TUN

on Senin, 15 Maret 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Salah satu masalah penting yang dapat menyebabkan peradilan kurang dapat berjalan dengan cepat dan sederhana adalah adanya penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Dengan penyelesaian perkara kasasi sebanyak 8.500 setiap tahun sedangkan penerimaan perkara dalam jumlah yang hampir sama atau lebih besar, dapat diperkirakan bahwa penumpukan perkara di Mahkamah Agung RI tidak akan dapat diselesaikan.
Pada saat ini jumlah perkara yang menumpuk di Mahkamah Agung ± 17.509 perkara (data bulan Juni 2003). Pada dasarnya penumpukan tersebut disebabkan karena semua jenis perkara baik Pidana, Perdata maupun Tata Usaha Negara dapat diajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan kritikan-kritikan terhadap kinerja badan peradilan diseluruh Indonesia. Proses penyelesaian perkara melalui pengadilan dianggap sangat lambat, membuang waktu, mahal serta berbelit-belit. Semakin lama para pencari keadilan semakin tidak percaya dan kurang simpatik terhadap kinerja dan proses penegakan hukum di Indonesia.
Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok ¬ Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : "Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan". Oleh karena itu, perlu dicarikan penyelesaiannya yang lebih mendasar dan adanya ide pemikiran kembali mengenai pembatasan upaya hukum kasasi yang dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.
Upaya pembatasan kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah dengan adanya Pasal 45 A ayat (2) huruf C UU No.5 Tahun 2004: “Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan”. Artinya bahwa terhadap putusan pejabat tata usaha Negara lokal dan jangkauan berlakunya KTUN tersebut bersifat lokal tidak dapat dimintakan kasasi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah upaya hukum terhadap putusan PTTUN yang tidak dapat dimintakan kasasi?
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bagaimanakah yang dapat dimintakan kasasi?


















BAB II
PEMBAHASAN
Terhadap sengketa tata usaha Negara yang diperiksa oleh hakim, pada akhirnya hakim harus menjatuhkan putusan. Akan tetapi, karena hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, maka pada putusan tersebut dapat saja terjadi adanya kekeliruan. Untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana hukum untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum.
Jadi, upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan pengadilan.
Upaya hukum yang dimaksud adalah:
1. Upaya hkum biasa, yang terdiri dari:
A. Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal.
B. Banding.
C. Kasasi.
2. Upaya hukum luar biasa, yang terdiri dari:
A. Peninjauan kembali (PK).
B. Kasasi demi kepentingan hukum.
Kedua istilah tersebut dipinjam dari istilah yang dipergunakan dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

A. Pembatasan Kasasi dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf C UU No. 5/ 2004
UU No 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman, tidak ditemukan satu pun pasal yang
membatasi upaya hukum kasasi ini. Demikian juga dengan UU NO 14 Tahun
1985 tentang mahkamah agung. UU ini secara implisit juga membolehkan
setiap orang yang berperkara untuk memanfaatkan upaya hukum kasasi.
Hal demikian dapat dilihat pada pasal 44 ayat (1) butir a yang
berbunyi: ''Permohonan kasasi dapat diajukan oleh pihak yang
berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam
perkara perdata atau perkara tata usaha negara yang diperiksa dan
diputus oleh pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir di
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama dan lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara''. . Artinya bahwa terhadap putusan di lingkungan peradilan manapun dapat dimintakan kasasi.
Mengenai ketentuan pemeriksaan tingkat kasasi dalam perkara tata usaha Negara diatur dalam Pasal 131 UU No.5 Tahun 1986. Menurut Pasal 131 ayat (1), putusan yang dapat diperiksa di tingkat kasasi adalah “putusan tingkat terakhir pengadilan”. Yang dimaksud dengan “putusan tingkat terakhir peradilan” tersebut adalah putusan pengadilan tinggi tata usaha Negara.
Menurut Pasal 45 A ayat (2) huruf C UU No.14 Tahun 1985 jo UU No.5 Tahun 2004 ditentukan bahwa putusan terhadap sengketa tata usaha Negara yang objek gugatannya berupa putusan pejabat daerah yang jangkuan putusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan, dikecualikan dari putusan yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi.
Jika sampai ada pemohon yang mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi terhadap putusan tersebut, maka atas dasar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf C tersebut diatas, maka pemohonan tersebut dinyatakan tidak diterima, cukup dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat pertama sedang berkasnya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.
Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut, oleh Pasal 45 A ayat (2) huruf C UU No.14 Tahun 1985 jo UU No.5 Tahun 2004 ditentukan tidak dapat diajukan upaya hukum.
Adanya pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara tentunya merupakan pembatasan terhadap hak seseorang untuk mendapatkan keadilan, hal ini tentunya sangat merugikan. Tehadap Pasal 45 A ayat (2) huruf C UU tentang MA tersebut pernah dimintakan hak pengujian materiil oleh Hendriansyah yang merupakan direktur CV. Sungai Bendera Jaya yang bergerak dibidang pengelolaan sarang burung walet asal Kab. Kutai Timur. Pasalnya Hendriansyah pada 9 September 2005 dia mengantongi izin pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet dari Bupati Kutai Timur. Izin itu memberikan hak kepadanya untuk mengelola dan mengusahakan sarang burung walet di Gua Sesap, Batu Aji, Sedepan, dan Kerta, Desa Tepian Langsat, Kabupaten Kutai Timur. Ijin tersebut diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun lamanya. Namun baru berjalan satu tahun, Bupati Kutai Timur mencabut izin tersebut. Anehnya, pada tanggal, bulan, dan tahun yang sama di lokasi gua yang sama, diterbitkan izin pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet kepada Junaidi HM, yang notabennya seorang Ketua Koperasi Pelita Warga di Desa Tepian Langsat, Kabupaten Kutai.
Terhadap penetapan ini herdiansyah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda. Dia menuntut agar keputusan bupati yang mencabut dan kemudian memberikan izin pengelolaan sarang walet tersebut dibatalkan. Pada 22 Februari 2007 gugatan tersebut dikabulkan majelis hakim PTUN Samarinda. Tapi, kemenangan itu hanya sementara. Dalam pemeriksaan tingkat banding, Pengadilan Tinggi TUN Jakarta membatalkan putusan tadi.
Masalah muncul ketika laki-laki 42 tahun itu hendak mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda menolak berkas yang dia ajukan. Hakim menunjuk Pasal 45 A ayat (2) huruf C dan ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.
Menurut Tumbur selaku kuasa hukum Herdiansyah, ketentuan dalam UU tentang Mahkamah Agung itu jelas menabrak amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tumbur juga menunjuk Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pemohon Hendriansyah yang merupakan direktur CV. Sungai Bendera Jaya yang bergerak dibidang pengelolaan sarang burung walet asal Kab. Kutai Timur, menganggap Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur pembatasan perkara yang dapat dikasasi ke MA bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 24 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) serta Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mencabut, membatasi, dan menghilangkan hak Pemohon untuk mengajukan kasasi terhadap dua putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 60/B/2007/PT.TUN.JKT., tanggal 28 Juni 2007 dan Nomor 59/B/2007/PT. TUN.JKT., tanggal 28 Juni 2007. Ketentuan pasal a quo oleh Pemohon juga dianggap diskriminatif, karena hanya membatasi kasasi perkara TUN yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah, sedangkan terhadap perkara TUN yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat pusat tidak dibatasi kasasinya.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, apabila dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, MK berpendapat permohonan Pemohon tidak ada sangkut-pautnya dengan hak atas perlakuan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut hak atas perlakuan yang sama dalam pemerintahan, dalil Pemohon tidaklah beralasan. Sementara itu, menyangkut persoalan apakah ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap Pemohon, menurut MK, dalil demikian baru dapat diterima apabila terdapat pihak lain yang mempunyai kualifikasi yang sama dengan Pemohon tetapi memperoleh perlakuan yang berbeda sebagai akibat diberlakukannya Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA, hal mana telah ternyata tidak terbukti. Kalaupun terdapat peristiwa yang serupa dengan yang dialami Pemohon namun peristiwa dimaksud terjadi sebelum dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, hal demikian bukanlah merupakan bukti perlakuan tidak sama di hadapan hukum melainkan sebagai konsekuensi dari adanya perubahan undang-undang.
Sedangkan menyangkut pertanyaan apakah Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA telah melahirkan perlakuan yang bersifat diskriminatif, berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, apa yang dialami oleh Pemohon, MK berpandangan hal tersebut tidaklah termasuk dalam pengertian diskriminasi. Benar bahwa Pemohon telah mengalami perlakuan yang berbeda namun perlakuan yang berbeda itu bukanlah lahir karena adanya norma undang-undang yang bersifat diskriminatif melainkan karena adanya perubahan perundang-undangan.
Lebih lanjut MK berpendapat, dilihat dari sudut pandang harmonisasi horizontal antar-peraturan perundang-undangan, dalam hal ini antara UU MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004), pembatasan demikian pun dapat diterima. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 22-nya dinyatakan, “Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Selain itu, jikapun dalam putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon masih dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang berwenang memperbaiki kekeliruan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi “Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan” tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Terhadap putusan pengadilan tinggi tata usaha Negara memang tidak dapat diajukan kasasi jika hal objek gugatannya berupa keputusan pejabat tata uasha Negara yang jangkauan keputusannya berlaku lokal. Namun apabila dalam putusan PTTUN tersebut terdapat kekeliruan, masih dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum berupa peninjauan kembali (PK).
Menurut Pasal 132 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986, putusan yang dapat diajukan permohonan peninjauan kembali adalah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Adapun alasan-alasan untuk dapat mengajukan peninjauan kembalia berdasarkan Pasal 67 UU No.14 tahun 1985 adalah:
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hukum atau suatu kekeliruan yang nyata.

B. Putusan yang dapat diajukan kasasi
Pada asasnya terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun dengan adanya pembatasan dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf c UU MA, maka terhadap keputusan pejabat lokal yang jangkauannya berlaku lokal tidak dapat diajukan kasasi. Apabila diartikan secara akuntrario terhadap pasal tersebut, maka terhadap keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat nasional waalupun dikeluarkan oleh pejabat lokal maka dapat diajukan kasasi ke mahkamah agung.

0 komentar: