Hakim
Pendahuluan
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang – undang, sedangkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hokum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselanggarakanya Negara Hukum Republik Indonesia. Dan pengadilan diartikan sebagai dewan atau majelis yang mengadili perkara atau bangunan tempat mengadili perkara.
Hakim merupakan figur sentral penegak hukum, dimana seorang hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab professional untuk memahami secara mendalam tentang perkembangan ilmu hukum dan ilmu lain yang mempengaruhinya.
Keluhuran tugas seorang hakim terletak pada misinya untuk mewujudkan keadilan. Hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Sebagai penegak hukum yang wajib memutus perkara secara adil, para hakim dituntut untuk merawat citra dirinya agar memperoleh pengakuan publik tentang kredibilitas keilmuan dan kepiawaian profesi.
.Tuntutan moral bagi para hakim untuk dapat merespon tantangan perkembangan hukum di era global dewasa ini merupakan suatu keharusan. Hal ini menjadi konsekuensi logis dari para hakim sebagai elemenvital dari lembaga pengadilan. Dalam menjalankan misinya yaitu mengayomi rakyat mendapatkan perlindungan hukum dan melayani pencari keadilan memperoleh perlakuan hukum yang adil, Mahkamah Agung secara berkelajutan membangun budaya kelembagaan sebagai penegak supremasi hukum. Budaya lembaga peradilan akan selalu mencerminkan citra dari tingkah laku lembaga peradilan yang efektif, efisien, jujur, dan transparan serta mandiri. Hal ini juga mengandung arti untuk selalu bersikap responsive terhadap perkembangan hukum yang bersifat antar bangsa.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka unuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dimana hal ini berarti bahwa lembaga peradilan bebas dari intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Hakim merupakan sub system dari lembaga peradilan, sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan hakim harus tetap berada dalam koridor kemerdekaan kekuasaan kehakiman, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 33 UU No. 4 tahun 2008 yang menyatakan bahwa “bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan”.
Menjadi Hakim yang Baik
Dalam kontek membentuk diri atau korp sebagai hakim yang baik, beberapa pelajaran dari berbagai pemikiran teoritik yang dapat diambil:
(1) Setiap hakim harus memahami berbagai konsep hukum maupun non hukum agar dapat menentukan pilihan konsep yang dipergunakan dalam memutuskan perkara.
(2) Penguasaan seluk beluk ketentuan hukum yang meliputi bentuk dan isi aturan hukum, pengertian atau makna aturan hukum, hubungan sistematik antar berbagai ketentuan hukum, (horizontal-vertikal), sejarah dan latar belakang suatu aturan hukum.
(3) Penguasaan seluk beluk metode penerapan hukum seperti metode penafsiran, konstruksi, penghalusan hukum dan sebagainya.
(4) Hakim harus memahami lingkungannya (sosial, politik, ekonomi, dan budaya), baik dalam menjaga atau melakukan perubahan-perubahan demi kemaslahatan pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.
Upaya-upaya untuk menunjukkan hakim yang baik:
1. Hakim wajib memahami benar kasus yang akan atau sedang diperiksa. Putusan diucapkan setelah jelas yang salah dan yang benar. Putusan yang tak dapat dilaksanakan akan sia-sia.
2. Kedudukan kedua pihak sama di hadapan mahelis hakim. Setiap pihak harus dipandang sama, agar yang kuat tidak bersombong diri, dan yang lemah tidak teraniaya.
3. Penyeselaian perkara secara damai adalah baik sepanjang tidak menghalalkan yang haram (terlarang), dan mengharamkan yang halal.
4. Penggugat wajib membuktikan gugatannya. Terdakwa wajib membuktikan bantahannya.
5. Apabila pada saat persidangan salah satu pihak belum siap dengan keterangan-keterangannya atau belum siap dengan bukti-buktinya, hendaklah sidang ditunda untuk memberikan kesempatan pihak atau pihak-pihak menyiapkan keterangan atau bukti-bukti. Apabila dalam persidangan berikut pihak atau pihak-pihak tidak siap dengan keterangan atau bukti, putuslah perkara itu.
6. Apabila suatu perkara belum jelas hukumnya (dalam Al Qur’an dan Hadits), putuslah dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta menganalisa kasus tersebut dengan perkara lain yang telah diputus dimasa lalu.
7. Hakim dilarang bersidang pada saat sedang marah, pikiran kacau, perasaan tidak senang kepada pihak-pihak atau salah satu pihak, karena kebenaran itu hanya bersemayam dalam jiwa yang tenang dan hati yang bening.
Faktor-faktor penunjang untuk mewujudkan hakim yang baik ada tiga, yaitu:
a. Kesejahteraan.
Salah satu jalan menuju kesejahteraan adalah perbaikan gaji hakim secara signifikan.
b. Perumahan Dinas.
Perumahan dinas merupakan suatu kemestian mengingat hakim secara teratur berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
c. Lingkungan Perkantoran.
Gedung-gedung pengadilan harus luas dan berpenampilan yang baik.
Dalam persidangan seorang hakim harus :
1) Harus bersikap dan bertindak menurut garis – garis yang dibenarkan dalam hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan asas – asas peradilan yang baik, yaitu :
a. Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapatkan putusan ( right to decision ) dalam arti setiap orang berhak mengajukan perkara dan dilarang untuk menolak mengadilinya.
b. Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti – bukti, serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan ( a fair hearing ).
c. Putusan dijatuhkan secara objektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain ( no bias ) dengan menjunjung tinggi prinsip ( nemo judex in resua )
d. Putusan harus memuat alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis.argumentasi tersebut harus diawasi dan diikuti serta dapat dipertanggung jawabkan guna menjamin keterbukaan dan kepastian hukum.
e. Menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2) Tidak dibenarkan menunjukan sikap memihak atau bersimpati atau antipati kepada pihak – pihak yang berperkara, baik dalam ucapan ataupun tingkah laku.
3) Harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
4) Harus membawa kewibawaan dan kekhidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak – pihak, baik dengan kata – kata maupun perbuatan.
5) Bersungguh – sungguh dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Hakim dalam menjalankan tugas pokok wajib untuk memeriksa dan mengadili dengan cara menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Atas dasar inilah masyarakat menaruh harapan banyak kepada para hakim untuk lahirnya hukum yurisprudensi di Indonesia sebagai pengisi kekosongan hukum, maupun sebagai pengharmonisasi dengan hukum dalam pengartian undang-undang dengan hukum yang riil hidup dalam masyarakat.
Putusan hakim baru dapat di kualifikasi sebagai hukum Yurisprudensi, apabila putusan hakim tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam perundang-undangan ;
2) Putusan hakim tersebut harus merupakan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap ;
3) Putusan hakim tersebut telah dijadikan dasar untuk memutus kasus yang sama dalam waktu yang lama ;
4) Putusan hakim tersebut telah memenuhi rasa keadilan masyarakat ;
5) Putusan hakim tersebut telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum:
1) Yurisprudensi merupakan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukum nasional memegang peranan sebagai sumber hukum.
2) Tanpa yurisprudensi fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman, akan dapat menyebabkan kemandulan dan stagnan.
3) Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan, karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial dan pengayoman.
4) Diperlukan langkah yang sistematis untuk meningkatkan yurisprudensi tetap sebagai sumber hukum nasional.
5) Atas kebesaran hakim jangan dipertentangkan dengan yuris prudensi tetap sebagai sumber hukum nasional.
Pengadilan yang mandiri, netral dan kompeten merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan atas hukum. Melalui putusannya ( vonis ) hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, memerintahkan instansi penegak hukum lain untuk memasukan orang kedalam penjara, sampai memerintahkan penghilangan hak hidup sesorang. Hakim dalam konteks tugasnya sebagai pemutus hukum adalah bahwa melalui putusannya, hakim dapat merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat, dan bahwa putusan itu sendiri merupakan sarana untuk mendapatkan kepastian hukum atas suatu perkara.
Putusan hakim secara filosofis bersifat individual, namun secara administratif adalah bersifat kelembagaan. Karena setelah putusan diucapkan, maka putusan tersebut telah menjadi putusan pengadilan, yang berarti telah menjadi apa yang disebut deindividualisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebebasan hakim bermakna kebebasan dalam konteks kebebasan lembaga peradilan. Konsekuensi logisnya harus dimaknai bahwa baik secara umum maupun dalam perkara-perkara tertentu, pempinan pengadilan dapat memberi arahan atau bimbingan bagi para hakim yang sifatnya nasihat atau petunjuk.
Prinsip-prinsip Implementasi Atas Kebebasan Hakim :
1. Hakim bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya
2. Menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya
3. Arahan atau bimbingan selama pemeriksaan berjalan
4. Arahan atau bimbingan lisan ataupun tertulis
5. Arahan atau Bimbingan tentang penilaian kebenaran, pembuktian, dan keadilan
6. Peringatan atau teguran kepada hakim atau majelis hakim
A. Factor teknis
UU No. 4/2004 tentang kekuasaan kehakiman menjelaskan bahwa pada
Bab I
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Bab II
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Bab III
Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.
Bab IV
hakim wajib menggali,mengikuti, dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, bahkan hakim karena agar putusan hakim yang telah dikeluarkan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, selain itu dalam penjatuhan pidana kepada terdakwa hakim juga wajib memperhatikan sifat baik dan jahat si terdakwa sehingga keputusan yang dikeluarkan setimpal dengan kesalahan yang telah dipernuat oleh terdakwa.
Di dalam persidangan, terdakwa bebas menentukan sikapnya di dalam persidangan atau terdakwa bisa berdusta dalam menyangkal tuduhan yang ditujukan kepadanya
Dalam mengadili suatu perkara, hakim tidak boleh mempunyai hubungan keluarga baik hubungan sedarah, semenda, hungan suami istri meskipun telah bercerai, selain itu hakim juga tidak boleh mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa baik atas permintaan sendiri maupun permintaan pihak yang berperkara
Sebelum menjalankan tugasnya, hakim, panitera, panitera pengganti dan juru sita mengucapkan janji atau sumpah yang lafalnya telah diatur oleh undang – undang menurut agamanya masing – masing
Bab V
Hakim adalah pejabat yang memiliki kekuasaan kehakiman yang harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil professional, dan berpengalaman di bidang hukum dan hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Dalam pasal 34 yang berisi tentang pengaturan syarat dan tata cara pengangkatan hakim dan juga dalam pengawasan terhadap perilaku hakim saat menjalankan tugasnya terdapat komisi yang berwenang untuk melakukanya yaitu Komisi Yudisial, dimana pengawasan yang dilakukan oleh komisi yudisial telah diatur oleh undang – undang.
Selain itu undang – undang juga mengatur pengangkatan, dan pemberhentian hakim dan juga mengatur tentang tugas pokok panitera, panitera penganti dan juru sita yang tertuang dalam pasal 35 UU No 4 tahun 2004.
Bab VI
Dalam bab ini yang mengatur tentang pelaksanaan putusan, pelaksaan putusan dilakukan oleh jaksa dan pengawasanya dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan yang semuanya itu telah diatur oleh undang – undang. Sedangkan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan oleh juru sita yang dipimpin oleh ketua pengadilan, maksud ari keta “ dipimpin “ dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan dimana pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan karena putusan pengadilan tidak boleh subjektif atau memihak salah satu pihak.
Bab VII
Seseorang (tersangka) dapat memperoleh bantuan hokum dari advokat saat tersangkut dalam sebuah perkara. Sebelum terbukti bersalah, tersangka diperbolehkan untuk berhubungan dengan keluaraga atau advokat sepanjang tidak mengganggu proses pemeriksaan dan advokat tersebut wajib membantu memnyelesaikan perkara dengan menjunjung tinggi hokum dan keadilan.
Bab VIII
Badan atau lembaga yang memiliki fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman yaitu lain POLRI, Kejaksaan dan badan lain yang diatur dalam UU.
Bab IX
peralihan mengenai organisasi, administrasi dan financial yang ada dalam lingkungan peradilan umum, dan peradilan tata usaha Negara, peradilan agama dan juga peradilan militer.
Penetapan peralihan itu sendiri harus di tetapkan melalui keputusan Presiden, keputusan Presiden ini paling lambat harus sudah di terbitkan 30 hari sebelum jangka waktu berakhir atau limit waktu berakhir untuk peradilan umum dan tata usaha Negara sedangkan untuk peradilan agama dan militer harus sudah di terbitkan keputusan Presiden tersebut paling lambat 60 hari
Bab X
segala ketentuan peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang belum di bentuk yang baru dan tidak di atur dalam undang-undang ini, hal ini di maksudkan agar tidak terjadi adanya kekosongan hukum.
Sesuai dengan azas hukum yang berbunyi : “Undang-undang yang baru meniadakan undang-undang yang lebih lama” maka setelah di keluarkannya undang-undang No. 4 Tahun 2004 ini maka UU No. 14 tahun 1970, dan ubahnya UU No. 35 Tahun 1999 di nyatakan tidak berlaku lagi.
B. Kode etik
Kode etik profesi hakim ini adalah dengan maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Sebagai alat untuk membina dan membentuk karakter hakim.
2. Sebagai alat untuk mengawasi tingkah laku para hakim.
3. Sebagai alat kontrol sosial.
4. Sebagai sarana pencegahan campur tangan extra judicial.
5. Sebagai sarana pencegahan timbulnya kesalahpahaman dan konflik antara sesama hakim dan antara hakim dan masyarakat.
6. Untuk menjaga kemandirian fungsional bagi hakim.
7. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.
Salah satu pengaturan penting dalm Kode Etik Profesi Hakim Indonesia adalah bagaimana seharusnya para hakim bersikap, baik di dalam dan di luar pengadilan.
Sikap dalam hubungan persidangan di pengadilan antara lain:
1. Bersikap dan bertindak menurut ggaris-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku, dengan memperhatikan asas-asas yang baik.
2. Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atu bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
3. Harus bersifat sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
4. Harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan, antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak yang berperkara, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
Hal-hal yang wajib dilakukan oleh para hakim:
1. Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berperkara secara berimbang dengan tidak memihak (impartial).
2. Sopan dalam bertutur dan bertindak.
3. Memeriksa perkara dengan arif, cermat, dan sabar.
4. Memutus perkara berdasarkan hukum dan rasa keadilan.
5. Menjaga martabat, kedudukan, dan kehormatan hakim.
Hal-hal yang dilarang dilakukan oleh para hakim:
1. Melakukan kolusi dengan siapa pun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.
2. Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
3. Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya di luar acara persidangan.
4. Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya, baik dalam persidangan maupun di luar persidangan mendahului putusan.
5. Melecehkan sesama hakim, jaksa, advokat, para pihak berperkara, ataupun pihak-pihak lainnya.
6. Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, ke
7. cuali dilakukan dalam rangka pengkajian ilmiah.
8. Menjadi anggota atau salah satu partai politik dan pekerjaan/jabatan yang dilarang undang-undang.
9. Mempergunakan jabatan Korps Hakim untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.
Berikut ini perincian dari nilai-nilai tersebut yang harus selamanya ditaati oleh hakim berdasarkan The Banglore Draft:
2. Nilai Kelayakan
Kepantasan adalah penting bagi pelaksanaan semua kegiatan seorang hakim.
3. Nilai Independensi
Peradilan yang independen tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan yang tidak memihak menurut hukum. Oleh karena itu, seorang hakim harus menjunjung dan memberi teladan independensi peradilan, baik dalam aspek perorangan maupun aspek institusi.
4. Nilai Integritas
Integritas adalah hal yang hakiki dalam pelaksanaan peradilan yg patut.
5. Nilai Ketidakberpihakan
Ketidakberpihakan adalah hal yang hakiki dalam melaksanakan jabatan peradilan yang patut. Hal tersebut tidak saja berlaku pada pembuatan keputusan tersendiri tetapi juga pada proses pembuatanh keputusan tersebut.
6. Nilai Persamaan
Memastikan persamaan perlakuan bagi semua orang di muka pengadilan adalah hal yang hakiki dalam pelaksanaan jabatan kehakiman yang layak.
7. Nilai Kompetensi dan Ketekunan
Kompetensi dan ketekunan merupakan prasyarat terhadap pelaksanaan jabatan peradilan yang benar.
8. Implementasi dan Pertanggungjawaban dari Nilai-nilai
Menerapkan nilai-nilai tersebut di atas dan menjamin kepatuhan hakim terhadapnya adalah hal hakiki dalam hal mencapai tujuan peraturan profesi secara efektif.
C. Fakta yang actual
Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam. Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara. Di dalam kenyataannya tidak dapat diharapkan, bahwa seseorang hakim mengetahui segala peraturan hukum. Pada hakekatnya, seorang hakim hanya diharapkan atau diminta mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa atau salah tidaknya seseorang dan memberi putusannya. Akan tetapi, berhubung dengan perkembangan dalam ilmu pengetahuan hukum, pesatnya lalu-lintas hukum dan mengingat pula kedudukan hakim atau pengadilan yang merupakan tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan, maka hakim dianggap tahu akan hukum.
Namun seperti yang kita ketahui bahwa perkara perdata dan perkara pidana berbeda. Maka, keaktifan hakim dalam menyelesaikan perkara perdata dan perkara pidana berbeda pula.
Karut-marutnya sistem peradilan negeri ini sudah menjadi rahasia umum. Jual beli perkara di pengadilan untuk mengurangi hukuman sampai membebaskan terdakwa sering terjadi. Tetapi, hingga saat ini belum ada bukti yang bisa menyeret pengacara dan hakim nakal ke meja hijau. Paling tidak ada tiga kecenderungan putusan peradilan Indonesia. Menjatuhkan vonis berat dalam kasus terorisme, tetapi membebaskan terdakwa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Sebut saja pelanggaran HAM Tanjungpriok, Timtim, dan Abepura. Kepercayaan masyarakat pada peradilan sampai titik nadir. Upaya pembersihan sangat diharapkan. Secercah harapan muncul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Harini Wijoso, Jumat (30/9), bersama lima pegawai Mahkamah Agung atas tuduhan suap. Mereka diduga akan menyuap hakim MA yang menangani kasasi perkara korupsi Probosutedjo. KPK yakin kasus itu bisa membuktikan mafia peradilan itu ada dan bisa diberantas.
Guru Besar di Bidang Hukum Perdata dan Perlindungan Konsumen Universitas Katolik Parahyangan Bandung Prof Dr Wila Chandrawila Supriadi mengatakan, untuk meminimalisasi penyelewengan oleh hakim, masyarakat harus terlibat aktif mengawasi kinerja hakim. Salah satu cara efektif mengawasi kinerja hakim dan lembaga peradilan pada umumnya, menurut Wila, adalah dengan memperbaiki sistem registrasi perkara. Sistem ini sebaiknya dibuat online atau setidaknya ada sistem komputerisasi registrasi perkara. Dengan sistem itu, masyarakat bisa dengan mudah melihat dan menilai putusan majelis hakim, apakah sesuai dengan kepastian hukum dan rasa keadilan atau belum.
Hakim di Indonesia yang menganut Eropa kontinental memiliki kemandirian memutus perkara. Berbeda halnya dengan hakim di negara Anglo Saxon. Dalam kasus besar, hakim dibantu keberadaan juri. Juri bukan praktisi hukum, melainkan masyarakat biasa. Rakyat ikut memutus apakah terdakwa salah atau tidak. Sementara yang menentukan hukuman adalah hakim. Sistem peradilan di Indonesia tidak mengenal hakim tunggal, kecuali untuk pidana ringan. Hakim kita jumlahnya tiga orang. Kita juga tak kenal juri. Kemandirian hakim bisa dilihat di sini.
Sistem hukum di Indonesia sudah dapat dikatakan baik tetapi sekarang tergantung pada pribadi hakim. Hukum bisa dilihat dari berbagai sudut. Sumber hukum di Indonesia cukup banyak, yakni undang-undang, kebiasaan, traktat, hukum internasional, dan yurisprudensi. Tergantung hakim ingin memilih sumber hukum tersebut.. Bahkan, doktrin juga dapat menjadi sumber hukum. Majelis hakim agung menyatakan pengambilan putusan berdasarkan kepastian hukum, mereka hanya melihat dasar hukumnya. Yurisprudensi dan doktrin hukum tidak boleh digunakan. Tetapi, bila kita melihat putusan itu dari sisi keadilan hukum, boleh saja. Karena adil bagi yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya.
Dalam sistem hukum Indonesia, hakim hanya melihat kepastian hukum. Hakim hanya menggunakan undang-undang atau peraturan hukum. Masyarakat harus sadar sistem hukum di Indonesia tak menganut sistem keadilan, tetapi sistem kepastian hukum. Selama kita menganut sistem kontinental, kita belum memberi keadilan hukum. Inginnya, kepastian dan keadilan hukum berjalan bersama. Masalahnya, keadilan hukum bisa mengorbankan kepastian hukum.
A. Mafia Peradilan
Menurut pandangan Wila, praktik mafia peradilan di Indonesia susah dibuktikan. Kasus suap di MA, misalnya, sulit dibuktikan. Probo, misalnya, mengaku habis Rp 16 miliar untuk kasusnya mulai dari tingkat terbawah. Namun, kenyataannya dia malah dihukum di pengadilan negeri maupun tinggi. Hakim harus memutuskan berdasar kebenaran dan di atas kebenaran. Kalau memang hal itu yang terjadi, semua bisa baik. Orang yang berani hanya orang yang benar dan orang yang salah, meski punya banyak uang, tidak akan berani maju kalau hakimnya berprinsip seperti itu. Suap akan hilang dengan sendirinya. Munculnya Komisi Yudisial sebagai pengawas kinerja hakim memunculkan harapan tersendiri bagi pencari keadilan. Tapi, karena komisi ini merupakan lembaga baru dan sebagian besar anggotanya bukan praktisi hukum/peradilan, kemampuannya dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan. Ini bisa menjadi masalah. Anggota Komisi Yudisial berhak mengangkat staf yang memiliki keahlian di bidang hukum atau praktisi hukum. Staf ahli inilah yang akan meneliti pengaduan yang masuk dan merekomendasikan apakah pengaduan ini bisa diteruskan atau tidak.
Sistem registrasi perkara juga perlu diperhatikan, baik di pengadilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi. Selama ini pihak-pihak yang berperkara saja sering sulit mendapatkan salinan putusan pengadilan. Apalagi pihak luar, pasti lebih sulit. Lembaga ini harus membenahi sistem informasi atau registrasi perkara, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga pengadilan tingkat kasasi. Hal ini diperlukan agar mereka bisa memetakan masing-masing perkara dengan mudah. Bila telah ada sistem registrasi atau informasi perkara secara online, hakim akan berhati-hati dalam memutus perkara. Sebab, putusannya bisa dilihat, dipelajari, dan dinilai masyarakat. Dari situlah masyarakat bisa ikut mengawasi kinerja hakim. Kalau hakim memutus bebas orang yang salah, masyarakat pasti menduga ada apa-apa dibalik putusan itu. Logika awam akan mengarah ke suap. Kalau sistemnya tak dibenahi, satu generasi lembaga ini tak bisa membenahi sistem peradilan dan hakim-hakimnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar