa Tenggara dan Timor Timur 23.984 224.069 9,3
Kalimantan 8.611 77.911 9,1
Sulawesi 17.341 156.119 9,0
Maluku dan Jayapura 29.668 303.384 10,2
Sumber : BPS (2005)
Informasi dari tabel tersebut menunjukkan bahwa produktivitas ubi jalar di Indonesia cukup tinggi, dan di wilayah Jawa termasuk produksi tertinggi dibanding wilayah yang lain. Data tersebut sebagai indikasi bahwa jumlah yang melimpah akan memudahkan untuk mengupayakan pemanfaatan yang lebih optimal dari ubi jalar ungu dalam rangka pendayagunaan potensi lokal.
Kandungan Nutrien Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, yaitu sekitar 123 kkal (Hernowo, 1994). Ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan mineral, vitamin yang terkandung dalam ubi jalar antara lain vitamin A, vitamin C, thiamin (vitamin B1), dan riboflavin. Kandungan mineral dalam ubi jalar diantaranya adalah zat besi (Fe), fosfor (P), dan kalsium (Ca). Kandungan lainnya adalah protein, lemak, serat kasar dan abu. Total kandungan anthosianin bervariasi pada setiap tanaman dan berkisar antara 20 mg/100 g sampai 600 mg/100 g berat basah. (Kumalaningsih, 2007).
Dikenal beberapa jenis ubi jalar, yang paling umum adalah ubi jalar putih. Selain itu ada juga yang ungu maupun merah. Dibanding ubi jalar putih, tekstur ubi jalar ungu memang lebih berair dan kurang masir (sandy), tapi lebih lembut. Rasanya tidak semanis yang putih padahal kadar gulanya tidak berbeda. Ubi jalar putih mengandung 260 mg (869 SI) betakaroten per 100 gram, ubi merah yang berwarna kuning emas tersimpan 2900 mg (9675 SI) betakaroten, ubi merah yang berwarna jingga 9900 mg (32967 SI). Makin pekat warna jingganya, makin tinggi kadar betakarotennya yang merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh (Apriadji, 2008).
Banyaknya varietas ubi jalar, dengan komposisisi zat gizinya yang hampir sama dan lengkap (Tabel 2), tetapi varietas ubi jalar ungu lebih kaya akan kandungan vitamin A yang mencapai 7.700 mg per 100 g. Ratusan kali lipat dari kandungan vitamin A bit dan 3 kali lipat dari tomat (Apriadji, 2008).
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas Poiret) biasa disebut Ipomoea batatas blackie karena memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman (ungu pekat) (Gambar 2). Ubi jalar ungu mengandung pigmen anthosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain. Pigmennya lebih stabil bila dibandingkan anthosianin dari sumber lain seperti kubis merah, elderberries, blueberries dan jagung merah. Kandungan nutrien ubi jalar ungu lebih tinggi bila dibandingkan ubi jalar varietas lain, terutama kandungan lisin, Cu, Mg, K, Zn rata-rata 20% (Sutomo, 2007), sedangkan total kandungan anthosianin ubi jalar ungu adalah 519 mg/100 g berat basah (Kumalaningsih, 2007).
Tabel 2. Kandungan nutrien ubi jalar ungu dibanding dengan ubi kayu dan jagung per 100 gr bahan.
Bahan Kalori
(kal) KH
(g) Protein
(g) Lemak
(g) Vit A
(SI) Vit C
(mg) Ca
(mg)
Ubi jalar ungu 123 27.9 1.8 0.7 7700 22 30
Ubi kayu 360 78.9 6.8 0.7 0 0 6
Jagung kuning 361 72.4 8.7 4.5 350 0 9
(sumber : Hernowo dkk. (1994)
Selain dari tabel di atas, ubi jalar ungu memiliki kandungan fosfor 49 mg, besi 0,7 mg, dan vitamin B1 0,09 mg. Kandungan betakaroten, vitamin E dan vitamin C bermanfaat sebagai antioksidan pencegah kanker dan beragam penyakit kardiovaskuler (Apriadji, 2008). Ubi jalar ungu juga kaya akan karbohidrat dan energi yang mampu mengembalikan tenaga. Kandungan serat dan pektin di dalam ubi jalar ungu sangat baik untuk mencegah ganguan pencernaan. Selain betakaroten, warna ungu pada ubi jalar juga memberi isyarat akan tingginya kandungan senyawa lutein dan zeaxantin, pasangan antioksidan karotenoid. Keduanya termasuk pigmen warna sejenis klorofil yang merupakan pembentuk vitamin A. Lutein dan zeaxantin merupakan senyawa aktif yang memiliki peran penting menghalangi proses perusakan sel. Zat gizi lain dalam ubi jalar ungu adalah kalium, mangan dan vitamin B6 (Sutomo, 2007).
Jawi dkk. (2007) melaporkan bahwa selain memiliki kandungan vitamin A, C dan E, ubi jalar ungu juga mempunyai zat flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan yaitu zat warna alami yang disebut anthosianin. Damanhuri dkk., (2005) mengidentifikasi jumlah kandungan anthosianin dalam ubi jalar varietas ungu melalui responnya pada beberapa lingkungan tumbuh yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hasil ubi sangat dipengaruhi oleh elevasi dan tingkat naungan. Kandungan anthosianin meningkat sejalan dengan bertambahnya elevasi hingga 950 m dpl, namun hasil anthosianin per satuan luas sangat dibatasi oleh hasil ubi yang nyata menurun dari 600 m dpl ke 950 m dpl. Klon-klon ubi jalar kaya anthosianin memberikan tanggap serupa terhadap perlakuan penaungan untuk kandungan anthosianin dan hasil ubi dengan toleransi penaungan hingga 40 %. Pemupukan nitrogen sebesar 100 kg N/ha, baik dengan pupuk Urea, ZA dan KNO3 pada klon-klon kaya anthosianin tidak mempengaruhi kandungan anthosianin dan hasil anthosianin per satuan luas tergantung pada potensi hasil klon. Menurut hasil penelitian Suprapta (2004) menunjukkan bahwa kandungan anthosianin dari umbi ubi jalar ungu adalah bervariasi antara 110 mg/100 gram sampai 210 mg/100 gram umbi segar.
Manfaat Anthosianin
Pemanfaatan ubi jalar untuk ternak lebih banyak digunakan sebagai pakan, karena kandungan kalorinya yang cukup bagus dan mengandung serat yang tinggi pula. Penggunaan dalam bentuk pakan biasanya diolah menjadi tepung untuk bahan pembuatan konsentrat. Penggunaan dalam bentuk segar lebih banyak dimanfaatkan untuk ternak ruminansia, seperti kambing dan sapi. Menurut Sutardi dkk. (2003) penggunaan ubi jalar dalam bentuk segar banyak diberikan untuk ternak ruminansia karena mampu memenuhi kebutuhan energi, serat dan mineral.
Kandungan anthosianin yang tinggi pada ubi jalar ungu serta mempunyai stabilitas yang tinggi dibanding anthosianin dari sumber lain, membuat tanaman ini sebagai pilihan yang lebih sehat dan sebagai alternatif pewarna alami. Beberapa industri pewarna dan minuman berkarbonat menggunakan ubi ungu sebagai bahan mentah penghasil anthosianin. Selain itu juga industri ice cream, minuman beralkohol dan roti. Ubi jalar ungu juga telah dikembangkan dalam bentuk produk ice juice, sirup dan anggur asam (Apriadji, 2007).
Suardi (2005) menyatakan bahwa anthosianin ubi jalar ungu juga memiliki fungsi fisiologis seperti antioksidan, antikanker, antibakteri, perlindungan terhadap kerusakan hati, penyakit jantung dan stroke. Ubi jalar ungu bisa menjadi antikanker karena di dalamnya ada zat aktif yang dinamakan selenium dan iodin dan dua puluh kali lebih tinggi dari jenis ubi yang lainnya. Ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri 2,5 dan 3,2 kali lebih tinggi daripada beberapa varietas “blueberry” sehingga mampu menangkal radikal bebas. Ubi jalar ungu juga baik untuk mendorong kelancaran peredaran darah (Kumalaningsih, 2007).
Anthosianin sebagai Antioksidan
Anthosianin berasal dari bahasa Yunani yaitu “anthos” yang berarti bunga dan “kyanos” yang berarti biru gelap dan termasuk senyawa flavonoid. Senyawa ini merupakan sekelompok zat warna berwarna kemerahan yang larut di dalam air dan tersebar sangat luas di dunia tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu dapat digunakan sebagai pewarna alami yang tersebar luas dalam tumbuhan (bunga, buah-buahan, dan sayuran). Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air adalah penyebab hampir semua warna merah, oranye, ungu, dan biru.
Warna ini biasanya tidak dibentuk oleh satu pigmen, seringkali lebih dari satu kombinasi atau sistem dari pigmen. Sebagai contoh blueberries terdiri dari 10-15 pigmen yang berbeda. Umumnya buah-buahan dan sayur-sayuran terdiri dari 4-6 pigmen.
Secara kimiawi, semua anthosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal , yaitu “cyanidin” (sianidin), dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi (Gambar 1). Anthosianidin adalah aglikon anthosianin yang terbentuk bila anthosianin dihidrolisis dengan asam. Anthosianidin yang paling umum dipakai sampai saat ini adalah sianidin yang berwarna merah lembayung. Perbedaan warna alami pigmen ini dipengaruhi oleh hidroksilasi dan metilasi. Hidroksilasi meningkatkan warna biru sedangkan metilasi meningkatkan warna merah (Kumalaningsih, 2007).
OH OH


Gambar 1. Struktur aromatik anthosianin
Jenis gula yang ditemui pada molekul anthosianin adalah glukosa, rhaminosa, galaktosa, xylosa, dan arabinosa. Anthosianin berperan sebagai pewarna alami makanan, namun tidak hanya sebatas sebagai pewarna makanan saja. Hal ini disebabkan anthosianin memiliki kandungan yang mempunyai fungsi fisiologis, yaitu selenium dan iodin sebagai substansi antikanker, dan sebagai antioksidan serta perlindungan terhadap penyakit jantung. Anthosianin juga berperan sebagai pangan fungsional, tersedia dalam bentuk minuman ataupun suplemen.
Aplikasi anthosianin sebagai pewarna makanan dan minuman dapat dilakukan pada pH rendah seperti untuk minuman ringan, minuman beralkohol, manisan, saos, pikel, makanan beku atau kalengan serta yoghurt.
Damanhuri (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas anthosianin adalah oksigen, pH, temperatur, cahaya, ion logam, enzim, dan asam askorbat. Stabilitas anthosianin dipengaruhi panas sensitif. Kecepatan kerusakan anthosianin lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi (> 100 ºC). Anthosianin adalah indikator alami dari pH, apabila dalam media asam tampak merah, tetapi saat pH meningkat menjadi lebih biru. Warna dari anthosianin biasanya lebih stabil pada pH dibawah 3,5. Pigmen anthosianin stabil pada pH 1-3. Pada pH 4-5, anthosianin hampir tidak berwarna. Kehilangan warna ini bersifat reversibel dan warna kemerahan akan kembali ketika suasana asam.
Anthosianin adalah zat warna alami yang bersifat sebagai antioksidan yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Warna ungu pada ubi jalar disebabkan oleh adanya zat warna alam yang disebut anthosianin. Anthosianin merupakan salah satu zat antioksidan yang mampu mencegah berbagai jenis kerusakan akibat oxidative stress (Jawi dkk., 2007).
Antioksidan merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya dengan cuma-cuma kapada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas. Terdapat tiga macam antioksidan yaitu: 1). Antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutathione peroxidase dan katalase. 2). Antioksidan alami yang dapat diperoleh dari tanaman atau hewan yaitu tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik. 3). Antioksidan sintetik, yang dibuat dari bahan-bahan kimia yaitu Butylated Hidroxyanisole (BHA), yang ditambahkan dalam makanan untuk mencegah kerusakan lemak (Kumalaningsih, 2007). Berbeda menurut Jawi dkk. (2007) bahwa antioksidan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik disebut juga antioksidan pencegah, yang terdiri dari superoxide dismutase, catalase dan glutathione peroxidase, sedangkan antioksidan non enzimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai. Antioksidan pemecah rantai terdiri dari vitamin C, vitamin E dan betakaroten.
Hariyatmi (2004) menyatakan bahwa antioksidan merupakan zat yang dapat menetralkan radikal bebas, atau suatu bahan yang berfungsi mencegah sistem biologi tubuh dari efek yang merugikan yang timbul dari proses ataupun reaksi yang menyebabkan oksidasi yang berlebihan.

Radikal Bebas pada Ayam Petelur
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas pada ayam petelur dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti zat kimiawi dalam pakan (Wikipedia, 2008). Radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh hewan, seperti ayam mampu menyebakab penyakit bahkan bersifat kronis, contohnya radang hati. Radikal bebas mampu merusak sel-sel hati, sehingga untuk mencegah atau mengurangi gangguan akibat radikal bebas tersebut diperlukan antioksidan (Prabowo, 2007).
Droge (2002) melaporkan bahwa radikal bebas diyakini dapat menyebabkan kerusakan sel dan komponen sel seperti lipid, protein, DNA serta menyebabkan mutasi dan bersifat karsinogenik. Menurut Jawi dkk., (2007) bahwa produksi radikal bebas akan terus meningkat setelah melakukan berbagai aktivitas fisik yang berat sehingga terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan yang selanjutnya dapat menimbulkan oksidative stress.
Ayam dalam kondisi normal memproduksi radikal bebas (prooksidan) sebagai proses fisiologis yang seimbang dengan antioksidan endogen yang tersedia. Radikal bebas merupakan bahan karsinogen yang menimbulkan mutasi gen sehingga dapat menginduksi terjadinya kanker. Peningkatan produksi radikal bebas memiliki efek samping, yaitu kerusakan molekul-molekul pada sel sehingga menimbulkan sitolisis termasuk pada limfosit B dan limfosit T sehingga dapat menyebabkan sistem imun pada tubuh menurun (Samsi, 2007).
Ayam petelur yang mangalami stress panas dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh, karena terbentuk radikal bebas, seperti ion hidroksil (OH-). Radikal bebas tersebut menyebabkan gangguan metabolit dan gangguan sel berupa gangguan fungsi DNA, sehingga menyebabkan mutasi atau sitotoksik dan perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas juga menyebabkan kerusakan sel dengan cara oksidasi lipid, terutama asam-asam lemak tidak jenuh rantai panjang (poly unsaturated fatty acid). Homeostasis Kalium (K) mengalami perubahan selama stres panas. Konsentrasi K dalam plasma menurun, hal ini disebabkan oleh ekskresi K yang meningkat tetapi retensi K menurun, oleh karena itu terjadi kompetisi ion-ion K+ dan H+ yang diekskresi ginjal.
Akibat pengaruh radikal bebas, pusat respirasi di otak bekerja lebih giat dan kebutuhan oksigen meningkat serta kecepatan respirasi meningkat sehingga terjadi panting. Dampak dari panting ini menyebabkan hilangnya air dalam tubuh melalui sistem respirasi. Hal ini disertai dengan viskositas darah yang meningkat, konsentrasi CO2 dalam darah menurun sehingga respirasi bersifat alkalosis. Selain itu juga terjadi penurunan ion bikarbonat, sehingga ketebalan kerabang telur menurun. Ketahanan panas yang semakin turun pada akhirnya menyebabkan kematian ayam.
Stress panas yang dialami ayam petelur menyebabkan terjadinya perubahan perilaku, seperti hiperventilasi (panting) yaitu meningkatnya kecepatan respirasi sampai lebih dari 20 kali per menit. Adaptasi perilaku terjadi pada kisaran suhu 24 – 30 ºC, lebih dari suhu tersebut ayam sudah tidak mampu lagi untuk mengatasi suhu tubuh yang terus meninggi akibatnya metabolisme dalam tubuh ayam petelur semakin cepat sehingga membutuhkan banyak oksigen. Tuntutan tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi terus meningkat sejalan dengan meningkatnya metabolisme tubuh, sehingga sangat memungkinkan terjadinya oksidasi asam lemak. Proses tersebut dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya dapat mengakibatkan kekebalan tubuh akan menurun. Serangkaian proses tersebut pada akhirnya akan menyebabkan gangguan metabolisme yang pada saat itu juga sedang berlangsung (Prabowo, 2007).



METODE PENULISAN

Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan malakukan kajian pustaka serta observasi/kajian lapang, serta data olahan berdasarkan pustaka yang ada. Data-data penulisan berasal dari textbook, artikel, jurnal ilmiah, hasil-hasil penelitian ilmiah, dan on line internet serta sumber data lainnya yang mendukung penulisan ini.
Pengolahan Data
Data-data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan pendekatan penulisan yang bersifat deskriptif analisis, yaitu :
a. Mengidentifikasi permasalahan yang ada kamudian dibandingkan dengan teori dan pustaka yang mendukung.
b. Menganalisis permasalahan berdasarkan teori dan pustaka serta data pendukung, kemudian mencari alternatif pemecahan masalah berdasarkan perumusan masalah.
c. Menentukan kesimpulan dari hasil analisis kemudian menentukan rekomendasi-rekomendasi yang dapat digunakan untuk kesempurnaan penulisan berikutnya.
Analisis dan Sintesis Data
Karya tulis ini dianalisis dengan melalui beberapa tahap, antara lain :
1. Penggalian ide dan penyusunan gagasan serta penyiapan data yang diperlukan.
2. Analisis permasalahan-permasalahan berdasarkan objek penulisan yang telah ditentukan, yang dituangkan melalui latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan hingga uraian teori dan konsep berdasarkan pustaka yang relevan.
3. Pengumpulan data dan informasi yang mendukung objek penulisan.
4. Melakukan analisis berdasarkan permasalahan yang ada, kemudian memberikan solusi alternatif pemecahan masalah.
Ruang Lingkup Penulisan
Karya tulis ini mengambil sasaran atau ruang lingkup penulisan berupa aspek nutrisi dan kesehatan ternak, yaitu penggunaan zat warna anthosianin dalam ubi jalar ungu yang dimanfaatkan sebagai zat antioksidan untuk menangkal pengaruh radikal bebas pada ternak ayam petelur.














ANALISIS DAN SINTESIS

Analisis
Anthosianin dari Ekstraksi Ubi Jalar Ungu
Anthosianin terdapat pada buah-buahan, kacang-kacangan, padi-padian, serealia, sayuran, dan beberapa bahan pangan lainnya. Ubi jalar ungu yang rasanya manis mengandung anthosianin yang berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik, hepatoprotektif, antihipertensi dan antihiperglisemik (Suda et al. 2003). Kandungan anthosianin pada ubi jalar ungu lebih tinggi daripada ubi jalar yang berwarna putih, kuning, dan jingga. Di antara beberapa ubi jalar, warna ungu merupakan sumber pigmen antosianin dengan produksi dan kestabilan warna yang tinggi. Warna pigmen anthosianin berbeda-beda, bergantung pada pH larutan medianya. Warna merah, ungu dan biru disebabkan pH larutan berturut-turut bersifat asam, netral dan alkalis. Kobori (2003) meneliti beberapa umbi-umbian yang mengandung pigmen anthosianin dan pengaruhnya pada serangan radikal bebas.
Anthosianin dari ubi jalar ungu dapat diperoleh dengan cara mengekstraksi buah ubi jalar ungu segar. Ekstraksi ubi jalar ungu dapat dilakukan dengan cara perebusan dan pengeringan. Ekstraksi dengan teknik perebusan hanya merusak kandungan zat kimia sebesar 10%, namun apabila melalui pengeringan dapat merusak zat antioksidan mencapai 20% (Jawi dkk., 2007). Efektivitas anthosianin dalam menangkal pengaruh radikal bebas akan lebih baik apabila ekstraksi dengan cara perebusan dibanding pengeringan (Kumalaningsih, 2007).
ekstrak ubi jalar ungu segar dibuat dengan mencuci dan mengupas umbi ubi jalar ungu segar, kemudian dipotong-potong dengan ukuran 2x2x2 cm. Ubi jalar tersebut ditimbang 100 gram dan ditambah 1 liter aquades lalu diblender selama 5 menit. Hasil blenderan ini disaring dengan 3 lapis kain saringan kemudian dipanaskan hingga mendidih lebih kurang 45 menit. Kandungan anthosianin dari ekstrak ini adalah 42,5 – 47,7 mg/100 ml (Suprapta, 2004).
Variasi ekstraksi juga dapat dilakukan melalui pembuatan sirup ubi jalar ungu dengan prosedur sebagai berikut : umbi ubi jalar ungu dicuci dengan air bersih kemudian dikupas kulitnya. Setelah dikupas ubi jalar dipotong-potong melintang dengan ketebalan 2 – 2,5 cm. Potongan ubi jalar tersebut dikukus selama 1 jam hingga lunak. Ubi jalar tersebut didinginkan kemudian ditempatkan dalam suatu tempat untuk dilakukan fermentasi dengan menambahkan ragi tape. Fermentasi ini dilakukan selama 4 hari. Hasil fermentasi (tape) tersebut dicampur dengan air minum yang bersih dengan perbandingan 1 kg ubi jalar ( tape) ditambah air 2 liter lalu diblender dan disaring dengan tiga lapis kain kasa. Cairan yang diperoleh dari penyaringan tersebut ditambahkan gula pasir, kemudian direbus selama 3 jam sehingga kandungan gula kira-kira 70%. Komposisi dari sirup ini adalah gula 70%, etanol 1 % dan antosianin 38,7-41,2 mg/100 ml (Suprapta, 2004).
Anthosianin pada Ubi Jalar Ungu untuk Menangkal Pengaruh Radikal Bebas pada Ayam Petelur
Ubi Jalar merupakan salah satu jenis pakan ternak yang masuk dalam golongan umbi-umbian dan dapat diberikan kepada ternak baik dalam keadaan segar maupun kering. Kandungan kalori yang cukup tinggi menjadi sumber energi bagi ternak (Sutardi dkk., 2003). Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamin A dalam jumlah yang cukup, asam askorbat, tianin, riboflavin, niasin, fosfor, besi dan kalsium (Supriati dan Zuraida, 2001). Kadar vitamin C yang terdapat dalam umbinya memberikan peran yang penting bagi ternak, yaitu dapat memulihkan stress, menjaga kekebalan tubuh serta mampu menjaga stamina tubuh ternak. Kandungan gizi pada ubi jalar ungu juga lengkap antara lain karbohidrat, protein, lemak dan serat kasar, sehingga dipastikan dapat dimanfaatkan sebagai pakan terutama pakan ternak ayam petelur.
Kaitannya dengan pamanfaatannya sebagai suplemen pakan adalah kandungan antioksidan yang ada dalam buah ubi jalar ungu berupa zat anthosianin, yang dapat diperoleh dengan cara ekstraksi. Anthosianin yang telah diekstraksi dapat diberikan kepada ayam petelur melalui oral. Menurut Jawi dkk., (2007) bahwa pemberian ekstrak ubi jalar ungu yang mengandung anthosianin sebanyak 0,5 cc/hari dapat mengurangi pengaruh radikal bebas terhadap jaringan hati mencit, dengan indikator menurunnya kadar AST (aspartat transaminase) dan kadar ALT (alanin aminotransaminase). Berdasarkan hasil penelitiannya bahwa pemberian suplemen ekstrak ubi jalar ungu yang dilakukan terhadap hewan percobaannya tersebut dapat meningkatkan antioksidan non enzimatik sehingga kerusakan jaringan dan organ tubuh lebih ringan. Hal tersebut sama dengan apa yang diungkapkan oleh Kumalaningsih (2007) pada penelitian yang berbeda bahwa flavonoid yang terdapat dalam ubi jalar ungu dalam bentuk anthosianin dapat melindungi jaringan dari kerusakan akibat oxidative stress.
Berdasarkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki anthosianin dalam ubi jalar ungu, maka secara lebih terinci dapat dianalisis mengenai keunggulan dan kelemahan pemanfaatan ubi jalar ungu melalui SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Treathment) analysis , sebagai berikut :
Kekuatan (strength) :
1. Harga murah
2. Kandungan anthosianinnya tinggi (mencapai 519 mg /100 gr berat basah)
Kelemahan (weakness):
1. Pemanfaatan sebagai antioksidan untuk ternak, bahkan manusia belum banyak terpublikasikan
2. Anthosianin mudah rusak (hingga 10 %) pada suhu yang tinggi (perebusan dengan suhu > 100 ºC)
Peluang (opportunity) :
1. Belum banyak dimanfaatkan sebagai antioksidan
2. Jumlahnya melimpah di alam
Ancaman (treathment) :
1. Kompetisi penggunaan antara ternak dan manusia
2. Banyaknya variasi/macam antioksidan yang sering digunakan untuk ternak, atau bahkan untuk manusia.

Mekanisme Kerja Anthosianin sebagai Antioksidan dalam Menangkal Radikal Bebas pada Ayam Petelur
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan.
Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari.
Kumalaningsih (2007) menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam terbentuknya singlet oksigen.
Kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau, sehingga kemungkinan besar ditemukan pula pada setiap ekstrak tumbuhan. Golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik di dalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida.
Di samping itu ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin, produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain.
Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Dari berbagai antioksidan yang ada, mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi. Seringkali kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibanding dengan satu jenis antioksidan saja. Sebagai contoh asam askorbat seringkali dicampur dengan antioksidan yang merupakan senyawa fenolik untuk mencegah reaksi oksidasi lemak. Dalam proses melumpuhkan radikal bebas, vitamin E menjadi pelopor diikuti oleh vitamin C dan dengan bantuan senyawa glutathion, betakaroten, seng, mangan dan selenium akan memudahkan pelumpuhan radikal bebas.
Hariyatmi (2004) menyatakan bahwa mekanisme kerja antioksidan adalah sebagai berikut : 1) Berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal; 2) Mencegah pembentukkan jenis oksigen reaktif; 3) Mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik; 4) Mencegah kemampuan oksigen reaktif; 5) Memperbaiki kerusakan yang timbul. Menurut Kumalaningsih (2007), bahwa mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi lemak. Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1). Tahap selanjutnya yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2). Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru (reaksi 3). Tahap terakhir disebut dengan terminasi (tahap pengakhiran), yaitu radikal bebas akan musnah atau berubah menjadi radikal bebas yang stabil dan tidak aktif (rekasi 4).
Inisiasi : RH ---- R* + H* (1)
Propagasi : R* + O2 ----- ROO* (2)
: ROO* + RH ----- ROOH +R* (3)
Terminasi : R* + R* ----- R – R
R* + RO* ----- ROOR (4)
Mekanisme oksidasi lemak berdasarkan reaksi di atas diawali dengan tahap inisiasi, yaitu terbentuknya radikal bebas (R*) apabila kontak dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen. Tahap selanjutnya adalah tahap propagasai dimana autooksidasi berawal ketika radikal lipid (R*) hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk radikal peroksida (ROO*). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengekstrak ion hidrogen dari lipida lain (RH) membentuk hidroperoksida (ROOH) dan molekul radikal lipida baru (R*).
Reaksi autooksidasi ini akan berlangsung sehingga merupakan reaksi berantai. Adanya pemberian ubi jalar ungu dengan kandungan anthosianinnya yang berfungsi sebagai antioksidan, maka reaksi berantai tersebut dapat dicegah. Anthosianin mempunyai kemampuan memutus rantai reaksi peroksidasi atau menangkap radikal bebas (R*) dengan cara bereaksi langsung dengan berbagai radikal peroksi organik sehingga mencegah terjadinya reaksi berantai dan dapat menekan terjadinya kerusakan peroksidatif.
Proses metabolisme dalam tubuh ayam petelur, termasuk proses sintesis kuning telur dalam organ reproduksi ayam petelur, ikut terganggu akibat terbentuknya radikal bebas. Awalnya, dengan adanya panas tubuh yang menyebabkan stres, sintesa kuning telur menjadi terhambat. Akibat yang cukup fatal dari kejadian ini adalah beberapa kali kuning telur sebagai bakal embrio yang seharunya mampu terbentuk, akibat timbulnya radikal bebas maka akan rusak. Menurut Prabowo (2007) stres panas yang terjadi pada ayam petelur dapat menyebabkan gangguan metabolisme (perubahan biokimiawi) seperti vitellogenic yang merupakan faktor penting untuk sintesis kuning telur. Secara paraktis, akibat terganggunya proses vitellogenic maka berat dan ukuran kuning telur akan berkurang.
Kuning telur yang rusak (kualitas jelek) sebelum ditelurkan, terjadi akibat pengaruh radikal bebas. Kebutuhan oksigen dalam tubuh ayam petelur yang terus meningkat akibat hiperventilasi memungkinkan terjadinya oksidasi lipid dari kuning telur yang sedang disintesis dalam organ reproduksi ayam petelur. Oksidasi lipid yang terjadi menghasilkan radikal lipid yang akan bereaksi selanjutnya menjadi radikal peroksi hingga akhirnya terbentuk hidroperoksida dan radikal bebas akibat bereaksinya radikal peroksi dengan asam lemak yang ada dalam kuning telur. Kejadian tersebut akan terus berulang apabila tidak ada intervensi antioksidan anthosianin ke dalam tubuh ayam petelur.
Sintesis
Damanhuri (2005) menyebutkan bahwa secara kimiawi, semua anthosianin merupakan turunan struktur aromatik tunggal, yaitu “cyaniding” (sianidin), dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi dan glikosilasi. Antosianidin adalah aglikon anthosianin yang terbentuk bila anthosianin dihidrolisis dengan asam. Menurut Prabowo (2007) bahwa terbentuknya radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dengan cara oksidasi lipid, terutama asam-asam lemak tidak jenuh rantai panjang (poly unsaturated fatty acid). Selain itu, karena terbentuk radikal bebas, maka tubuh akan melepaskan ion yang sangat berbahaya bagi tubuh ternak ayam petelur seperti ion hidroksil (OH‾).
Anthosianin dari ubi jalar sebagai antioksidan dapat diperoleh melalui ekstraksi, salah satunya diambil cairannya yang mengandung anthosianin. Penggunaan anthosianin diharapkan dapat menangkal pengaruh radikal bebas yang terbentuk di dalam tubuh ayam petelur. Adapun kerja anthosianin berdasarkan analisis di atas (menurut Damanhuri, 2005 dan Prabowo, 2007) adalah ikatan yang ada dalam gugus aromatik akan mengikat ion hidroksil yang dilepas oleh tubuh ayam, sehingga produksi ion hidroksil akan berkurang karena diikat menjadi ikatan yang kuat pada gugus aromatiknya.
Kaitannya dengan oksidasi lipid, maka kerja anthosianin adalah menghambat proses oksidasi lipid melalui degradasi senyawa hidroperoksida, segera setelah anthosianin masuk ke dalam tubuh ternak ayam petelur. Terbentuknya radikal yang tidak aktif sebagai akibat adanya anthosianin terjadi apabila rekasi peroksidasi terputus atau ditangkapnya radikal bebas (R*) dengan cara bereaksi dengan radikal peroksi pada tahap terminasi (pengakhiran). Semakin besar kapasitas anthosianin yang dimasukkan ke dalam tubuh ternak ayam petelur, maka semakin cepat degradasi radikal bebas (hidroperoksida) sebelum merusak organ-organ di dalam tubuh ternak ayam.
Konsumsi anthosianin ke dalam tubuh ayam petelur dalam menangkal pengaruh radikal bebas dapat dilakukan melalui oral (mulut), selanjutnya akan masuk ke dalam saluran pencernaan. Anthosianin akan diserap oleh villi-villi intestine dan akan dialirkan ke peredaran darah melalui pembuluh darah, sebagian yang lain akan menuju ke hati. Proses metabolisme akan terjadi di hati dan anthosianin akan diedarkan kembali melalui pembuluh darah. Aliran darah akan menyalurkan anthosianin ke jaringan-jaringan, termasuk ke dalam telur yang sedang dalam proses sintesis kuning telur. Proses vitellogenic akan berjalan dengan sempurna dan menghasilkan kualitas telur yang bagus apabila sintesa kuning telur lancar dan tidak terganggu akibat radikal bebas.
Kualitas telur yang dihasilkan dengan memanfaatkan anthosianin sebagai antioksidan, baik telur untuk kebutuhan penetasan ataupun konsumsi akan jauh lebih baik dibandingkan tanpa adanya antioksidan, serta akan lebih efisien dibandingkan menggunakan jenis antioksidan yang lain (harganya murah). Telur untuk kebutuhan penetasan akan mempengaruhi daya tetas, yaitu daya tetas yang dihasilkan dapat mencapai 100 % (Iriyanti, ...) dan mampu mencegah pembusukan telur yang terjadi akibat radikal bebas, sedangkan telur untuk kebutuhan konsumsi akan mampu menghasilkan telur konsumsi yang memiliki kandungan anthosianin sebagai antioksidan, karena dalam ayam petelur zat/materi yang disuplementasikan akan dikeluarkan dalam bentuk materi yang sama pula. Artinya apabila di dalam tubuh ayam petelur ditambahkan anthosianin maka produksi telur juga akan memiliki kandungan anthosianin, dengan demikian produk tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai telur yang memiliki kandungan antioksidan.
Sintesis kuning telur yang sebelumnya terganggu akibat adanya radikal bebas akan segera dihambat oleh anthosianin yang berfungsi sebagai antioksidan. Efektivitas anthosianin sebagai antioksidan akan teruji apabila reaksi terbentuknya radikal bebas dapat terputus pada tahap perambatan (propagasi), karena radikal bebas akan terus terbentuk secara berulang-ulang pada tahap propagasi (Hariyatmi, 2004). Radikal peroksi (ROO*) akan terus bereaksi dengan asam lemak menghasilkan radikal bebas (R*) dan dalam keadaan bebas, R* akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal ROO* kembali. Proses tersebut akan terus berlangsung apabila tidak ada asupan anthosianian sebagai antioksidan, sehingga kerja anthosianin akan sangat efektif apabila mampu mencegah ROO* bertemu dengan oksigen dan hidroperoksida secara otomatis juga akan terdegradasi (tidak akan terbentuk).
R* + O2 ---------- ROO*
ROO* + RH ---------- ROOH + R*
R* + O2 ---------- ROO*
ROO* + RH ---------- ROOH + R*
R* + O2 ---------- ROO* (dan seterusnya)
OH OH


Berdasarkan analisis tentang keunggulan serta manfaat dari anthosianin yang terkandung dalam ubi jalar ungu, maka dibutuhkan upaya pemanfaatan anthosianin untuk ternak ayam petelur secara optimal. Strategi yang perlu diterapkan tentunya dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang kemungkinan akan mempengaruhi keberadaan anthosianin sebagai antioksidan. Adapun strategi-strategi (berdasar analisis SWOT) yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan anthosianin dalam ubi jalar ungu tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3. Strategi pemanfaatan anthosianin berdasarkan analisis SWOT
Strength Weakness
Opportunity Pemanfaatan anthosianin dalam ubi jalar ungu secara optimal pada ternak sebagai zat antioksidan, bahkan dapat dibuat sebuah formula antioksidan (anthosianin) yang siap konsumsi baik untuk ternak maupun manusia. Publikasi informasi mengenai keunggulan anthosianin dalam ubi jalar ungu, selain sebagai bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan.

Treathment Menentukan spesifikasi secara jelas, baik dalam pemanfaatan untuk manusia maupun untuk ternak serta membudidayakan ubi jalar ungu untuk meningkatkan produktivitas sehingga keberadaannya secara kuantitas dan kualitas dapat dimanfaatkan oleh manusia dan ternak (misalnya ayam petelur). Memunculkan produk-produk baru yang variatif dan nyata manfaat serta keunggulannya, terutama penggunaannya sebagai antioksidan, sehingga kebutuhan untuk ternak dan manusia dapat tercukupi.
Berdasarkan Tabel 3 di atas, maka strategi utama (grand strategy) yang dapat dilakukan dalam rangka memanfaatkan anthosianin dalam ubi jalar ungu sebagai antioksidan pada ayam petelur adalah dibuat formulasi khusus dalam bentuk produk siap konsumsi berupa antioksidan (anthosianin). Munculnya produk antioksidan untuk ayam petelur berupa anthosianin dari ubi jalar tersebut akan memberikan peluang yang besar untuk semakin dikenalnya anthosianin di kalangan peternak ayam petelur, dan tidak menutup kemungkinan pula bahwa anthosianin dapat dimanfaatkan untuk jenis ternak yang lain. Fortifikasi produk dari ayam petelur akan dihasilkan dengan telur ayam yang mengandung antioksidan antosianin, dengan demikian dapat dimanfaatkan oleh manusia selain sebagai sumber protein juga dapat sebagai suplemen antioksidan.
Melihat kandungan nutrien yang ada, keberadaan anthosianin juga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sejak awal ubi jalar juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia, oleh karena itu dengan diversifikasi pemanfaatan ubi jalar melalui anthosianin dengan sendirinya dapat dirasakan oleh manusia. Lebih dari itu, apabila anthosianin dapat dibuat produk sebagai antioksidan untuk manusia. Mengamati perkembangan yang demikian, maka selanjutnya dibutuhkan upaya budidaya ubi jalar ungu secara lebih intensif sebagai penghasil anthosianin yang dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan untuk menangkal pengaruh radikal bebas.
Penggunaan anthosianin dalam ubi jalar ungu sebagai zat antioksidan untuk ternak ayam petelur sangat menguntungkan, dibanding menggunakan antioksidan lain. Keberadaan ubi jalar selain sebagai pakan ternak juga dapat dimanfaatkan sebagai suplemen antioksidan melalui kandungan anthosianinnya serta menambah jumlah antioksidan bahkan sebagai pengganti antioksidan lain seperti vitamin E yang banyak digunakan di pasaran. Secara ekonomis, keuntungan penggunaan anthosianin sebagai antioksidan dapat dijelaskan sebagai berikut :
Menurut Kumalaningsih (2007), total kandungan anthosianin dalam ubi jalar ungu mencapai 519 mg/100 gram berat basah. Berdasarkan informasi tersebu dapat dihitung :
1 kg ubi jalar ungu segar = 1000 gram berat basah
1000 gram berat basah = 5190 mg anthosianin
= 5,19 gram anthosianin
Penggunaan anthosianin sebagai antioksidan menurut Jawi dkk. (2007) adalah 0,5 cc, maka dalam 1 kg ubi jalar ungu dapat menghasilkan anthosianin dalam beberapa paket :
5,19 gram = 5,19 cc (cairan zat anthosianin)
5,19 / 0,5 cc = 10,38 kali penggunaan (dibulatkan 10 x)
Harga ubi jalar di pasaran mencapai Rp. 1.200,00 (Jamrianti, 2007 serta cross check melalui observasi/kajian lapang), jadi dengan Rp. 300,00 dapat menghasilkan 5,19 cc anthosianin dengan pemakaian 10 kali. Dibandingkan dengan penggunaan antioksidan lain (Vitamin E), sangat jauh berbeda. Harga vitamin E di pasaran mencapai Rp. 12.000 (informasi berdasarkan observasi dan konsultasi) yang berisi 10 kapsul dengan netto 100 IU/kapsul atau 0,33 cc/kapsul, maka dapat dipastikan dengan menggunakan anthosianin dapat mengurangi biaya sebesar Rp. 10.800 (sepuluh ribu delapan ratus rupiah).









SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan analisis permasalahan dan sintesis alternatif solusi yang telah dikemukakan di depan, dapat diambil simpulan bahwa ;
a. Ubi jalar ungu memiliki kandungan anthosianin yang berfungsi sebagai antioksidan, sehingga pengaruh radikal bebas berkurang dan kerusakan jaringan serta organ pada ayam petelur dapat teratasi.
b. Mekanisme kerja anthosianin pada ayam petelur sebagai antioksidan adalah menyeimbangkan antara prooksidan (ion hidroksil) dan antioksidan (anthosianin), yaitu bereaksinya dengan anthosianin melalui struktur aromatik tunggalnya yang berfungsi mengurangi gugus hidroksil. Serta pemutusan reaksi radikal bebas oleh anthosianin melalui degradasi hidroperoksida.
c. Ditinjau dari aspek ekonomi, potensi ubi jalar ungu melalui kandungan anthosianin sebagai antioksidan pada ternak ayam petelur sangat menguntungkan bila dibandingkan dengan antioksidan lain (vit E), yaitu dapat mengurangi biaya sebesar Rp. 10.800,00.
Saran
Adanya fungsi dan manfaat yang nyata dari anthosianin dalam ekstrak ubi jalar ungu, yaitu sebagai penangkal radikal bebas, maka perlu :
a. Publikasi secara intensif tentang manfaat dari ubi jalar ungu kaitannya dengan anthosianin sebagai antioksidan untuk menangkal radikal bebas
b. Pemanfaatan anthosianin dalam ubi jalar ungu sebagai antioksidan secara optimal, yaitu melalui pembuatan produk (anthosianin) siap konsumsi pada berbagai jenis ternak.

0 komentar: