PERBUATAN MELAWAN HUKUM : MASALAH KESALAHAN, SCHULD NEGLIGENCE
A. Latar Belakang
Pada awal mula perkembangannya, masalah kesalahan dipandang secara sangat individualistis. Titik perhatian diletakan pada diri si pelaku: dalam hal si pelaku sangat bodoh ataupun sangat tidak cakap sehingga oleh karena itu tindakannya secara subjektif tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, maka tuntutan si korban akan sia-sia belaka. Tidak ada kesalahan pada diri si pelaku dan oleh karenanya ia tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Secara berangsur-angsur pendirian ini berubah. Unsur kesalahan di objektifir. Untuk menentukan adanya kesalahan, bukan lagi ukuran individualistis subjektif. Semua orang mencari pegangan pada ukuran yang berlaku bagi “orang perseorangan sebagaimana halnya si pelaku”. Kemudian ukuran itu dikaitkan pada “manusia normal pada umumnya”. Unsur kebodohan, ketidakcakapan, nervositas, kelemahan pikiran, kekurang pengalaman,dsb dari diri si pelaku, tidaklagi dijadikan dasar pertimbangan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pengertian “kesalahan” memperoleh arti yang lain dari pada arti kata kesalahan itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
B. Unsur Kesalahan dalam Pasal 1365 BW
Tiap perbuatan melawan hukum, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pada umumnya unsur kesalahan mengikuti sifat melawan hukumnya perbuatan, akan tetapi dalam praktiknya tidak selalu demikian. Tidak mudah untuk menentukan pada diri si pelaku, terdapat unsur kesalahan dan karenanya dapat dipersalahkan, ataukah tidak. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hal kita menghadapi pelaku suatu perbuatan melawan hukum ialah: apakah perbuatan itu dapat dipersalahkan padanya, dapatkah ia menghindari terjadinya peristiwa itu, apakah ia bertindak kurang hati-hati, ceroboh atau bahkan sengaja.
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu melawan hukum ataukah tidak, pada umumnya ditanyakan apakah perbuatan itu dapat diterima dalam tertib hukum yang berlaku. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabilaperbuatan itu tidak dapat diterima dalam tertib hukum yang bersangkutan. Dalam hal menentukan kesalahan pada diri si pelaku, ada perbedaan penting antara pendekatan yang dilakukan hukum pidana dan hukum perdata. Dibandingkan dengan pendekatan perdata, maka dalam pendekatan pidana perhatian lebih banyak ditujukan pada diri si pelaku. Hal ini berakibat bahwa dalam hukum pidana diterapkan pendekatan kesalahan secara subjektif, sedangkan damam hukum perdata sedikit banyak ditempuh pendekatan kesalahan secara objektif.
Unsur-unsur kesalahan diobjektivir, sehingga dengan demikian diabstraksikan (dipisahkan) dari keadaan-keadaan yang meliputi diri si pelaku (seperti: umur,jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan, kondisi kejiwaan, kelelahan, nervositas, dsb), maka unsur kesalahan banyak kehilangan arti dan maknanya. Secara praktis persyaratan tentang adanya unsur kesalahan,hanya berfungsi dalam dua hal, yakni bagi anak-anak dibawah umur dan orang-orang cacat baik jasmani dan rohani. Khusus nak-anak dibawah umur dipergunakan ukuran yang lazim dinamakan “kennen-en kunnen cretrium”. Penggunaan kriteria ini seperti yang tampak dalam putusan Hoge Raad dalam perkara Joke Stapper.
C. Pendirian Prof. Schut
Prof. Schut mengemukakan bahwa kewajiban untuk menghindarkan perbuatan yang bertentangan dengan hukum mengandung dua unsur, yakni:
1. Unsur penghati-hati dari dalam, unsur ini meliputi usaha untuk melihat ruang lingkup suatu perbuatan berikut resiko yang terkandung didalamnya, sebagaimana termuat dalam ungkapan “hendaklah anda berpikir sebelum anda berbuat”.
2. Unsur penghati-hati dari luar, yakni berusaha untuk menghindarkan terjadinya akibat yang tidak diinginkan.
Dikatakan ada unsur kesalahan, apabila seseorang sebagaimanahalnya dengan si pelaku, tidak memiliki sikap waspada serta hati-hati sebagaimana sepatutnya, dalam memperkirakan serta mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kerugian. Ada dua segi yang harus diperhatikan:
1. Hendaklah diingatkan bahwa faktor memperkirakan serta mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kerugian hanya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang merugikan itu sendiri dan tidak berkenaan dengan akibat-akibat yang lebih jauh yang bisa timbul karenanya.
2. Sebagai titik tolak diperegunakan ukuran “ seseorang sebagaimana halnya si pelaku” (kriteria subjektif yang memuat unsur objektif), disini tidak dipergunakan ukuran yang semata-mata subjektif ataupun objektif.
D. Law Of Tort
Dalam keputusan anglo saxon, masalah kesalahan dibahas dalam ajaran tentang negligence. Istilah negligence dalam arti sempit diartikan sebagai suatu standard of conduct, suatu ukuran tentang tingkah laku sikap atau tindakan yang kurang cermat, kurang hati-hati. Dalam arti luas dapat diartikan sebagai bagian dari ajaran perbuatan melawan hukum, yang didalam sistem anglo saxon dikenal dengan nama “Law of Tort”. Ne3gligance, dengan demikian merupakan suartu unsur perbuatan melawan hukum, sebagaimana unsur “schuld”, baik dalam sistem hukum Belanda, maupun dalam sistem hukum perdata tertulis kita berdasarkan KUH Perdata Indonesia.
Perbuatan melawan hukum, yang dapat menimbulkan pertanggungan jawab untuk membeyar suatu ganti rugi, unsur-unsurnya meliputi adanya apa yang dinamakan:
1. Duty of Care
Suatu kewajiban untuk bertindak hati-hati. Kadang-kadang dapat dirumuskan juga sebagai suatu kewajiban atau keharusan, yang diakui oleh hukum, yang mensyaratkan agar supaya seseorang bertindak sesuai dengan suatu ukuran tingkah laku tertentu, untuk melindungiorang lain terhadap suatu risiko yang menurut nalar sebenarnya tidak perlu terjadi.
2. Breach of Duty: negligence
Pelanggaran terhadap suatu kewajiban untuk berhati-hati. Unsur ini dapat dirumuskan sebagai suatu kegagalan atau ketidakmampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan suatu ukuran tingkah laku tertentu. Dengan terpenuhinya dua unsur, yakni dalam hal adanya suatu “duty of care” dan terjadinya suatu pelanggaran terhdap kewajiban untuk bertindak hati-hati tadi, terjadi suatu “breach of duty”, maka terdapatlah suatu “negligence”, kesalahan, schuld.
3. The Resonable Man
Dalam literatur anglo saxon adanya suatu ukuran standar tingkah laku tertentu yang harus dipenuhi, selalu dengan seorang tokoh fiktif yang dikenal dangan nama The Reasonable Man”, seorang manusia yang bertindak sesuai dengan akal yang sehat.
Dihubungkan dengan pengertian “The Reasonable Man”, maka negligence,kesalahan, dapat diartikan sebagai kelalaian untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang memiliki pertimbangan yang cukup dalam situasi yang sama atau hampir bersamaan. Dalam ruang gerak pengertian ini maka, unsur kesalahan sedikit banyak mengandung ukuran- ukuran subjektif.
E. Unsur Kesalahan dalam Nieuw BW
Dalam kitab undang-undang hukum perdata baru di Belanda, Nieuw Burgerlije wetboek, masalah kesalahan dirumuskan dalam pasal 63.1.1. ayat 3: suatu perbuatan melawan hukum dapat dipertanggungjawabkankepada si pelaku, apabila hal itu diakibatkan oleh kesalahan atau karena suatu sebab yang menurut pendapat yang diterima di masyarakat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku, apabila hal itu diakibatkan oleh kesalahannya atau karena suatu sebab yang menurut pendapat yang diterima di masyarakat dipertanggungjawabkan kpadanya. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah kesalahan tidak lagi merupakan masalah sentral, yang menjadi masalah utama adalah persoalan masalah pertanggungjawaban. Masalah pertanggungan jawab meliputi unsur kesalahan dan unsur-unsur risiko. Sebagai akibatnya, maka pengertian kesalahan dalam N.B.W. kembali memperoleh arti sebagaimana arti kata itu sendiri dalam pemakaian sehari-hari.
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DENGAN UNSUR KESENGAJAAN
Sebagaimana diketahui bahwa pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Dan sudah merupakan tafsiran umum dalam ilmu hukum bahwa unsur kesalahan tersebut dianggap ada jika memenuhi salah satu diantara tiga syarat sebagai berikut:
1. adanya unsur kesengajaan
2. adanya unsur kelalaian
3. tidak ada alasan pembenar atau pemaaf.
Ditinjau dari segi berat ringannya, derajat kesalahan dari pelaku perbuatan melawan hukum, maka dibandingkan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan unsur kelalaian, maka perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan derajat kesalahannya lebih tinggi.
Dewasa ini kesibukan di pengadilan tentang perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan sudah sangat berkurang, hal ini disebabkan karena:
1. perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan umumnya dilakukan hanya oleh orang-orang yang terbelakang perkembangan logika/emosinya atau kurang peradaban.
2. Terhadap perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan umumnya tidak diasuransikan.
Pemisahan perbuatan melawan hukum kedalam perbuatan dengan:
1. Kesengajaan
2. Kelalaian
3. Tanggung jawab mutlak baru gencar dilakukan oleh hukum dalam fase perkembangan yang modern.
B. Pengertian Kesengajaan
Dalam perbuatan melawan hukum, unsur kesengajaan baru dianggap adamanakala dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut, telah menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik atau mental atau properti dari korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai fisik atau mental dari korban tersebut.
Unsur kesengajaan tersebut dianggap eksis dalam suatu tindakan manakala memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:
1. Adanya kesadaran untuk melakukan
2. Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi bukan hanya ada perbuatan saja
3. Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut pasti dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.
Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja apabila terdapat “maksud” dari pihak pelakunya. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara istilah “maksud” dentan “motif”. Istilah “maksud” diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghasilkan suatu akibat tertentu.
Dalam hubungan dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindakan kesengajaan tersebut, “rasa keadilan” memintakan agar huku7Motorola lebih memihak kepada korban dari tindakan tersebut, sehingga dalam hal ini hukum lebih menerima pendekatan “objektif”. Artinya hukum lebih melihat kepada akibat dari tindakan tersebut kepada para korban, daripada melihat apa maksud yang sesungguhnya dari si pelaku, meskipun masih denga mensyaratkan adanya unsur kesengajaan tersebut.
Penggunaan pendekatan yang “objektif” terhadap akibat dari perbuatan kesengajaan tersebut, membawa konsekuensi-konsekuensi yuridis sebagai berikut:
1. Maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum yang lain dari yang terjadi,
Meskipun maksud yang sebenarnya adalah melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya adalah melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya termasuk juga perbuatan melawan hukum, tetapi kemudian yang terjadi adalah perbuatan melawan hukum yang lain, maka pelaku secara hukum bertangung jawab juga terhadap perbuatan melawan hukum yang lain tersebut.
2. Maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap oarang lain bukan terhadap korban
Demikian juga halnya jika pelaku sebenarnya bermaksud untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap seseorang, tetapi ternyata yang menjadi korban adalah orang lain lagi, maka oleh hukum pelaku dianggap bertanggung jawab juga terhadap korban. Dalam hal ini berlaku doktrin “peralihan maksud”.
3. Tidak perlu punya maksud untuk merugikan atau maksud yang bermusuhan
Dalam hal pelaku melakukan sesuatu perbuatan tanpa meksud untuk merugikan korban, bahkan tanpa maksud bermusuhan, oleh hukum tetap dianggap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena perbuatan yang melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan.
4. Tidak punya maksud,tetapi tahu pasti bahwa akibat tertentu akan terjadi
Adakalanya seorang pelaku perbuatan melawan hukum melakukan sesuatu perbuatan tanpamaksud untuk merugikan pihak korban. Tetapi akibatnya korban benar-benar dirugikan, dan pelaku tahu pasti atau patut sekali menduga bahwa akibat tersebut akan terjadi karena perbuatanya itu. Maka dalam hal ini, dengan menggunakan doktrin “kepastian yang substansial”. Pelaku dianggap telah dengan sengajamelakukan perbuatan melawan hukum. Kepastian yang substansial disini dimaksudkan adalah bahwa pelaku mengetahui dengan pasti atau patut sekali menduga bahwa tindakannya itu akan membawa akibat tertentu pada pihak lain.
C. konsekuensi Unsur Kesengajaan Terhadap Masalah ganti Rugi
Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan mempunyai derajat kesalahan yang lebih berat daripada perbuatan hukum dengan unsur kelalaian. Karena itu, khususnya dalam hal ganti rugi kepada korbannya, hukum mengatur secara berbeda-beda yaitu sebagai berikut:
1. Ganti rugi aktual
Ganti rugi aktual merupakan kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung dengan mudah sehingga keluar angka kerugian sekian rupiah. Kerugian secara aktual ini berlaku bagi semua perbuatan melawan hukum.
2. Ganti rugi penghukuman
Merupakan suatu ganti rugi dengan jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku. Ganti rugi ini pantas diterapkan terhadap kasus-kasus kesengajaan yang berat.
3. Ganti rugi nominal
Merupakan ganti rugi berupa pemberian sejumlah uang, meskipun sebenarnya kerugian tidak bisa dinilai dengan uang.
D. Model-Model Perbuatan Hukum yng Mengandung Unsur kesengajaan
Bagi hukum tentang perbuatan melawan hukum, prinsip dasar tergantung pasal 1365 KUH Perdata. Artinya, setiap perbuatan yang melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain membebankan kewajiban ganti rugi bagi pelaku yang bersalah. Kemudian dikembangkan doktrin-doktrin modern tentang tanggung jawab mutlak. Akan tetapi ada beberapa model perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam bentuk yang sama oleh orang-orang tanpa terikat dengan dimensi ruang dan waktu, sehingga disepanjang sejarah hukum terciptalah model-model baku bagi perbuatan melawan hukum. Berikut ini merupakan model-model baku perbuatan malawan hukum:
1. Perbuatan melawan hukum berupa ancaman untuk penyerangan dan pemukulan terhadap manusia
Yang dimaksud ancaman untuk penyerangan dan pemukulan terhadap manusia tersebut adalah suatu maksud untuk melukai atau menyerang dari pelaku yang akan dilakukannya terhadap korban yang disampaikan atau dipertunjukan kepada korban, sehingga merupakan ancaman terhadap korban dan akibatnya korban menderita rasa takut atau terganggu haknya untuk merasa bebas dari setiap gangguan. Unsur-unsur dari suatu perbuatan melawan hukum yang berupa ancaman untuk penyerangan dan pemukulan terhadap manusia adalah sebagai berikut:
Adanya tindakan oleh pelaku
Adanya maksud
Adanya ketakutan dari korban
Adanya hubungan sebab akibat
Tidak dengan persetujuan korban
2. Perbuatan melawan hukum berupa pemukulan atau melukai orang lain
Sasaran yang dimaksud adalah tindakan untuk melukai atau memukul atau mengakibatkan kontak secara ofensif terhadap tubuh seseorang, sehingga menyebabkan timbulnya kerugian atau bahaya bagi tubuh, mental atau kehormatan korban. Unsur-unsurnya antara lain:
Adanya tindakan oleh pelaku
Adanya maksud adanya sentuhan yang ofensif atau berbahaya
Adanya hubungan sebab akibat
Tidak dengan persetujan korban
3. Perbuatan melawan hukum berupa penyanderaan ilegal
Yang dimaksud perbuatan melawan hukum berupa penyanderaan ilegal adalah tindakan menyandera atau mengurung orang secara tidak sah. Unsur-unsurnya antara lain:
Adanya tindakan oleh pelaku
Adanya maksud
Adanya pengurungan
Adanya hubungan sebab akibat
Tidak dengan persetujuan korban
4. Perbuatan melawan hukum berupa penyerobotan milik orang lain
Penyerobotan merupakan salah satu jenis dari perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan. Salah satu bentuk penyerobotan adalah penyerobotan terhadap tanah. Perbuatan melawan hukum berupa penyerobotan tanah milik orang lain adalah suatu tindakan kesengajaan yang secara tanpa hak masuk ke tanah milik orang lain, atau menyebabkan orang lain tau benda lain untuk masuk ketanah milik oaran lain ataupun menyebabkan seseorang lain atau benda tertentu tetap tinggal di tanah milik orang lain.
5. Perbuatan melawan hukum berupa penguasaan benda bergerak milik orang lain secara tidak sah
Merupakan suatu kesengajaan untuk melakukan intervensi terhadap penggunaan dan kepemilikan benda bergerak. Akan tetapi, jika intervensi tersebut begitu besar sehingga selayaknya pihak pelaku harus mengganti seluruh benda milik korban tersebut, maka tindakan penguasa ada tersebut sudah berubah menjadi tindakan pemilikan secara tidak sah.
6. Perbuatan melawan hukum berupa pemilikan secara tidak sahu benda milik orang lain
Perbuatan melawan hukum berupa pemilikan secara tidak sah benda milik orang lain dapat saja berawal dari tindakan penguasaan milik orang lain secara tidak sah dangan tingkat sedemikian rupa sehingga sepantasnya pelakunya harus diganjar dengan pemberian ganti rugi atas benda tersebut secara menyeluruh.
7. Perbuatan melawan hukum berupa perbuatan yang menyebabkan tekanan jiwa orang lain
Merupakan suatu tindakan dari pelaku kepada pihak lain dimana dengan pelakunya itu, pelaku patut mengetahui bahwa tindakannya tersebut akan menyebabkan pihak lain tersebut menderita tekanan jiwa dan kemudian tekanan jiwa tersebut benar-benar terjadi.
8. Perbuatan melawan hukum karena kebisingan
Merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat terjadi karena unsur kesengajaan, disamping itu dapat terjadi karena kelalaian atau strict liability. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku dalam hal kebisingan adalah perbuatan melakukan intervensi terhadap penggunaan atau kenikmatan penggunaan harta benda seseorang atau intervensi terhadap hak masyarakat secara kolektif.
9. Perbuatan melawan hukum berupa perbuatan persaingan tidak sehat dalam berbisnis
Perbuatan melawan hukum yang berhubungan dengan bisnis dan ekonomi merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang relatif masih baru usianya, termasuk persaingan usaha tidak sehat dalam bisnis atau dapat juga dalam berbagai bentuk lain sehingga pihak tersaing merasa dirugikan.
10. Perbuatan melawan hukum berupa kebohongan yang merugikan orang lain
Perbuatan melawan hukum berupa kebohongan yang merugikan orang lain misalnya yang sudah lama berkembang adalah dalam bentuk kebohongan atau menjelek-jelekan proprti orang lain sehingga pemilik properti tersebut menderita kerugian.
11. Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap hubungan kontarak
Yakni merupakan suatu perbuatan melawan hukum berupa suatu perbuatan yang dengan sengaja atau karena kelalaian secara tidak layak mencampuri hak atau kepentingan orng lain yang terbit dari suatu kontrak antara orang lain tersebut dengan pihak ketiga, dengan intervensi tersebut pihak korban menderita kerugian berupa mahalnya pelaksanaan kontrak atau berkurangnya nilai kontrak tersebut.
12. Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap keuntungan yang prospektif
Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap keuntungan yang diharapkan oleh orang lain sudah dikenal sejak abad ke-17, seperti terhadap tindakan boikot. Selain itu di Inggris juga berkembang antara lain kepada kasus-kasus sebagai berikut:
Tindakian mengarahkan pelanggaran dari korban
Tindakan menghambat seseorang untuk memberikan sumbangan kepada gereja
Tindakan-tindakan lain yang dapat dikategorikan kedalam persainag secara curang.
Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap keuntungan yang diharapkan tersebut juga dapat dilengkapi dan karena itu dapat dijerat oleh pasal 1365 KUH Perdata, asalkan syarat-syarat hukum separti terdapat dalam pasal tersebut dapat dipenuhi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar