teroris bukan

on Senin, 15 Maret 2010

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sejak terjadi ledakan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta, 17 Juli 2009, media mulai menyiarkan pemberitan mengenai teror ini. Hingga akhir pekan 08 Agustus 2009 lalu, beberapa stasiun televisi hampir setiap hari menyiarkan secara langsung drama penyergapan safe house selama hampir 20 jam yang menjadi tempat persembunyian orang-orang yang diduga teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Melihat hal ini, penulis memberikan apresiasi terhadap media dalam menyajikan informasi secara cepat kepada publik. Namun menurut penulis, pemberitaan ini hanya sekedar terpicu oleh pemikiran emosional semata untuk menghadirkan informasi yang cepat saja. Sebuah langkah strategis yang sedang dilakukan oleh pihak kepolisian, yang seharusnya dirahasiakan demi keberhasilan operasi tersebut, justru dijadikan konsumsi publik dalam bentuk siaran langsung.
Peristiwa ini telah menggambarkan bahwa pemberitaan yang telah dikemas dengan penyajian tertentu dapat memberikan citra negatif terhadap objek pemberitaannnya. Akibat dari pemberitaan ini muncul stigmatisasi buruk terhadap dunia Islam, seolah-olah terorisme itu dekat dengan orang-orang Islam yang berusaha menjalankan ajarannya secara kaffah (menyeluruh). Setiap orang yang merasa beridentitas Islam, apalagi ketika berada di tengah lingkungan masyarakat yang mayoritas non-Muslim, secara langsung akan merasa ikut tertuduh dengan cara pemberitaan semacam itu. Kata-kata “Islamic Terrorist” seolah memberi stigma yang tertuju kepada setiap individu Muslim.

Pada akhir abad 20, proses stigmatisasi semacam ini semakin terasa. Berbagai peristiwa kekerasan politik yang mengkaitkan kata “Islamic” semakin sering terdengar. Sederet peristiwa seperti Revolusi Iran (yang disimbolkan dalam tokoh Imam Khomeini), Perang Teluk (Saddam Hussein), pengeboman pesawat terbang Panam (Khadafi), pergolakan di Chechnya, pengeboman World Trade Center, New York (Syaikh Omar Abdul Rahman), hingga kasus Bom Bali 12 Oktober 2002, semuanya diberitakan dengan menyertakan kata-kata “Islamic Terrorist”, “Islamic Extremist” atau “Islamic Fundamentalist”. Islam digambarkan sebagai sumber teror dan ladang bagi munculnya gerakan-gerakan pembuat kerusuhan.
Padahal kalau kita lihat sejarah penyebar teror bukan hanya dari kalangan Islam saja, tetap juga berasal dari kalangan non-Muslim. Banyak contoh dapat disebutkan, seperti pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Serbia (Kristen Orthodox) terhadap warga Muslim Bosnia, pengeboman yang dilakukan kelompok
Katolik “Irish Republican Army” (IRA) karena adanya rasa ketidakpuasan atas dominasi pemerintahan Protestan Inggris, gerakan sekte keagamaan (Kristen) yang dipimpin David Koresh, disebut sebagai “Davidian” atau “Cult” di Weco, Texas, dan juga pemberitaan gerakan rasis kelompok kulit putih (Kristen) “The Klu Klux Klan” yang telah berlangsung lama di Amerika. Walaupun secara umum aksi-aksi teror tersebut dilakukan oleh kalangan non-Muslim tetapi tetap saja kelompok-kelompok tersebut tidak bisa disebut sebagai “Catholic Terrorist” atau “Christian Terrorist”. Dari contoh-contoh ini, jelas media Barat memberlakukan standar ganda dalam meliput kasus-kasus kekerasan. Label-label “Christian Terrorist” atau “Catholic Extremist” dan sejenisnya hampir tidak pernah terdengar. Sebaliknya, kata “Islamic Terrorist” hampir tidak pernah luput disebut jika aksi kekerasan itu secara kebetulan dilakukan oleh kelompok-kelompok yang beragama Islam. Sikap ini jelas dapat menjadi indikasi bahwa pers Barat menyadari akan perlunya menghindari terjadinya stigmatisasi di kalangannya sendiri, dan sebaliknya secara sengaja menyebarkan stigma untuk masyarakat Islam secara umum.
Oleh karena itu, penulis ingin memberikan pandangan yang objektif terhadap aksi-aksi terorisme khususnya yang ada di Indonesia karena selama ini, pemberitaan tentang aksi-aksi terorisme dinilai tidak adil oleh sebagian kalangan dan malah cenderung menyakiti perasaan Umat Islam. Hal yang terpenting dalam melihat kasus ini adalah mencari akar masalah yang menjadi penyebab munculnya terorisme selama ini. Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk mengusut sampai tuntas Tindak Pidana Terorisme dengan menghukum pelaku dan aktor intelektual dibalik teror tersebut. Dalam melakukan pengusutan tersebut diperlukan perangkat hukum di luar KUHP yang mengatur secara khusus tentang Tindak Pidana Terorisme, yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2. Maksud dan Tujuan
a. Maksud
Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur dari Dosen Pengampu Mata Kuliah Pidana Khusus yang materinya menyangkut masalah terorisme. Makalah ini juga bertujuan sebagai sarana untuk belajar dalam menuangkan pemikiran penulis tentang Mata Kuliah Pidana Khusus yang diterima dengan ditunjang dari beberapa referensi-referensi yang mendukung permasalahan ini.
b. Tujuan
Dengan penulisan makalah ini, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dan tambahan wawasan atau pengetahuan bagi pembaca mengenai hal-hal yang berkenaan dengan upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat luas agar tidak terjebak dalam perangkap stigmatisasi yang menyesatkan dan sebagai upaya meminimalkan aksi terorisme melalui pendekatan hukum dan sosial yang membawa pengaruh tehadap kondisi keamanan dalam dan luar negeri.

3. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat diambil beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas, antara lain:
1. Apakah yang dimaksud dengan terorisme dan apa latar belakang terjadinya aksi terorisme tersebut?
2. Apakah pemberitaan kasus terorisme oleh media menimbulkan stigmatisasi negatif terhadap Ummat Islam?
3. Bagaimana cara untuk menanggulangi aksi terorisme tersebut?













BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Terorisme
Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli hukum pidana internasional, tidak mudah untuk membuat pengertian terorisme yang dapat diterima secara universal. Begitu juga dengan Prof. Brian Jenkins, Ph.d., menurutnya terorisme merupakan pandangan yang subjektif, karena tidak mudah untuk membuat sebuah definisi yang paten, maka definisi terorisme lebih banyak diambil dari subjektivitas orang yang mendefinisikannya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri pernah membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun, namun tidak membuahkan hasil definisi yang paten. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam memahami pengertian terorisme yang paling otentik adalah dengan mengambil definisi secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis mengambil beberapa definisi terorisme yang diungkapkan di dalam kamus, undang-undang, dan oleh para ahli.


Menurut Black’s Law Dictionary, ”Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a). mengintimidasi penduduk sipil. b). mempengaruhi kebijakan pemerintah. c). mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.”

Laqueur (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut, yaitu bahwa ciri utama dari terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam terorisme dangat bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama .
Pakar Intelejen, AC. Manullang, juga mendefinisikan, “Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi, dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.”
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, di dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dapat dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam bahasa Arab, terorisme dikenal dengan istilah Al Irhab, berasal dari kata Rohiba-Yarhabu-Rohbatan-wa Ruhban-wa Rohaban yang berarti Khoofa (takut). Sebelum memahami definisi Al Irhab secara mendalam, maka harus dibedakan definisi Al Irhab secara bahasa dan secara syari’at atau istilah. Al Irhab secara bahasa adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan kepanikan, ketakutan, membuat gelisah orang-orang yang aman, menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan menghentikan aktivitas mereka serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan dan interaksi.
Sedangkan Al Irhab secara syari’at atau istilah adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan berbagai bentuknya. Kata irhab menurut tinjauan syari’at pada dasarnya bukanlah kata yang dibenci. Bahkan ini merupakan kata yang mendapat bagian makna tersendiri di dalam syari’at dan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah di dalam Al Qur’an Surat Al Anfal ayat 60:
  •         •  •                     
Artinya:
60. “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Berdasarkan keterangan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Al Irhab dapat diperbolehkan dan dapat pula diharamkan. Al Irhab beraneka ragam hukumnya tergantung dari tujuannya, seperti keberadaan Ummat Islam untuk mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhab (takut) terhadap musuh sehingga tidak mengganggu agama, aqidah, dan individu-individu Ummat Islam. Maka hal tersebut termasuk ke dalam perkara yang diperbolehkan atau justru dituntut (diinginkan) keberadaannya pada kaum muslimin agar mereka dapat membela agamanya sendiri, sesuai dengan Hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam:

وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ
Artinya:
“Saya ditolong dengan Ar Ru’bi (timbulnya rasa takut/gentar pada musuh) selama perjalanan satu bulan”. (H.R. Bukhary-Muslim dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah dengan sanad yang shohih).

Maksudnya adalah bahwa yang termasuk salah satu ciri khas Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya adalah ditimbulkannya rasa takut/gentar pada musuh-musuhnya ketika pasukan kaum muslimin masih berada dalam jarak perjalanan satu bulan dari mereka. Inilah Al Irhab yang diperbolehkan menurut Syari’at (hukum) Islam.
Sedangkan Al Irhab yang dilarang menurut Syari’at Islam adalah penyerangan terhadap orang-orang yang dalam keadaan aman atau tidak dalam keadaan peperangan dengan cara pembunuhan, perusakan harta benda, dan menimbulkan berbagai macam ketakutan, yang dilakukan terhadap orang kafir atau kaum muslimin. Hal ini berbeda apabila terjadi peperangan antara negara muslim dengan negara harby (negara kafir/negara musuh). Apabila negara muslim memerangi negara kafir serta tidak ada di antara keduanya mu’ahad atau hilif (perjanjian) dan keduanya saling menyerang secara tiba-tiba, maka dalam keadaan ini diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk melakukan penyerangan agar dapat mengalahkan musuh, menahan kezholiman musuh, dan menjaga kehormatan agamanya.

2. Latar belakang terjadinya Terorisme
Dalam buku yang berjudul The Clash of Civilization yang ditulis oleh Samuel Huntington, dikatakan bahwa musuh yang akan dihadapi oleh Barat setelah tumbangnya kekuatan komunisme adalah ideologi Islam. Sebelum Samuel Huntington mengungkapkan teori tentang “benturan peradaban” tersebut, sesungguhnya awal mula benturan peradaban telah terjadi pada abad 20, yaitu pada peristiwa runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani di Turki, tepatnya pada tanggal 24 Mei 1924. Sejak peristiwa itu sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah digantikan dengan sistem pemerintahan sekuler yang dilakukan oleh seorang keturunan Yahudi bernama Mustafa Kamal At Tatturk yang mendapat julukan “Bapak Turki”.
Peristiwa ini dinilai menyakitkan oleh sebagian Umat Islam karena dianggap sebagai kemunduran Islam sepanjang sejarah. Sejak saat itu terjadi konflik antara kaum Fundamentalis Islam yang ingin menjalankan ajarannya secara kaffah (menyeluruh) dengan kaum sekuler, Yahudi, dan Nasrani. Kaum fundamentalis merasa bahwa mereka berperang melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam nilai-nilai yang sangat suci dari ajaran agamanya.
Sebagaimana diketahui, kaum fundamentalis Islam sangat berkarakter anti Amerika Serikat, anti Israel, anti demokrasi, anti kapitalis, dan militer global. Motifnya, sejauh yang dapat dianalisa dari karakter politik luar negeri AS selama ini, adalah kebencian terhadap sikap AS yang sekular, anti Islam, yang terlalu posesif dan overprotective terhadap Israel. Selain itu, banyak faktor-faktor atau variabel yang menyebabkan munculnya terorisme terutama difokuskan pada perubahan lingkungan strategi internasional dan kebijakan-kebijakan dari negara-negara maju yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) yang mempunyai dampak internasional, antara lain:

a. Bidang politik
Dalam tata hubungan internasional berbagai aturan berbangsa dan bernegara banyak bersumber dari ideologi kapitalisme dibuat dan diinternasionalisasikan maka lahirlah, antara lain: Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) tahun 1948. Deklarasi ini mencantumkan penjaminan atas kebebasan manusia terutama kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan perilaku. Internasionalisasi ini dibutuhkan AS agar setiap tindakannya di dunia internasional menjadi legal atau sah meskipun sebenarnya sekadar untuk kepentingan nasional (national interest) AS semata. Dalam pelaksanaannya dipandang tidak adil untuk beberapa negara misalnya pembantaian Israel terhadap rakyat Palestina yang jelas-jelas melanggar HAM, tetapi AS dan PBB tidak berusaha menyelesaikan dengan adil, hal ini menimbulkan ketidakpuasan beberapa negara Islam khususnya Palestina, Irak, Iran dan Suriah, hal ini menimbulkan rasa dendam dan pembalasan dendam dengan membentuk terorisme.
Selain hal itu, setelah runtuhnya Blok Komunis, tatanan dunia internasional menjadi unipolar/multipolar. Kekuatan dunia didominasi hanya oleh satu kubu saja, yaitu Blok Kapitalis yang dipimpin oleh AS. Pada awalnya, banyak pihak berharap setelah berakhirnya Perang Dingin ini membuat dunia semakin damai. Namun, sebaliknya AS dengan dominasi tunggalnya, justru menyebarkan kerusakan dan kehancuran di seluruh dunia, AS kemudian merancang apa disebut dengan The New Order (Tatanan Dunia Baru) yang dipimpin oleh AS. Tatanan Dunia Baru itu hanya merupakan keinginan AS untuk menjadikan seluruh dunia tunduk kepada AS dan mengikuti kehendaknya. Tujuan dasar dari strategi AS pada era baru adalah untuk mencegah munculnya kekuatan tandingan yang baru, baik dalam level global maupun wilayah regional strategis yang penting. Tujuan lainnya AS adalah menyisakan kekuatan luar yang dominan dan mengamankan akses AS dan negara-negara Barat terhadap minyak di daerah tersebut. Keserakahan dan ketidakadilan ini menimbulkan perlawanan-perlawanan dalam bentuk terorisme bagi sekelompok orang militan/separatisme dan atau bagi Negara-negara yang dirugikan.

b. Bidang ekonomi
Internasionalisasi kepentingan AS dilakukan dengan membuat suatu tatanan ekonomi internasional dengan sperangkat organisasinya seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Langkah paling penting yang dilakukan AS adalah mengubah sistem mata uang dunia dengan menjadikan dollar sebagai standar untuk menilai mata uang yang berbeda-beda. Sedangkan untuk negara-negara Eropa dengan mata uang Euronya. Hal ini berarti mengontrol perekonomian negara lain dan mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi khususnya pada negara-negara sedang berkembang. Kondisi demikian mendorong timbulnya terorisme yang mengkhususkan diri pada bidang ekonomi.
Beberapa program yang sering disyaratkan IMF, antara lain, adalah suku bunga tinggi yang mengakibatkan mandeknya roda perekonomian dan industri negara pengutang/peminjam. IMF juga memaksa negara pengutang untuk mengurangi belanja negara dengan meningkatkan pajak dan tarif jasa serta menghentikan subsidi untuk barang-barang konsumtif. Implikasinya, beban masyarakat semakin berat disebabkan naiknya biaya bagi sektor jasa seperti telekomunikasi, transportasi, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan. IMF juga mensyaratkan perdagangan bebas dan kebebasan berinvestasi. Tujuan utama dari liberalisasi perdagangan ini adalah untuk membuka pasar seluruh negara-negara di dunia bagi produk unggulan dan investasi negara-negara kapitalis atau negara-negara maju. Dengan demikian, negara-negara berkembang akan selalu berada dibawah hegemoni AS dan negara-negara maju lainnya. Ketidakadilan ini
menimbulkan perlawanan-perlawanan bagi negara-negara berkembang dan sekelompok
militan/separatisme dengan membentuk terorisme.

c. Bidang pemahaman agama
Aksi terorisme yang pada dasarnya ditentang oleh syari’at Islam ini justru dianggap oleh pelaku aksi terorisme sebagai bagian dari jihad di jalan Alloh, sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid. Hal ini muncul akibat kesalahan pemahaman beberapa orang dalam memahami ajaran jihad. Para pelaku teroris mempunyai anggapan bahwa semua aksi pembunuhan terhadap orang kafir termasuk jihad meskipun dalam zona damai dan tidak sedang perang adalah diperbolehkan secara syari’at. Padahal dalam pandangan fiqih Islam, kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir yang sedang terjun di medan perang, sehingga tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang haramnya melenyapkan nyawa orang yang terlindungi baik nyawa muslim maupun non muslim kecuali ada alasan untuk membunuhnya seperti qishaash, rajam atau peperangan, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 32:
                   ••      ••        •        
Artinya:
32. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya . dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
Selain itu, aksi terorisme yang terjadi juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap hakikat keindahan Islam yang diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam, yang tidak mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat kerusakan di muka bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Qahshash ayat 77:
                         •     
Artinya:
77. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Tujuan dari Syari’at Islam adalah untuk melindungi manusia dari bahaya kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia, sehingga Syari’at Islam melarang seseorang untuk merusak lima tatanan kehidupan, yaitu agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Oleh karena itu, seseorang yang menodai salah satu di antara lima perkara tersebut telah dianggap merusak tatanan kehidupan dan menodai inti ajaran Islam.

3. Pemberitaan media terhadap kasus Terorisme
Ledakan bom yang kembali mengguncang hotel JW Mariott dan Ritzl Carlton telah membuat pemberitaan tentang terorisme oleh media menjadi meningkat, hampir setiap hari pemberitaan mengenai detik-detik pemboman hingga pemberitaan tentang profil Jamaah Islamiyah yang dikaitkan dengan aksi teror tersebut selalu mendominasi pemberitaan. Polri lalu melalukan jumpa pers perihal tentang pemboman yang terjadi di kawasan Kuningan tersebut, melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Nanan Sukarna, polisi mengatakan bahwa aksi teror tersebut termasuk bom bunuh diri dan pelaku dari aksi teror tersebut berinisial N (Nur Sahid alias Nur Hasbi). Segala cara dilakukan untuk mendukung teori polisi bahwa pelakunya adalah pria berinisial N. Namun, setelah dilakukan tes DNA oleh polisi kepada keluarga Nur Hasbi, hasilnya adalah DNA pelaku bom bunuh diri tersebut dtidak identik dengan DNA keluarga Nur Hasbi. Setelah tes DNA tidak terbukti maka akhirnya polisi menangkap perempuan bernama Arina yang diduga istri Noordin Moh Top, karena menurut versi polisi suaminya mirip buron kakap tersebut. Polisi lalu meneliti jaringan teroris dengan meminta bantuan pendapat dari asing, salah satunya adalah Sidney Jones. Menurutnya aktor intelektual dibalik aksi teror yang terjadi di kawasan Kuningan tersebut adalah Jamaah Islamiyah.
Label teror kembali diarahkan kepada Islam, labelisasi yang didukung oleh kampanye secara besar-besaran dan sistematis oleh propaganda Yahudi telah berhasil dilakukan. Sejauh ini politik labelisasi atau pencitraan, baik lewat film maupun tulisan-tulisan merupakan senjata ampuh yang digunakan Amerika Serikat dan Barat pada umumnya untuk menekan banyak negara yang tidak sejalan dengan kepentingan politik negara adi daya tersebut. Melalui propaganda tersebut besar kemungkinan sesuatu yang semula hanya dugaan atau prasangka dapat berubah menjadi fakta dan realitas yang pada akhirnya menjadi sebuah hukuman atau sanksi atas nama kemanusiaan. Apabila hukuman itu tidak cukup maka akan ada sanksi tambahan yaitu stigma negatif sebagai negara teroris atau pendukung teroris itu sendiri.
Pada saat ini di Indonesia julukan yang paling banyak disebut media adalah “preman berjubah”, “laskar berjenggot”, “teroris”, “mujahid”, “syuhada”, dan sejenisnya. Seorang objek pemberitaan yang sama bisa mendapat dua julukan yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Media massa memang tidak akan pernah bisa menyampaikan kebenaran seutuhnya, tetapi yang dapat dilakukan media massa secara maksimal adalah berusaha keras mencapai kebenaran itu.
Dalam kasus bom Kuningan tersebut telah jelas terlihat adanya indikasi yang cukup kuat bahwa stigmatisasi negatif ini merupakan bagian dari rasa permusuhan oleh Barat yang diarahkan kepada Islam atau negara berpenduduk mayoritas Islam. Fakta ini menurut Samuel Hutington adalah bagian dari sebuah konflik peradaban. Sebagai buktinya negara barat melalui jaringan medianya secara sistematis dan terencana memposisikan setiap gerakan Ummat Islam, pencitraan media tentang Jamaah Islamiyah, bertentangan dengan secara nilai-nilai kemanusiaan yang sedang dijunjung tinggi oleh Amerika Serikat.
Dalam permasalahan ini, pers mempunyai tanggung jawab sosial dan moral untuk menyajikan pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas. Pers dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat. Dalam masyarakat sederhana, misalnya, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan Pers dengan informasi dari sumber-sumber lain. Sementara dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga Pers lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar.
Pers juga harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik sehingga pers tak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga forum penyelesaian masalah. Setiap masalah yang menjadi urusan publik dan berhubungan dengan publik diberitakan oleh pers, untuk kemudian dibahas bersama dan dicarikan penyelesaiannya. Jadi, Pers dirasakan menjadi milik publik. dan publik ikut merasakan manfaat dengan kehadiran Pers.
Pers harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat ini menuntut Pers untuk memahami karakteristik dan juga kondisi semua kelompok di masyarakat tanpa terjebak pada stereotype. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang disajikan. Oleh karena itu, Pers dituntut untuk mampu menafsirkan karakter suatu masyarakat dan mencoba memahaminya, seperti aspirasi, kelemahan, dan prasangka mereka. Dengan demikian, kelompok yang lain dapat mengetahui gambaran tentang kelompok lain, dan lalu mencoba memahaminya.

4. Cara penyelesaian masalah Terorisme
Banyak cara untuk menanggulangi masalah Terorisme, salah satunya adalah dengan pendekatan hukum (legal formal) dan pendekatan sosial (sosio kultural). Pada saat ini pemerintah melalui kebijakannya dinilai terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal yang bersifat represif, hal ini perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan . Hal ini terbukti dengan makin banyaknya bermunculan aksi-aksi teror pada tahun 2004 sampai sekarang ini. Ada beberapa penyebab penyelesaian berbasis legal formal ini kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme, yaitu :
a. Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum merek yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka .
b. Cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat, bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompok-kelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka. Kelompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif kepada kelompok masyarakat tersebut sehingga kelompok yang menerima stigma tersebut akan berdampak melakukan perlawanan kepada pemerintah dan kelompok lainnya.
c. Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan Internal Security Act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika ISA diberlakukan wewenang aparat negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan . Ada kemungkinan orang yang dicurigai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan.

Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal / represif.
Selain pendekatan legal formal tersebut, ada pendekatan Sosial yang dapat dijadikan sebagai alternatif penyelesaian. Dalam jangka panjang memerangi terorisme tidaklah cukup dan tidak akan pernah berhasil hanya dengan menindak pelaku teror dan peledakan bom dengan kekerasan. Kita melihat cara Amerika Serikat dan sekutunya dalam menjalankan kampanye ”Perang Terhadap Terorisme” justru telah menimbulkan masalah tersendiri yang telah memakan korban warga negara mereka itu sendiri dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menindak para pelaku teror . Para pelaku teror tersebut akan terus meningkatkan perlawanannya seiring semakin hebatnya USA dan sekutunya untuk memerangi pelaku teroris. Fakta telah menunjukkan bahwa membunuh pelaku teror, mengisolasinya dan memenjarakan para pemimpin organisasi teroris tidak mampu menghentikan tindakan terorisme dalam waktu lama.
Sementara itu di Indonesia munculnya tindakan terorisme menandakan adanya yang salah dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi. Para pelaku teroris menjadi sedemikian radikal disebabkan mereka merasa termarginalisasi dan terasing dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat . Keterasingan tersebut pada umumya bersifat struktural yang termanifestasi dalam kebijakan pemerintah yang kurang akomodatif atau merugikan dalam waktu panjang. Hal ini akan mengakibatkan perasaaan tidak puas dan benci pada pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu seperti orang kaya, penguasa dan orang asing yang dianggap telah melangkahi kepentingan mereka. Namun upaya untuk mengatasi rasa keterasingan tersebut secara normal mengalami hambatan karena tidak ada ruang bagi mereka untuk berpartisipasi dan menyalurkan harapan serta kepentingan mereka sehingga timbulah aksi radikal seperti terorisme.
Sangatlah penting untuk menerapkan cara-cara lain yang lebih persuasif dan akomodatif terhadap kepentingan terhadap kelompok yang berpotensi melakukan tindakan terorisme . Misalnya dengan menerapkan kebijakan yang lebih sensitif terhadap kepentingan berbagai kelompok yang merasa termarginalisasi atau dirugikan dengan berbagai kebijakan yang telah diterapkan selama ini. Termasuk kemungkinan penerapan tindakan yang bersifat dan mengandung unsur konsesi dan rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat serta unsur-unsur dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga memperkecil pilihan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Selain itu pula dalam rangka mengeliminir perekrutan pelaku terorisme pemerintah dapat bekerjasma dengan para tokoh setiap agama yang ada di Indoensia untuk melepaskan label atau stigma dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya yang dicurigai sebagai pelaku terorisme. Sehingga perlunya lebih merekatkan kerjasama di dalam kelompok masyarakat Indonesia dan menjalin komunikasi untuk menyamakan persamaan pandangan dari dalam seluruh kelompok masyarakat bahwa terorisme bukanlah nilai / ajaran suatu kelompok tertentu.





BAB III
PENUTUP


Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penjelasan penulis pada bab sebelumnya, dapat terlihat bahwa definsi Terorisme sangatlah subjektif, dalam artian tidak ada definisi yang paten tentang hal tersebut. Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Namun harus kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Terorisme merupakan strategi, instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
Pemberitaan tragedi Bom Kuningan tersebut telah memberikan sterotype bagi Umat Islam. Hal ini merupakan bagian dari rasa permusuhan oleh Barat yang diarahkan kepada Islam. Dalam permasalahan ini, pers mempunyai tanggung jawab sosial dan moral untuk menyajikan pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas. Pers dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat. Dalam masyarakat sederhana, misalnya, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan Pers dengan informasi dari sumber-sumber lain. Sementara dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga Pers lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar. Oleh karena itu, sebaiknya konsumen media berhati-hati dalam melihat berita agar tidak dikelirukan oleh media. Semakin banyak label dan stereotype digunakan oleh media, semakin hati-hati publik mengonsumsinya. Bisa jadi media menjadi alat penghasut atau propaganda kelompok tertentu. Hal yang dapat kita lakukan adalah memberdayakan diri, memilih berita dengan bijaksana. Jangan mengonsumsi media yang terlalu banyak memberi label pada objek beritanya.




Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak
memberikan efektivitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris. Wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak hanya bersifat legalis represif terhadap terorisme, salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri.


by okta tea atuh

0 komentar: