tugase

on Senin, 15 Maret 2010

Sekilas mengenai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam usaha memperkuat prinsip di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-bandan lain tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.
Sejalan dengan perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru.
Perubahan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di atas.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut
menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan
masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diatur hal-hal yang disempurnakan, antara lain :
1. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu,
Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
2. Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan
pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua)
tahun.
3. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden.
5. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.











BAB I
PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) 1945. Norma ini bermakna bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu system, dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrument pelaksanaannya tidak dilengkapi dengan kewenangan- kewenangan dalam bidang penegakan hokum. Salah satu diantara kewenangan- kewenangan itu adalah Kejaksaan Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum diperlukan baik norma- norma hukum atau peraturan perundang- undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang professional, berintegritas, dan disiplin yang didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat. Oleh karena itu, idealnya seriap Negara hukum termasuk Negara Indonesia harus memiliki lembaga/institusi/aparat penegak hukum yang berkualifikasi demik. Salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia, disamping Kepolisian Republik Indonesia, Mahkamah Agung, dan bahkan Advokat/pengacara, yang secara universal melaksanakan penegakan hukum.
Keberadaan Kejaksaan RI, sebagai institusi penegak hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu Negara hukum karena institusi Kejaksaan menjadi filter antara proses pemeriksaan di persidangan; sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.
Keberadaan Kejaksaan Republik Indonesia tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945 sebelum perubahan, melainkan hanya tersirat. Pengaturannya dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Demikian juga, dalam UUD 1945 sesudah perubahan hanya tersirat dalam Pasal 24 ayat (3), dan dalam pasal II Aturan Peralihan. Pasal 24 ayat (3) mengatur bahwa “Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang”. Kemudian Pasal II Aturan Peralihan mengatur bahwa “Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakannya yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai subordinated daru UUD 1945, merumuskan keberadaan institusi Kejaksaan RI dalam Konsideran Menimbang yang menyatakan “ bahwa untuk meningkatkan upaya pembaharuan hukum nasional dalam Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka dianggap perlu untuk lebih memantapkan kedudukan dan peranan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan”.
Perubahan mendasar terjadi setelah keluar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia –yang menggantikan dan mencabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991—di dalam Konsideran Menimbang dinyatakan “bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun”.


Kedua undang-undang ini menunjukan bahwa eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya penegakan hukum tidak bisa diabaikan. Ini adalah karena disamping secara normative ada yang mengatur juga dalam tataran factual, masyarakat menghendaki lembaga/aparat penegak hukum benar-benar berperan sehingga terwujud rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, Kejaksaan sudah seharusnya mampu melaksanakan pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang penegakan hukum untuk mewujudkan jati diri Kejaksaan Republik Indonesia yang lebih professional dan lebih dinamis guna menghadapi perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman ini. Kejaksaan juga dituntut untuk tidak hanya melaksanakan fungsinya dengan baik tetapi juga harus mampu membentuk jati dirinya sebagai salah satu “institusi pelaksana kekuasaan Negara”, bukan alat kekuasaan penguasa.
Dalam lintasan sejarah, setelah digantinya HIR Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 jo Undang-undang Nomor 1Drt Tahun 1951 dengan undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang Kejaksaan di dalam penegakan hukum berkaitan dengan penyidikan sebagaimana diatur didalam pasal 39 HIR hampir seluruhnya dicabut, bahkan dengan keluarnya Undang-undang Nomor 30 Tahun2002 tentang Kmisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi wewenang dibidang penuntutan bukan lagi monopili Kejaksaan. Pengaturan yang demikian akan berimplikasi terhadap eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memisahkan secara tegas fungsi yang menyangkut penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan dalam proses persidangan meskipun Kejaksaan RI masih diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi seperti yang dinyatakan pada Pasal 284 ayat (2), tetapi sifatnya hanya sementara. Ketika Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan, fungsi penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang selama ini merupakan sebagian tugas dan wewenang Kejaksaan RI juga mengalami perubahan.
Selaku institusi penegak hukum, Kejaksaan Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya hendaknya senantiasa berlandaskan hukum. Artinya Kejaksaan harus selalu berpihak pada hukum untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, baik represif dalam kaitannya dengan Proses Peradilan Pidana Terpadu, preventif berupa penyuluhan, serta administrative sehubungan dengan tindakan Kejaksaan dalam upayanya mengatur. Langkah-langkah penegakan hukum tersebut terikat kepada aturan-aturan hukum, prosedur-prosedur tertentu serta dikontrol oleh hukum. Dan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada Negara dan masyarakat.
Dalam konteks politik hukum, posisi Kejaksaan dalam konstelasi ketatanegaraan sebelum dan setelah Indonesia merdeka hingga dewasa ini sangat dipengaruhi oleh ragam kepentingan, misalnya pengaruh penguasa yang berlindung dibalik undang-undang.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa posisi dalam arti kedudukan serta fungsi Kejaksaan sangat rentan oleh sistim ketatanegaraan atau corak pemerintahan yang dianut.
Fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan dengan penanganan perkara lebih dipandang bukan sebagai pelaksana kekuasaan Negara, tetapi sebagai alat perpanjangan tangan penguasa untuk menindak rakyat atau masyarakat.
Secara yuridis-forma dan yuridis-historis dapat dipastikan bahwa eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dimulai bertepatan dengan saat berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, meskipun hanya tersirat dari pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan perubahan UUD 1945 diharapkan kedudukan Kejaksaan akan dinyatakan secara tersurat seperti halnya Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Peradilan, tetapi kenyataannya tidak jauh beda dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya tersirat dalam Pasal 24 ayat (3) yang berbunyi “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Dalam pembangunan hukum, upaya pembaruan hukum dan pemantapan kedudukan serta peranan badan-badan penegak hukum secara terarah dan terpadu dibutuhkan untuk mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan dan dinamika masyarakat. Implementasi dari upaya tersebut antara lain adalah undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 ini dicabut dan diganti lagi oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jika sebelumnya dalam undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 1 dinyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah sebagai “alat Negara penegak hukum” dalam menyelesaikan revolusi yang terutama bertugas sebagai penuntut umum, namun kemudian oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 Pasal 2 ayat (1) diubah menjadi Kejaksaan adalah “lembaga pemerintahan” yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Ketentuan ini diadopsi lagi oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1).
Di satu sisi, memang ada perubahan yang esensial mengenai kedudukan institusi Kejaksaan RI, yaitu dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Kejaksaan RI ditetapkan sebagai “alat Negara”, sementara dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 ditetapkan sebagai “lembaga pemerintahan”. Di sisi lain, ketiga undang-undang ini mengatur kedudukan Jaksa Agung yang ditetapkan setingkat Menteri Negara dan menjadi Pembantu Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 5, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 Pasal 19, dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 19 ayat (2) ditegaskan bahwa Jaksa Agung adalah sebagai Pembantu Presiden karena diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Mencermati deskripsi diatas, perlu kiranya dijelaskan bagaimana kedudukan dan fungsi yang terkait dengan tugas dan wewenang Kejaksaan, termasuk kedudukan dan fungsi Jaksa Agung dalam tataran teoretis-normatif dalam lintasan sejarah dengan metode komparasi atas hal ini sebagaimana diatur dalam ketiga undang-undang mengenai Kejaksaan tersebut. Selain koparasi institusi Kejaksaan dan KPK di beberapa Negara, juga akan diketengahkan keberadaan Kejaksaan dalam perspektif Teori Negara Hukum dan Teori Pembagian Kekuasaan sebagaimana nanti akan dipaparkan pada bab-bab selanjutnya.







BAB II
KEJAKSAAN RI DALAM PERSPEKTIF TEORITIS HISTORIS NEGARA HUKUM DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN

2.1. Negara Hukum dalam Perspektif Teoritis Historis
2.1.1. Peristilahan
Sebelum istilah Negara hukumdijelaskan, terlebih dahulu perlu dipahami keterkaitan antara konsep Negara hukumdan system ketatanegaraan. Pemahaman mengenai hal ini penting sebab kajian terhadap kedudukan dan fungsi kejaksaan RI adalah dalam perspektif konsep Negara hukum, inklusif di dalamnya konsrpsi pembagian kekuasaan Negara dalam system ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945. Hal yang tak terbantahkan adalah pandangan bahwa konepsi Negara hukumdan system ketatanegaraan suatu Negara erat kaitanya, bahkan saling mempengaruhi. Menurut Didi nasmi yunas menjelaskan bahwa mwembicarakan konsepsi Negara hukumjelas tak lepas dari konstitusi atau system ketatanegaran RI
Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pertama, isi (sbstansi ) Negara hukumadalah Negara itu memiliki konstitusi ( UUD ) dan berdasarkan berdasrkan konstitusi (UUD ) ; di mana konstitusi ( UUD ) Negara itu memuat system ketatanegaraan Negara tersebut. Kedua, bila suatu Negara memiliki dan berdasarkan konstitusi yang berisi system ketatanegaraan Negara itu, Negara itu digolongkan sebagai Negara hokum. Ketiga, system ketatanegaraan suatu Negara, yang tertuang dalam konstitusi ( UUD ), membentuk suatu system hukumyang tersusun dari sub-subsistem hukumyang meliputi :
( 1 ) Substansi hukum( materiil hukum) yang mengatur kedudukan dan fungsi ( tugas dan wewenang ), hubungan antara lembaga kekuasaan Negara dan hubungan lembaga kekuasaan Negara dengan warga negaranya
( 2 ) Struktur hukummengenai lembaga – lembaga Negara, sarana dan prasarana hokum
( 3 ) Buadaya hukumyang menyangkut perilaku aparat penegak hukumdan masyarakat di Negara hukumitu sendiri. Maka sesuai penjelasan diatas, Didi Nazmi Yunas menjelaskan bahwa system ketatanegaraan suatu Negara pada umumnya dapat dilihat dalam konstitusi ( UUD ).
Istilah Negara hukumini tidak ditemukan dalam batang tubuh UUD 1945 sebelum Amandemen. Meskipun demikian dalam Penjelasan UUD 1945 terdapat istilah Negara berdasarkan hukum( rechtstaat ). Kemudian setelah dilakukan Amandemen keIII terhadap UUD 1945, pasal 1 (3) secara tegas menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hokum. Kepustakaan Indoneia selain memakai istilah Rechtstaat juga lazim menggunakan the rule of law untuk mengartikan Negara hokum. M. Yamin menggunakan kata Negara hukumsebagai padanan kata rechtstaat atau government of law. Demikian juga hal nya Notohamidjojo menggunakan istilah Negara hukumatau rechtstaat? Kemudian Sumrah melihat bahwa istilah the rule of law tidak lain mengandung isi dan rechtstaat etat de droit ( Negara atau pemerintah berdasarkan hokum), perbedaanya adalah rechtstaat hanya dianut di Negara dengan hukumtertulis, sedangkan the rule of law terutama dipelopori oleh inggris dengan system common law nya.
Namun pada kenyatanya bahwa istilah Negara hukumatau dalam penjelasn UUD 1945 disebut sebagai Negara berdasarkan atas hukum(rechtstaat), tidak terlepas dari pengaruh paham rechtstaat dan paham the rule of law. Namun untuk mencerminkan cirri khas Indonesia ( Nasionalisme ) Indonesia memakai istilah Negara hokum. Paham the rule of law dalam system hukumanglo saxon oada hakekatnya tidak berbeda dari paham rechtstaat dalam system hukumEropa Kontinental karena memiliki makna inti the laws which govern and not men. Sistem hukumEropa Kontinental rechtstaat muncul sebagai suatu system yang rasional dan revolusioner terhadap absolutisme. Sedangkan system hukumanglosaxon the rule of law berkembang secara evolusioner sebagai usaha untuk melepaskan dari system absolutisme. Lahirnya kedua paham tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Dalam system Eropa Kontinental adalah kekuasaan yang menonjol adalah kekuasan pemerintah ( administrasi Negara ) dan lahorlah cabang hukumyang disebut hukum administrasi Negara (droit administrative). Sebaliknya system hukumanglosaxon dengan paham the rule of law nya, kekuasaan raja yang utama adalah mengadili. Peradilan yang dilakukan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu system peradilan. Sehingga hakim – hakim peradilan adlah delegasi raja, tetapi bukan mel;aksanakan kehendak raja. Hakim harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum sebagaimana dilakukan oleh raja sendiri sebelumnya.
2.1.2.2 Paham Rechtstat
Paham Rechtstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme sehingga perkembanganya bersifat revolusioner, dan bertumpu pada system hukumcontinental yang disebut civil law . Pada Abad ke 19 DI Eropa Kontinental dikenal konsep Negara hukumliberal yang dipelopori oleh immanuel kant. Gagasan negar hukumliberal ini sering disebut dengan klassik liberaleen democrartische rechtstaat, atau disingkat dengan democrartische rechtstaat. Pemikiran immanuel kant lazim disebut paham Negara hukumdalam pengertian sempit, karena menempatkan fungsi Recht pada staat , yang hanya berfungsi sebagai alat perlindungan hak – hak individual. Dalam konsep tersebut kekuasaan Negara dipahami secara pasif, yang hanya bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan.
Penyempurnaan paham rechtstaat di abad 20, Paul scholten mengemukakan pendapat tentang Negara hukumdengan membedakan tingkatan antara asas dan aspek Negara hokum. Unsur yang dianggap penting dinamakan asas dan unsur yang merupakan turunan disebut aspek. Berkaitan dengan fungsi Negara sebagai penjaga ketertiban umum dan keamanan semata – mata menjadi konsepsi Negara kesejahteraan, yang kemudian dikenal dengan istilah sociale rechtstaat . Dalam konteks Negara hukumklasik, Negara menjalankan kekuasaanya secara pasif dan tedapat pembatasan kekuasaan pemerintahan. Berbeda dari paham sociale rechtstaat yang menghendaki pemerintah aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
2.1.2.3. Paham Socialist Legality
Paham Socialist Legality dikenal di Negara – Negara yang menganut ideology komunisme atau marxisme, berlangsumg di Uni Soviet 1921 – 1928. Paham Socialist Legality bersumber pada paham komunisme yang menempatkan hukumsebagai alat umtuk mewujudkan sosialisme dengan mengabaikan hak – hak individu. Hak – hak individu harus melebur dalam tujuansosialisme yang mengutamakan kepentingan kolektif diatas kepentingan individu. Menurut paham Socialist Legality, warga Negara harus menaati UU. Dalam Paham Socialist Legality hukumhanya memiliki nilai karena melayani kepentingan Negara socialist. Hukum adalah penting dan sangat dibutuhkan sebagai suprastruktur. Wewenagnya hanya dapat didasarkan pada infrastruktur yang sehat, dimana dalam perekonomianya cara – cara produksi dieksploitasi untuk kepentingan semuanya. Dengan demikian sebutan socialist mengingatkan paham ini akan pemikiran Marxist.
2.1.2.4. Paham Negara HukumIndonesia
Istilah negar hukum“rechtstaat”. “the rule of law” dan istilah yang tertera pada vPenjelasan UUD 1945 :Negara berdasarkan atas hukum(rechtstaat) sering digunakan dalam kepustakaan Indonesia. Pham Negara hukumIndonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa cirri khas susatu Negara hukumadalah bahwa Negara memberikan perlindungan kepada waraganya dengab cara yang berbeda. Negra hukumadalah suatu pengertian yang berkembang, yang terwujud sebagai reaksi maasa lampau. Oleh karena itu unsure negra hukumberakar pada sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau Negara memiliki sejarah yang berbeda, oleh karena itu pengertian dan isi Negara hukumdari berbagai bangsa berbeda pula. Rechtstaat dapat diartikan sama dengan Negara yang berdasarkan atas hokum. Jimly Assidiqie mengatakan bahwa Negara Indonesia disebut sebagai Negara hukumatau rechtstaat , bukan debagai Negara kekuasaan atau machsstaat didalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukumdan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahaan dan pembagian kekuasan menurut system konstitusional yang diatur dalam UUD, adanya jaminan HAM dalam UUD, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Kalau latar belakang sejarah rechtstaat dan the rule of law menunjukan menentang kesewenang – wenangan penguasaan, dalam alam penjajahan. Titik sentral rechtstaat dan the rule of law adalah pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Badi Negara hukumIndonesia, yang menjadi titik sentral adalah keseraian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan atas kerukunan. Dari asas ini akan terjalin hubungan fungsional yang porposional antar kekuasaan Negara, sedangkan sengketa – sengketa yang timbul akan diselesaikan dengan cara musyawarah sehingga peradilan merupakan sarana penyelesaian terakhir. Dalam pembukan UUD 1945 alinea pertama jika dicermatim maka merupakan dasar bahwa Negara Indonesia negra hukummodern, karena memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap HAM.

2.2. Pemisahan Kekuasaan dalam Perspektif Teoritis Historis
2.2.1. Ragam pengertian Pemisahan Kekuasaan
Negara hukumtidak berarti apa-apa apabila kekuasan penguasaan Negara masih bersifat absolute dan tidak terbatas. Hal ini karena ide Negara hokum, terutama yang dikemukakam oleh Immanuel kant baru sebatas cita-cita. Dengan demikian timbul gagasan untuk membatasi kekuasaan penguasa. Dalam kaitan dengan teori pemisahan kekuasaan ini timbul berbagain pemahaman tentang mekanisme ghek and balance. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman, delegasi kekuasaan legislative, tanggung jawab eksekutif terhadap badan pembentuk UU , hak uji materiil dan sebagainya, oleh karena itu muncul berbagai modifikasi paham pemisahan kekuasaan.
2.2.2. Distribusi kekuasaan
Membagi tugas pemerintahan menurut Sir Ivon Jennings membedakan kekuasaam dalam pengertian material dan formal. pemisahan kekuasaan dalam pengertian material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan secara tegas dalam dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik meperlihatkan pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian : legislative, executive, judicative. Sedangkan yang dimaksud pengertian formal adalah apabila pemisahan itu tidak dipertahankan secara tegas. Sistem pembagian kekuasaan yang ditetapkan dalam UUD 1945 tidak dipungkiri banyak diilhami ajaran trias politica. Hal tersebut dapat dilihat dilihat pada sistematika pembagian bab-bab dalam UUD 1945 sebelum amandemen.
Sistematika demikian tidak serta merta timbul tanpa latar belakang pemahaman tentang ajaran ketatanegaraan yang berkembangpada sat itu, walawpun UUD 1945 tidak secara tegas memisahkan ketiga kekuasan tersebut.Jimly Assiddiqie mengatakan system ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen ke I – IV, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sabgat mendasar. Perubahan tersebut juga mempengaruhi struktur dan mekanisme structur dan mekanisme structural organ – organ Negara RI.

2.3 Kejaksaan dalam Perspektif Teori Negara Kukum dan Teori pembagian Kekuasaan.
Dalam upaya menegakan hukuminstitusi – institusi penegak hokum, disatu sisi dengan penetapan Undang – Undang mendapat kewenangan yang lenih luas. Namun ada institusi yang kewenangannya diurangi, misalnya kejaksaan RI. Pengurangan itu diawali melalui KUHAP, pada kewenangan penyidian dan penyidikan lanjutan yang dipangkas menjadi kewenangan penyidikan tindak pidana umum. Dalam penanganan tindak pidana korupsi kewenangan dan penuntutan juga akan berkurang jika KPK mulai diberdayakan.
Pembentukan KPK tidak hanya bertentangan dengan system hukumyang berlaku, melainkan dengan bertentangan dengan asas dan prinsip hukumyang bersifat universal, yang menyatakan bahwa jaksa adalah pejabat yang diserahi tugas untuk bertindak sebagai penuntut umum, tetapi Undang- Undang juga memberikan kewenangan yang sama kepada KPK untuk menjalakan tugas penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Lemahnya peeran kejaksaan RI sebagaimana gambaran diatas ternyata disebabkan oleh tidak mandirinya dan independennya institusi tersebut. Marzuki darusman menhgusulkan agar kejaksaan sepenuhnya terpisah dari lembaga eksekutif, agar dapat mandiri dan tidak diintervensipihak lain. Maka berdasarkan hal tersebut konsep Negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial.
Eksistensi Kejaksaan RI dalam konsep rechstaat konsep the rule of lawdan konsep Negara hukumIndonesia hendaknya diwujudkan melalui konsep pembagian kekuasan dalam penegakan hukumdinegara Republik Indonesia. Kehadiran Kejaksaan RI dalam dunia peradialan adalah : perama, sebagai upaya prefentif, membatasi, mengurangi atau mecegah kekuasaan pemerintah atau administrasi Negara (konsep rechtstaat). Sedangkan represif nya adalah menindak kesewenang – wenangan pemerintah atau administrasi Negara. Kedua : Kejaksaan RI seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang mandiri dan independen untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hokum, agar tercipta peradilan yang adil, mandiri, dan independen ( konsep rule of law ). Ketiga : menjaga keserasian hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan dlam proses peradilan ( konsep Negara hukumIndonesia )









BAB III
KEJAKSAAN DALAM LINTASAN SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

1.1 Periode Sebelum Kemerdekaan
2.1.1 Masa Beberapa Kerajaan Prasejarah
Sebelum dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah tersebar suku-suku bangsa di tanah air ini, dan pernah pula menikmati hidup di alam kemerdekaan.Wilayah Nusantara yang makmur terdiri atas sekitar tiga belas ribu pulau dengan letak geografis yang strategis karena diapit Samudera Hindia dan Lautan Teduh, dan posisi inilah yang menjadikan Nusantara menjadi jembatan lalu lintas perdagangan dunia yang menyambungkan benua-benua di dunia ini.
Di Zaman bahari suku-suku bangsa Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi serta sistem peradilan yang memadai untuk situasi dan kondisi lingkungannya masing-masing.
Namun sebelum kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa berdiri , tidak kita ketahui apakah dalam kurun waktu tersebut dalam lingkungan masyarakat suku-suku bangsa itu masing-masing telah ada seseorang yang dalam urusan-urusan penegakan hukum adat mempunyai kekuasaan untuk bertindak sebagai Jaksa seperti yang kita kenal dewasa ini.
Pada zaman kerajaan Hindu di Jawa Timur, yaitu pada masa kerajaan Majapahit, sudah terdapat beberapa jabatan yang dinamakan Dhyaksa, Adhyaksa, dan Dharmadhyaksa. Jabatan-jabatan tersebut berasal dari bahasa Sanskerta. Menurut W.F. Stutterheim, Dhyaksa adalah pejabat Negara di zaman Majapahit, disaat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa yang mana diberi tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan dengan kapasitas kedudukannya seperti itu untuk Mahapatih Gajah Mada. Adhyaksa adalah Hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi Dhyaksa tadi. Mahapatih Gajah Mada pada zaman itu adalah sebagai Adhyaksa. Tugas Gajah Mada dalam urusan penegakan hukum bukan sekadar sebagi Adhyaksa melainkan juga sebagai pelaksana segala peraturanraja (shitinarendan) dan melaporkan perkara-perkara sulit ke pengadilan.
Tugas Gajah mada itu sejalan dengan latar belakang ajaran rechtstaat, yaitu kekuasaan raja yang utama adalah membuat peraturan melaui keputusan-keputusannya, yang didelegasikan kepada pejabat-pejabat pemerintah (administrasi negara), dan ajaran rule of law, yaitu kekuasaan raja yang utama adalah mengadili sehingga hakim-hakim mendapat delegasi dari raja untuk mengadili perkara di pengadilan.
Para Dhyaksa dan juga Adhyaksa dituntut kemahiran dan keahliannya dalam hukum Hindu kuno tang sudah diakui oleh hukum adat dan sesuai dengan perasaan atau pendapat para rohaniawan serta para cendikiawan yang mendampingi para Dhyaksa tadi. Lalu pada zaman kerajaan Singasari di abad XIII Sang Prabu didampingi oleh Dharmadhyaksa, masing-masing seorang untuk agama Syiwa dan seorang dari agama Buddha.
Menurut Juynboll, Dharmadhyaksa mempunyai tiga arti, yaitu :
1. Pengawas Tertinggi (superintendent) dari kekayaan suci ;
2. Pengawas Tertinggi dalam urusan kepercayaan (religie) ;
3. Ketua Pengadilan.

Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 dalam masa pemerintahan Bre Kertabumi setelah dirundung berbagi masalah internalyang tidak dapat diatasinya sehingga tidak mampu juga melawan serangan kerjaan Demak. Walau demikian, peranan Dhyaksa sebagaimana yang berlaku di zaman Majapahit, tidak ikut lenyap begitu saja. Sejalanm dengan berputarnya roda sejarah, terminologi Dhyaksa berubah menjadi Jeksa dalam bahasa Jawa dan Jaksa dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Tugas serta wewenang Jaksa secara evolusioner berubah sesuai dengan struktur kenegaraan dan sistem pemerintahan yang berlakudari masa ke masa hingga akhirnya seperti yang kita temui dewasa ini.

2.1.2 Masa Penjajahan Belanda

Pada masa awal penjajahan tahun 1602, Verenigde Oost Indische Compagnie ( VOC) atau Kompeni membentuk berbagai peraturan hukum dan membentuk badan-badan peradilannya sendiri (Schepenenbank) yang petugas-petugasnya diberi kekuasaan sebagai penuntut hukum, yaitu officer van justitie.
Karena tekanan keadaan ketika itu, politik hukum tadi diubah dengan menerapkan hukum adat kepada penduduk pribumi sepanjang hal-hal tertentu tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan Kompeni sendiri.
Setelah Priangan diambil alih oleh kompeni dari kekuasaan Mataram, perkara-perkara berkaitan dengan orang-orang Bumiputera yang tadinya dilakukan oleh Pengadilan di Mataram selanjutnya dilakukan oleh pengadilan yang dibentuk kompeni.
Pengadilan ini hanya mengadili perkara-perkara besar. Di sini Jaksa bertindak sebagai penuntut keadilan dengan Gubernur Belanda sebagai ketuanya dan Bupati terkenal sebagai anggotanya. Sedangkan dalam perkara-perkara kecil, jaksa yang mengadili yang bertindak sebagai hakim atas nama Bupati setempat.

2.1.3 Masa Kerajaan Mataram dan Kasultanan-Kasultanan Cirebon

Pada abad XVII, kerajaan Mataram, yang berada di bawah Pemerintahan Amangkurat I dan Kasultanan-kasultanan di Cirebon, tidak lagi menggunakan kata Jawa Kuno (Kawi) atau Sanskerta “Dhyaksa” melainkan bahasa Jawa “Jeksa” atau “Jaksa”.
Pada masa kejayaan Mataram, Pengadilan digolongkan menjadi dua jenis, yaitu Pradata dan Padu. Pengadilan Pradata melaksanakan pengadilan terhadap perkara-perkara yang berat seperti pembunuhan, pembakaran, dan sebagainya yang diancam pidana siksaan atau pidana mati. Tugas Jaksa di pengadilan ini adalah melakukan tugas kepaniteraan, menghadapkan terdakwa serta saksi, sedangkan pemeriksaan dan putusan dijatuhkan oleh Raja Mataram sendiri.
Pemeriksaan dan putusan dijatuhkan oleh jaksa atas nama Bupati setempat. Dalam hal ini Jaksa bertindak sebagai Hakim. Pemeriksaan dilakukan secara intensif oleh Wakil Raja Mataram dengan dibantu empat orang jaksa.
Walaupun di Cirebon ada empat orang Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Panembahan, Sultan Cirebon, dan Sultan Anom, namun hanya ada satu badan peradilan, yaitu Pengadilan Kerta. Dalam pengadilan ini penanganan dan penyelesaian perkara dilaksanakan oleh tujuh Jaksa (Jaksa Pepitu). Ketujuh orang Jaksa ini mewakili keempat orang sultan.
Kedudukan, jabatan dan peranan Jaksa di kasultanan-kasultanan Cirebon demikian penting dan mulia, sehingga hanya dipercayakan oleh para sultan kepada pejabat-pejabat yang berpengalaman dan bermoral tinggi.
Dalam Papekam Cirebon, Jaksa melambangkan Candra Tirta Sari Cakra, yang artinya :
1. Candra, yaitu bulan purnama yang menerangi kegelapan.
2. Tirta, yaitu air yang menghanyutkan segala yang kotor.
3. Sari, yaitu bunga yang menyebarkan bau harum.
4. Cakra, ialah Dewa yang melihat secara saksama apa yang benar dan tidak benar.
Para Jaksa Pepitu dalam melaksanakan tugasnya mengadili, tidak menggunakan gedung atau ruangan di istana, namun di alun-alun besar, duduk diatas pohon beringin, sebagai lambing pengayoman,yang juga terletak di depan pura di daerah Keraton Kasepuhan. Oleh karena itu sampai saat ini terkenal sebagai Kejaksaan/Kejeksaan.
2.1.4 Masa Pemerintahan Daendels

Dalam masa pemerintaha Daendels, kekuasaan Schepenenbank yang dibentuk kompeni dan semula mempunyai yurisdiksi Jakarta dan daerah Jawa Barat diperkecil wilayah hukumnya, hanya kota Jakarta dan sekitarnya. Di luar daerah tersebut pengadilan perkara-perkara perdata dan pidana berat dilakukan oleh Drossard (kemudian namanya diganti Landdrost).
Pengadilan Landdrost, disebut Landgericht, terdiri dari Landdrost sebagai ketuanya, para bupati atau 7 penduduk terkemuka sebagai anggotanya, serta penghulu sebagi penasihatnya.

2.1.5 Masa Pemerintahan Raffles

Tanggal 21 Januari 1812 Raffles mengeluarkan suatu maklumat yang memuat landasan-landasan-landasan bagi badan-badan peradilan yang akan disusunnya untuk melakukan hal-hal yang yang termuat dalam maklumat tersebut, yang disusun dalam “Code of Provisional Regulations for the judicial and police at Batavia, Semarang and Surabaya”. Berdasarkan instruksi-instruksi tersebut dibentuk badan-badan pengadilan untuk golongan penduduk Bumiputera dalam dua susunan badan-badan peradilan, yaitu kota serta daerah-daerah sekitarnya dan untuk daerah-daerah pedesaan.
Dari ketiga kota tersebut masing-masing ada satu Court Of Justice untuk perkara-perkaraperdata dan pidan bagi semua golongan penduduk. Sedangkan yang ada di Batavia berfungsi pula sebagai pengadilan banding bagi Court Of Justice yang ada di Semarang dan Surabaya. Selain itu di Batavia didirikan Supreme Court, sebagai badan peradilan yang memeriksa dalam tingkat pertama dan terakhir yang termasuk dalam sebagian kekuasaan untuk mengadili (Judicieele Jurisdictie).

2.1.6 Masa Hindia Belanda

Pada masa Hindia Belanda, badan-badan yang ada relevansinya dengan Jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Pengadilan Negeri (Landraad), dan pada masa ini ada 3 jenis peradilan, yaitu :
1. Pengadilan Negeri, Pengadilan sehari-hari bagi penduduk Bumiputera
2. Pengadilan Justisi, Pengadilan sehari-hari bagi golongan Eropa dan pengadilan banding bagi Landraad.
3. Mahkamah Agung (Hooggerechtshof), Pengadilan terakhir dan tertinggi.
Pada masa ini, Kejaksaan lebih terlibat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah negri ini pada saat itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
2.1.7 Masa Pemerintahan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang sejak tanggal 8 Maret 1942 sampai 16 Agustus 1945 ditetapkan 6 jenis badan peradilan umum di Jawa dan Madura, yaitu :
1. Saikoo Hooin (Pengadilan Agung atau Mahkamah Agung)
2. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
3. Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
4. Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian)
5. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
6. Gun Hooin (Pengadilan Kawedanan)
Pada masa pemerintahan Jepang digariskan bahwa Kejaksaan diberi kekuasaan (ditugaskan) untuk :
1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
2. Menuntut perkara
3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara criminal
4. Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Dengan demikian penyidikan menjadi salah satu tugas umum Kejaksaan sejak dari Tihoo Kensatsu Kyoku hingga Kootoo Kensatsu Kyoku dan Saiko Kensatsu Kyoku.
1.2 Periode Setelah Kemerdekaan
1.2.1 Masa Revolusi Fisik
Pada masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan tentang Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Secara yuridis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan Negara Republik Indonesia adalah sebagai alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yustisial yang sudah berakar sejak zaman Kerajaan Majapahit, Mataram, dan Cirebon, serta zaman penjajahan.
Istilah Kejaksaan dipergunakan secara resmi oleh Undang-undang Balatentara Pendudukan Jepang No 1 Tahun 1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No 3 Tahun 1942, No 2 Tahun 1944, dan No 29 Tahun 1944. Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 1945, yang menegaskan bahwa Jaksa yang menjadi satu-satunya pejabat penutut umum tetap berlaku di Negara Republik Indonesia Proklamasi.
1.2.2 Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) (1949-1950)
Sesuai dengan susunan kenegaraan RIS sebagai Negara federal yang komponennya terdiri dari alat-alat perlengkapan Negara tingkat Pusat (Federal) dan tingkat Daerah Bagian, maka struktur Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Tingkat Daerah Bagian. Pada tingkat pusat (federal) hanya ada satu instansi kejaksaan, yaitu Kejaksaan Agung RIS, yang merupakan Kejaksaan tingkat tertinggi di RIS.
Dalam usianya yang hanya 7 bulan 20 hari, RIS belum sempat mengangkat Jaksa Agung Muda dan tidak dapat keterangan mengenai hubungan fungsional antara Jaksa Agung RIS dan para Jaksa Agung Muda.

1.2.3 Masa Demokrasi Parlementer (1959-1965)
Pada masa Dekrit Presiden terjadi perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga nondepartemen di bawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan pada Putusan Kabinet Kerja 1 Tanggal 22 terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960.
Pada masa ini terjadi 5 (lima) kali pergantian Jaksa Agung yang terdiri atas R. Soeprapto, Gatot Taroenamihardja, R. Goenawan, Kadaroesman, dan A. Soetardhio. Dari kelima Jaksa Agung ini Gatot Taroenamihardja menjabat paling singkat, yaitu ± 5 (lima) bulan, dan pada periode ini pertama kali Jaksa Agung diangkat dari kalangan militer, yaitu Jaksa Agung Brigjen A. Soetardhio.
1.2.4 Masa Orde Baru (1966-1998)
Pada masa Orba, Kejaksaan selain mengalami perubahan dalam kekuasaannya juga mengalami beberapa perubahan pimpinan, organisasi, dan tata kerjannya. Kesemua perubahan-perubahan yang dimaksud dapat dibaca secara lengkap dalam buku pada halaman 70-73.
Pada periode ini, terjadi 7 (tujuh) kali pergantian Jaksa Agung RI dan dari 7 (tujuh) kali pergantian, 5 (lima) orang diantaranya militer, yaitu Sugih Arto, Ali Said, Ismail Saleh, Hari Suharto dan Sukarton Marmo Sudjono.
Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan Kejaksaan mengalami beberapa kali perubahan. Kedudukan Kejaksaan yang mengalami perubahan adalah dalam upaya mendudukan dan memfungsikan Kejaksaan secara optimal.
1.2.5 Masa Orde Reformasi (1998-Sekarang)
Pada masa orde reformasi, selain terjadi 6 (enem) kali pergantian Jaksa Agung dalam satu periode dan juga penambahan fungsi yang berkaitan dengan tugas dan wewenang, Jaksa Agung diberi lagi kewenangan melakukan Penyidikan dan Penuntutan terhadap pelanggaran HAM dengan keluarnya UU No 26 Tahun 1999 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Di samping itu pula ada pengurangan terhadap tugas dan kewenangan penyidikan dan penuntutan berkaitan dengan tindak pidana korupsi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada tanggal 29 Desember 2003 yang merupakan tindak lanjut dari UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TiPiKor.
Dalam periode era reformasi, perkara-perkara yang berkaitan dengan Tipikor dan tindak pidana lainnya yang disinyalir oleh masyarakat benuansa politis belum ditangani dengan serius oleh Kejaksaan. Contohnya pada saaat itu adalah perkara Ginanjar Kartasasmita, Perkara Akbar Tandjung, perkara Syahril Sabirin, perkara KH. Abu Bakar Baasyir dalam kasus terror bom dan makar, dan perkara Djakfar Umar Sidik (Panglima Komando Jihad) dalam kasus penghinaan kepada Kepala Negara. Selain itu, perkara pelanggaran HAM Timor Timur dan Tanjung Priok juga belum diselesaikan secara tuntas.
Dengan demikian, situasi dan kondisi yang dihadapi Kejaksaan RI periode Reformasi tidak jauh berbeda dengan pada saat periode Orde Baru. Namun hal yang paling menggembirakan adalah digantinya UU No 5 Tahun 1991 dengan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.










BAB IV
PERBANDINGAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DI BEBERAPA NEGARA

A. KEJAKSAAN
Model kejaksaan di beberapa Negara dalam konteks penyidikan dan penuntutan
Secara umum saat ini ada dua prinsip bidang penuntutan dalam prespektif yurisdiksi dari model kejaksaan di beberapa negara ( Thailand, Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan swedia), : (1) kewenangan bidang penuntutan untuk melakukan penyidikan dan interogasi; (2) Kewenangan bidang penuntutan dalam memutuskan untuk menuntut.
Dalam peranan Jaksa berkaitan dengan Penyidikan, ada 3 ( tiga ) model yang dianut oleh berbagai Negara, yaitu:
a. Jaksa hanya bertindak selaku penuntut umum, tidak melakukan penyidikan, seperti yang dianut oleh kejaksaan di negara Thailand, China, India, Singapura, Srilanka, Papua New Guinea, Inggris, dan Fhilipina.
b. Jaksa sebagai penuntut umum, juga memiliki peran untuk berpartisipasi dalam penyidikan, sebagaimana yang dianut oleh Kejaksaan di Amerika Serikat.
c. Jaksa tidak saja memiliki kewenangan melakukan penuntutan tetapi juga dapat langsung melakukan penyidikan sendiri seperti yang dianut oleh kejaksaan di Korea, Jepang, Swedia, dan juga Belanda. Kejaksaan RI juga pernah menganut model seperti ini pada masa HIR masih berlaku.
Peran Kejaksaan Dikelompokan Dalam Dua Sistem ( The Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group meeting on “ The Role of the Prosecutor in the Changing World”, Bangkok 1999)
1. Mandatory Prosecutorial System
Berdasarkan system ini, Jaksa dalam menangani suatu perkara hanya berdasarkan alat-alat buktidan sudah ada dan tidak terhadap hal-hal yang di luar yang sudah ditentukan, ( kecuali dalam keadaan tertentu). Negara-negara yang menjalankan system ini adalah Thailand, termasuk juga China, India, Sri Lanka, dan Papua New Guinea.
2. Discretionary Prosecutorial System
Pada system ini, Jaksa dapat melakukan berbagai kebijakan tertentu dan bias mengambil berbagai tindakan dalam penyelesaian/penanganan suatu kasus. Dalam system ini Jaksa dalam mengambil keputusan, selain mempertimbangkan alat-alat bukti yang ada juga, mempertimbangkan factor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu tuindak pidana, keadaan-keadaan di mana tindak pidana itu dilakukan, atribut-atribut pribadi dari terdakwa dan korban, tingkat penyesalan terdakwa, tingkat, tingkat pemaaf dari korban, dan pertimbangan- pertimbangan kebijakan publik.

Kejaksaan RI menganut kedua system tersebut, masuk dalam kelompok Mandatory Prosecutorial System di dalam penanganan perkara tindak pidana umum, dan masuk juga kelompok Discretionary Prosecutorial System di dalam penanganan tindak pidana khusus (tindak pidana korupsi). Hal ini mengacu pada pasal 284 ayat 2 KUHAP dan tindak pidana berkaitan dengan hak asasi manusia mengacu kepada pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian system yang dianut oleh Kejaksaan RI merupakan perpaduan dari kedua system tersebut yang tampaknya tidak dianut oleh kejaksaan di Negara-negara lain.

B. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Singapura
a. Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB)
b. Attorney General Chamber (AGC)
c. Commercial Affairs Departement (CAD)
d. Auditor’s General Office (AGO)
e. Public Service Division (PSD)
Malaysia
a. Badan Pencegah Rasuah, bertugas menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang dilarang peraturan perundang-undangan.
b. Jabatan Peguam Negara (Jaksa Agung), bersifat independen karena diangkat oleh Yang Dipertuan Agong. Berwenang di tingkat banding dan kasus yang besar.
c. Jabatan Audit Negara, berdiri sendiri, bertugas melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan negara Malaysia.
d. Jabatan Perkhidmatan Awam, bertugas mengkaji dan menilai prestasi pegawai negeri dibawah Perdana Menteri Malaysia.
e. United Malay National Organization
Hong Kong
a. Anti-Corruption Branch (unit kepolisian dibidang korupsi)
b. Anti-Corruption Office, hasil peningkatan dari Anti-C Corruption Branch, dilengkapi dengan kelompok intelijen, pelaksana investigasi, dan investigator atas pejabat publik.
c. Independent Commision Against Corruption, komisi non-Kepolisian yang menggantikan Anti-Corruption Office.

Faktor yang berpengaruh dalam pemberantasan korupsi di beberapa Negara
Dari uraian mengenai peranan Komisi Pemberantasan korupsi di beberapa negara (Singapura, Malaysia, dan Hong Kong) dapat disimpulkan bahwa untuk memberantas korupsi di beberapa negara tersebut diperlukan dukungan beberapa hal, yaitu :
Pertama, adanya kemauan politik (political will) pemerintah. Kemauan politik ini direalisasikan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang kuat yang diciptakan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi; dan adanya contoh konkret dari pejabat pemerintah untuk melaksanakan peraturan tersebut.
Kedua, dirancang dan dirumuskan baik mencakup aspek represif maupun preventif dalam pemberantasan korupsi.
Ketiga, implementasi dari kemauan politik dan strategi tersebut diwujudkan dengan dibentuknya berbagai lembaga/badan/komisi yang mandiri dan independent, yang berwenang melaksanakan pemberantasan korupsi.

Keberhasilan Komisi Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB), Attorney General Chanber (AGC), Commercial Affairs Departemen (CAD), Auditor’s General Office (AGO), Public Service Division (PSD), Badan Pencegah Rasuah, Jabatan Peguam Negara, Jabatan Audit Negara, Jabatan Perkhidmatan Awam, dan United Malay National Organization, Anti-Corruption Branch, Anti-Corruption Office, dan Independent Commision Against Corruption, dilatarbelakangi banyak factor, antara lain :
1. Negara-negara tersebut luas dan jumlah penduduknya relative kecil.
2. Tingkat kesadaran hukum masyarakatnya relative lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
3. Tingkat kesejahteraan aparatur pemerintahnya jauh lebih baik daripada aparatur pemerintah di Indonesia.
4. Pengawasan atau control berjalan dengan baik di seluruh lini, sehingga penyimpangan yang mungkin terjadi dapat dideteksi lebih dini.








BAB V
KEJAKSAAN RI DALAM PERSPEKTIF HUKUM
DAN IMPLIKASINYA DENGAN DIBENTUKNYA
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

5.1. Kedudukan Sentral Kejaksaan RI dalam Penegakan Hukum
Kedudukan sentral Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia, sebagai salah satu subsistem hukum yang berada dalam satu kesatuan yang teratur dan terintegral, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan subsistem lainnya untuk mencapai tujuan dari sistem hukum tersebut.
Kedudukan sentral Kejaksaan RI dalam ketatanegaraan dapat diperjelaskan dibawah ini, yang diawali dengan penjelasan mengenai apa itu system ketatanegaraan atau apa itu hukum tata Negara.
Ph. Kleintjes mengatakan bahwa Ketatanegaraan (Hukum Tata Negara) Hindia Belanda, terdiri dari kaidah-kaidah hukum mengenai tata (inrichting) Hindia Belanda, yaitu tentang alat-alat perlengkapan kekuasaan Negara (de met overheidsgezag bekleede organen) yang harus menjalankan tugas Hindia Belanda dan tentang susunan (samenstelling), tata (inrichting), wewenang (bevoegheden), dan perhubungan kekuasaan (onderlinge machtsverhouding) di antara alat-alat perlengkapan itu.
Menurut logemann, hukum tata Negara adalah hukum organisasi negara atau hukum keorganisasian negara atau hukum mengenai organisasinya (tata susunannya) Negara. Sementara itu, kranenburg mengatakan bahwa hukum tata Negara meliputi hukum mengenai susunan (struktur) umum dari Negara, yaitu yang terdapat dalam undang- undang dasar dan undang-undang organik.
Lebih jauh Logemann menjelaskan bahwa ilmu hukum tata Negara mempelajari atau menyelidiki hal-hal berikut:
1. Jabatan-jabatan apa yang terdapat didalam susunan kenegaraan tertentu
2. Siapa yang mengadakannya
3. Bagaimana cara melengkapinya dengan pejabat-pejabat
4. Apa yang menjadi tugasnya (lingkungan pekerjaannya)
5. Apa yang menjadi wewenangnya
6. Hubungan kekuasaan satu sama lain
7. Didalam batas-batas apa organisasi Negara (dan bagian-bagiannya) menjalankan tugasnya.
Dalam konteks system ketatanegaraan tersebut, idealnya UUD 1945 dan undang-undang organic
sebagai subordinatnya, mengatur system ketatanegaraan Indonesia seperti pendapat Logemann. Untuk itu, idealnya juga kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI diatur dengan tegas dalam UUD atau Konstitusi dan dalam undang-undang organic yang mengatur keberadaan Kejaksaan, termasuk mengenai siapa yang memilih, mengangkat, menetapkan, mengesahkannya, bagaimana prosedur/mekanisme pemilihan, pengangkatan, penetapan, pengesahannya, dan pertanggungjawaban atas tugas dan kewajibannya. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa Kejaksaan adalah bagian integral dari system ketatanegaraan (system hukum), sebagai aparatur yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang penegakkan hukum di Indonesia. Dengan katalain, kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI mestinya diatur secara tegas dalam UUD 1945, seperti halnya Kepolisian RI dan Badan Peradilan. Namun kenyataannya, perihal kedudukan dan fungsi hanya tersirat (implicit) diatur dalam Pembukaan UUD 194Alinea IV, dalam Pasal 24at 3, dan dalam Pasal II Aturan Peralihan.
Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat 1 menegaskan bahwa “Kejaksaan RI, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Sementara itu, tugas dan wewenag Kejaksaan diatur dalam Pasal 30,31,32,33,dan 34 undang-undang ini. Tugas dan wewenangnya dibidang pidana, perdata, dan tata usaha Negara, dan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman, serta diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Terlepas dari kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI diatur secara eksplisit atau implicit dalam UUD 1945, yang pasti adalah Kejaksaan RI menjadi subsistem dari system ketatanegaraan Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara atau Dominus Litis, mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut hukum acara pidana.
Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana. Masyarakat sangat mendambakan intitusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat berfungsi menjadi tulang punggung reformasi. Sebab, pada dasarnya makna reformasi adalah kembali kejalur hukum dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan.
Pandangan negatf yang muncul selama ini adalah karena fungsi hukum dipandang lebih merupakan alat kekuasaan Negara, baik dalam law enforcement maupun dalam law making process, bukan diarahkan untuk mengayomi masyarakat.
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan kemudian Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, kedudukan Kejaksaan menjadi lebih kukuh sebagai lembaga pemerintah. Sedang semula dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan RI, kedudukan Kejaksaan masih disebut alat penegak hukum. Namun dalam prakteknya, selama 32 tahun rezim orde baru berkuasa, yang terjadi adalah supremasi kekuasaan, bukan supremasi hukum.
Di Negara-negara yang menganut system hukum anglo saxon (inggris, amerika), maupun yang menganut system continental (prancis dan belanda) dan juga Indonesia, kedudukan Jaksa Agung atau attorney general sebagai “ the chief law officer of a state, responsible for advising the government on legal matters and representing it in litigation”.tugas yang diembannya secara umum seharusnya seperti itu, terlepas mereka anggota cabinet atau tidak.
Di Amerika Serikat, Jaksa Agung adalah sekaligus Menteri Kehakiman yang diangkat oleh Presiden atas persetujuan Senat dan menjadi anggota cabinet. Sementara itu, di Belanda, Jaksa Agung yang diangkat oleh Ratu dan otonom, tidak terikat kepada pemerintah atau Kabinet dan menjadi anggota Mahkamah Agung. Sedangkan, kelima Jaksa Agung pada Pengadilan Tinggi berada di bawah minister van Justitie yang dengan sendirinya merupakan bagian eksekutif, namun mempunyai kemandirian penuh dalam bidang penuntutan dan penegakan hukum.
Di Indonesia, secara yuridis formal dan yuridis historis, Kejaksaan lahir berbarengan dengan berdirinya Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 bahwa segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.
Sejak UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan dan Presiden serta Wakil Presiden dipilih dalam rapat PPKI, berdasarkan Aturan Peralihan itu, institusi Kejaksaan telah ada. Besoknya tanggal 19 Agustus 1945, oleh Panitia Kecil PPKI yang ditugaskan menyusun konsep Departemen, insti Kejaksaan di putuskan untuk dikembalikan, menjadi urusan Keamanan Pemerintah Balatentara Jepang.
Dalam Pemerintahan Orde Baru, institusi Kejaksaan melalui TAP MPRS No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah direposisi sesuai dengan UUD 1945, bukan lagi berstatus Departemen, Jaksa Agung bukan lagi Menteri, namun statusnya disamakan dengan menteri dan bertanggung jawab kepada Presiden. Setelah berlakunya Undang-undang UU No.5 Tahun 1991 dan kini UU No. 16 Tahun 2004, Kejaksaan ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan.
Mengkaji kedudukan sentral Kejaksaan RI adalah sama dengan kajian terhadap kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia. Sudah tentu penekanannya pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tataran teoretis yang mengacu pada konsepsi Negara hukum maupun dalam aras normative praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undang.
Artinya, Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukan sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Elemen-elemen esensial Negara hukum (rechtsstaat) yang menjadi cirri tegaknya supremasi hukum mencakup adanya:
1. Jaminan bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya selalu berlandaskan hukum dan peraturan perundang-undangan.
2. Jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar (fundamental rights);
3. Pembagian kekuasaan Negara yang jelas, adil, dan konsisten; serta
4. Perlindungan hukum dari badan-badan peradilan terhadap tindak pemerintahan.

Kejaksaan RI sebagai salah satu institusi yang melakukan penegakan hukum di Indonesia, memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
1. Mengembangkan budaya hukum melalui penciptaan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum
2. Menegakkan hukum secara konsisten yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berkemanfaatan
3. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan bebas
4. Memyelenggarakan proses peradilan yang cepat, mudah, urah dan terbuka, serta bebas KKN
5. Menyelesaikan pelanggaran hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas.




Untuk itu, dalam kebijakan pembangunan hukum nasional sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang Propenas tersebut, pemerintah menetapkan 4 (empat) program utama dalam pembangunan hukum nasional, yaitu:
Pertama, Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Program ini bertujuan untuk mendukung upaya-upaya mewujudkan supremasi hukum, terutama penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, dengan sasaran agar tercipta keselarasan antara peraturan perundang-undangan dan aspirasi masyarakat serta kebutuhan pembangunan.
Menindaklanjuti program tersebut, memang tepat jika undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI di cabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Pergantian undang-undang ini sangat tidak sesuai lagi dengan aspirasi masyarakat dan tuntutan pembangunan. Karena yang dikehendaki adalah agar Kejaksaan menjadi suatu badan yang merdeka dan independen dalam penegakan hukum.
Kedua, Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya.
Program ini ditujukanuntuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap peran dan citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan, Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai bagian dari upaya mewujudkan supremasi hukum dengan dukungan hakim dan aparat penegak hukum lainnya yang professional, berintegritas, dan bermoral tinggi, dengan sasaran agar terciptanya lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dari pengaruh penguasa maupun pihak lain, dengan tetap mempertahankan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan.
Berkenaan dengan Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya, Kejaksaan RI sebagai salah satu institusi penegak hukum sepertinya dituntut professional, berintegritas, dan disiplin, dalam rangka menegakkan citra Kejaksaan sebagai penegak hukum yang mandiri, bebas dari pengaruh penguasa maupun pihak lain.
Salah satu langkah tepat yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan Kejaksaan RI adalah dengan mengatur hal-hal diatas dalam suatu peraturan perundang-undangan dan kemudian ditindaklanjuti.
Ketiga, Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta Pelanggaran HAM.
Program ini bertujuan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Sasaran program ini adalah tuntasnya berbagai kasus KKN dan pelanggaran HAM yang belum diselesaikan secara hukum. Adapun kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) melakukan inventarisasi berbagai kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi, praktik kolusi, dan nepotisme, dan pelanggaran HAM yang belum didaftar yang perlu ditindaklanjuti secara hukum baik melalui media massa, elektronik maupun instansi yang fungsi dan tugasnya terkait dengan penanganan kasus KKN dan pelanggaran HAM. (2) meningkatkan operasi penegakan hukum dalam bentuk operasi penegakan hukum dalam bentuk operasi yustisi. (3) penyusunan statistic criminal dan analisis kriminalitas baik mengenai tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. (4) menyelesaikan perkara- perkara KKN dan pelanggaran HAM yang ditindak lanjuti dengan pengenaan tindak hukum pidana pengembalian kekayaan Negara yang dikorupsi. Dan (5) pengendalian teknis terhadap penyelesaian perkara KN dan pelanggaran HAM. Disamping itu, kejaksaan juga harus berupaya meningkatkan perannya sehingga dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum dan HAM di Indonesia.
Keempat, Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum.
Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kembali kesadaran dan kepatuhan hukum baik masyarakat maupun aparat penyelenggaraan Negara dan meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi aparat penegak huykum sehingga tercipta budaya hukum yang baik diseluruh lapisan masyarakat.
Dalam lingkup Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum, Kejaksaan RI juga harus menjadi ujung tombak yang tidak bisa diabaikan untuk meningkatkan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Hal ini karena tegaknya supremasi hukum hanya dapat menjadi kenyataan bila di barengi dengan tingginya tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat maupun aparat penyelenggara Negara. Jika Kejaksaan secara nyata berperan dalam program ini, kepercayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum meningkat sehingga tercipta budaya hukum di semua lapisan masyarakat.
Kejaksaan RI, dalam kedudukannya sebagai bagian lembaga eksekutif yang mempunyai tugas dan wewenang penegakan hukum, hendak lebih berperan aktif mewujudkan arah kebijakan pembangunan hukum. Kehendak ini tidak akan tercapai atau hanya akan menjadi angan-angan bila kedudukan dan fungsi kejaksaan tidak di dudukan pada tempat yang tepat dan benar secara hukum. Artinya peraturan perundang-undangan hendaknya mendudukkan Kejaksaan sebagai badan yang merdeka dan independen, sehingga bebas bertanggung jawab secara etika, moral, huum, bahkan secara agama dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Undang-undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 200-2004 menjadi acuan dan pedoman bagi Kejaksaan RI tahun 2000-2004 dengan tujuan dan saran intitusi ini. Adapun tujuan Kejaksaan dalam penegakkan hukum adalah sebagai berikut:
1. Meninjau dan menata kembali organisasi Kejaksaan RI sesuai dengan tuntutan penegak supremasi hukum
2. Menyesuaikan system dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum yang mengacu pada efisiensi dan efektifitas yang optimal
3. Membentuk aparatur Kejaksaan yang professional, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan pelayanan prima.
Sementara sasaran kinerja Kejaksaan RI meliputi:
1. Menjadikan Kejaksaan sebagai institusi yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan responsive terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya
2. Menciptakan enstansi Kejaksaan yang transparan dalam memberikan pelayanan (hukum) masyarakat
3. Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada aparatur Kejaksaan.
Langkah- langkah pokok yang dijalankan oleh Kejaksaan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan hukum Kejaksaan meliputi: Pertama, Mengoptimalkan pemberdayaan institusi Kejaksaan melalui penataan organisasi, pelaksanaan pendidikan dan latihan, serta upaya peningkatan profesionalisme aparatur Kejaksaan. Kedua, Turut berperan aktif menyempurnakan peraturan perundang-undangan nasional dan ketentuan- ketentuan lainnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan rasa keadilanm masyarakat, termasuk yang berbentuk ketentuan internal Kejaksaan, agar Kejaksaan dapat menjamin penerapan dan penegakan hukum. Ketiga, mengembangkan penyusunan perencanaan strategis (3-5 tahun) yang meliputi pembinaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana di bidang manajerial maupun teknis dengan memanfaatkan teknologi multimedia. Keempat, mengoptimalkan pemberdayaan lembaga intelijen yustisial. Kelima, meningkatkan kualitas penyelesaian kasus/perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara. Keenam, meningkatkan transparansi tindak lanjut penyelesaian kasus indisipliner aparatur Kejaksaan serta pelanggaran Kode etik: Tri Krama Adhiyaksa. Ketujuh, mengembangkan upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan melalui penyadaran hukum. Kedelapan, mengembangkan kegiatan-kegiatan penelitian dan kajian di bidang hukum dan tugas-tugas Kejaksaan.
Untuk melaksanakan 4 program utama Pembangunan Hukum dalam Propenas 2000-2004, telah disusun Program Pembangunan Hukum Kejaksaan, yaitu:
1. Program PAembentukan Peraturan Perundang-undangan
a. Menyempurnakan UU No. 5 Tahun 1991 dan juga UU No. 16 Tahun 2004.
b. Menyempurnakan Keppres No. 86 Tahun 1999.
c. Aktif dalam penyempurnaan perundang-undangan acara pidana
d. Aktif dalam penyempurnaan perundang-undangan lainnya
e. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai institusi di pusat dan daerah.
f. Meningkatkan kualitas dan kuantitas legal drafter Kejaksaan

2. Pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum
a. System rekruitmen dan promosi jaksa sesuai asas kompetensi dan transparansi.
b. Pengalokasian Jaksa secara proporsional sesuai wilayah hukum.
c. Meningkatkan kesejahteraan Jaksa sesuai tanggung jawab yang diemban
d. Sinkronisasi perundang-undangan berkaitan dengan institusi penegak hukum lain.
e. Penyempurnaan kurikulum pendidikan hukum.
f. Menyelenggarakan Diklat Lanjutan di berbagai bidang.
g. Meningkatkan kualitas Jaksa dalam penanganan perkara.
h. Pembinaan integritas moral dan pemberdayaan kemampuan Jaksa dalam penanganan perkara
i. Meningkatkan kualitas penanganan perkara HAKI dan Lingkungan Hidup, dalam kerangka perlindungan kepentingan masyarakat.
j. Meningkatkan pengawasan dan administrasi penanganan perkara.
k. Meningkatkan kemampuan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR).
l. Meningkatkan mekanisme Akuntabilitas Publik institusi Kejaksaan.
m. Meningkatkan Pelayanan Hukum pada masyarakat.
n. Peningkatan sarana dan prasarana Kejaksaan di Pusat dan Daerah.
o. System Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.

3. Penuntasan Kasus KKN serta Pelanggaran HAM.
a. Menginventarisasi kasus KKN dan pelanggaran HAM yang belum ditindak lanjuti.
b. Mengoptimalkan operasi intelijen yustisial.
c. Melaksanakan operasi yustisi
d. Meningkatkan upaya pengembalian kekayaan Negara yang di korupsi.
e. Melaksanakan pelayanan hukum dalam upaya pemulihan kekayaan Negara melalui penanganan DATUN.
f. Menyusun statistic criminal dan analisis kriminalitas kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM.
g. Mengoptimalkan pengendalian teknis penyelesaian kasus KKN dan pelanggaran HAM.

4. Peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.
a. Menerapkan metode pendekatan dialogis efektif saat melaksanakan penyuluhan dan penerangan hukum.
b. Menggali nilai budaya daerah melalui kegiatan penelitian dan pengembangan agar budaya hukum meluas dalam masyarakat.
c. Menerapkan pendekatan dialogis dengan institusi lain yang memfasilitasi penyadaran hukum di masyarakat.
d. Penyuluhan dan penerangan hukum dilakukan dengan media komunikasi modern dalam.
Program Pembangunan Hukum Kejaksaan terkait erat dengan kedudukan Kejaksaan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kaejaksaan RI, bahwa “Kejaksaan RI selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dari bunyi pasal ini apat diketahui ledudukan Kejaksaan, yaitu:
1. Sebagai Lembaga pemerintah (eksekutif)
2. Sebagai pelaksana kekuasaan di bidang penuntutan
3. Sebagai pelaksana kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya, undang-undang No. 16 Tahun 2004 mengisyaratkan bahwa misi Kejaksaan RI adalah mewujudkan system penegakan dan pelayanan hukum yang berkarakter proporsional dan professional sehingga mampu:
1. Mengamankan dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia terhadap usaha-usaha yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Mewujudkan kepastian, ketertiban, keadilan dan kebenaran hukum serta mengindahkan norma-norma beragama, kesopanan dan lesusilaan.
3. Menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
4. Melaksanakan pembangunan, dengan turut menciptakan kondisi dan proses yang mendukung, serta mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.
5. Menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan mas’yarakat melalui penegakan hukum.

5.2. Komperasi Isu-isu Sentral dalam Undang-undang Kejaksaan RI
Berkenaan dengan komperasi isu-isu sentral dalam undang-undang Kejaksaan RI, ada beberapa hal yang perlu disoroti, yaitu:
1. Tiga isu sentral yang dikomperasi adalah soal Kedudukan Kejaksaan, Fungsi (tugas dan wewenang) Kejaksaan, dan Komisi Kejaksaan
2. Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
3. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan

Undang-undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, pasal 2, menegaskan bahwa:
1. Kejaksaan RI selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan.
2. Kejaksaan adalah salah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.
Dari pengaturan Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tersebut dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan
2. Kejaksaan melakukan kekuasaan di bidang penuntutan
3. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 undang-undang ini dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksana kekuasaan Negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan dilingkungan peradilan umum. Kemudian Penjelasan Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan” adalah landasan pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan dibidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan cirri khas yang menyatu dalam tata piker, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan.
Oleh karena itu, kegiatan penuntutan pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa pengganti.
Kemudian Undang-undang No 15 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan RI, Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa Kejaksaan RI selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Ayat 2-nya: Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara. Pasal 3 menetapkan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan.
Menilik pengaturan Pasal 1 dan Pasal 3 undang-undang tersebut, dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu:
1. Kejaksaan sebagai alat Negara penegak hukum
2. Tugas utama Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum
3. Kejaksaan harus menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara
4. Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan.

Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa istilah “menjunjung tinggi” adalah termasuk pengartian “member perlindungan”. Sementara itu, dalam menjalankan tugasnya, pejabat-pejabat Kejaksaan harus mengindahkan hubungan hierarki di lingkungan pekerjaannya.
Bila ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia di atas dikomparasi, tampak ada beberapa persamaan namun ada pula perbedaan, yaitu:
1. Kesamaan tiga undang-undang Kejaksaan (UU no 16 Tahun 2004, UU No. 5 Tahun 1991, dan UU No. 15 tahun 1961) berkaitan dengan kedudukan Kejaksaan adalah pertama, Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan; kedua, Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) utama di bidang penuntutan.
2. Kesamaan UU no 16 Tahun2004 dan UU No. 5 Tahun 1991 yakni Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan. Berbeda dari pengaturan UU no 15 tahun 1961 yang menegaskan bahwa Kejaksaan adalah alat penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.
3. Perbedaan UU No. 16 Tahun 2004 dengan UU No, 5 Tahun 1991 dan UU no 15 Tahun 1961 terletak pada unsure bahwa “kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka”. UU No. 16 Tahun 2004 mengatur dengan tegas bahwa Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan, sedangkan UU no 5 tahun 1991 dan UU no 15 tahun 1961 tidak mengatur hal ini.
4. Perbedaan lainnya adalah UU No 15 tahun 1961 menegaskan secara eksplisit bahwa Kejaksaan harus menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara, sementara UU no 16 tahun 2004 dan UU no 5 tahun 1991 tidak menegaskan hal tersebut.

Lebih jauh, dalam penjelasan umum UU No. 16 tahun 2004, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya UU ini adalah untuk pembaruan Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat mengemban kekuasaan Negara dibidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Bila kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan dikaitkan dengan wewenang Kejaksaan melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka, disini terdapat kontradiksi dalam pengaturannya (dual obligation). Dikatakan demikian, adalah mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan mungkin juga pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan, Jaksa Agung, sebagai bawahan Presiden, harus mampu melakakukan tiga hal, yaitu:
1. Menjabarkan instruksi, petunjuk dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya dalam bidang penegakan hukum
2. Melaksanakan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang telah di jabarkan tersebut
3. Mengamankan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang sementara dan telah dilaksanakan.
Jaksa Agung harus mampu melakukan ketiga hal tersebut untuk menunjukkan dedikase, loyalitas dan kredibilitasnya sebagai pengemban kekuasaan Negara dibidang penegakan hukum.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa UU no 16 tahun 2004 menempatkan Kejaksaan pada kedudukan yang ambigu. Disatu sisi, Kejaksaan di tuntut menjalankan fungsi, tugas dan wewenang secara merdeka, disisi lain, Kejaksaan dipasung karena kedudukan berada di bawah kekuasaan eksekutif disinilah antara lain letak kelemahan pengaturan UU ini. Apabila Pemerintah (Presiden) benar-benar memiliki komitmen untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila Kejaksaan di berdayakan dengan diberi kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun proporsional.

5.2.2. Tugas dan wewenang Kejaksaan RI
Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara normative dapat dilihat dalam beberapa ketentuan UU mengenai Kejaksaan, sebagaimana yang hendak di ketengahkan di bawah ini. Ditegaskan dalam UU no 16 tahun 2004, pasal 30:
1. Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU.
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
2. Di bidang perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah
3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
b. Pengamanan kebijakan penegak hukum
c. Pengamanan peredaran barang cetakan
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic kriminal
Kerjasama antara kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara ini terdapat dalam pasal 31, 32, 33 UU NO. 16 tahun 2004. Tugas dan wewenang kejaksaan agung diatur dalam pasal 35 UU No. 16 tahun 2004. Dan pasal 36 UU NO. 16 tahun 2004 tentang pengizinan perobatan terhadap kejaksaan kemudian pasal 37 UU NO. 16 tahun 2004 tentang pertanggung jawaban jaksa agung. Sementara itu dalam UU NO. 5 tahun 1991 tentang kejaksaan RI diatur tugas dan wewenang kejaksaan RI. Tugas dan wewenang kejaksaan Republik Indonesia diature juga dalam UU NO. 15 tahun 1961 tentang ketrentuan dan pokok kajaksanaan Republik Indonesia.
5.2 Komisi Kejaksaan RI
Kejaksaan RI bertanggung jawab kepada publik secara trasparan dan konsekuensinya lembaga ini harus melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dan lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya, walau perlu juga dibentuk komisi kejaksaan yang mengawasi untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan jaksa agung yang dipilih dan diperhentikan oleh presiden atas persetujuan DPR.
UU NO. 5 tahun 1991 tentang kejaksaan RI dan dalam UU NO. 15 tahun 1961 tentang kejaksaan RI sama sekali tidak mengatur tentang komisi kejaksaan.
3 fungsi jaksa agung dietur dalam kepja NO. Kep – 030/I.A/3/1998 yaitu :
1. Tunggal
2. Mandiri
3. Mumpuni
dengan fungsi tadi menekankan kejaksaan untuk bersikap profesional sebagai penegak hukum
5.3 Penyidikan dalm konteks penuntutan sebagai fungsi kejaksaan RI
UU NO. 5 tahun 1991 tentang kejaksaan RI dengan pasal 27 ayat 1 huruf D, kejaksaan diberi lagi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan berbeda dengan pemeriksaan lanjutan (nasporing) setelah (osporing).
5.4 Akuntabilitas dan pengawasan atas kejaksaan RI kini dan yang akan datang
Akuntabilitas sangay\t penting untuk aparat kejaksaan saat menjalankan tugas dan wewenangnya menegakkan hukum.
Pertanggung jawaban kejaksaan RI saat ini langsung pada presiden sesuai UU NO. 5 tahun 1991 dan UU no 16 tahun 2004.
5.5 Kejaksaan RI dalam perspektif ajaran / paradigma hukum
Terlebih dahulupaham tujuan hukum untuk mengkaji prespektif / paradigma hukum. Tujuan hukum adalah untuk ketertiban dan ini sesuai dengan fungsi hukum itu sendiri.
5.6 Prospek kejaksaan RI dalam penegakan hukum
Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama bisa diartikan sebagai court administration dalam arti pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan – badan peradilan.
Kedua, dalam arti administration of justice yang mencakup proses penanganan perkara dan prosedur serta praktik litigasi dalam kerangka kakuasaan mengadili (judicial power). Dan fungsi kajaksaan bukan hanya dibidang pidana, melainkan juga di bidang perdata dan tata usaha negara serta berbagai penugasan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum.
5.7 Faktor yang menstimulus fungsi kejaksaan RI dan implikasinya dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi
Keberhasilan pemberantasan korupsi di negara kita sangat tergantung pada bagaimana mengkondisikan beberapa faktor yang menstimulus berhasilnya beberapa negara tersebut dalam membrantas korupsi, selain kembali pada kemauan politik pemerintah dan dukungan legislatif serta segenap komponan bangsa (masyarakat) dalam merumuskan melaksanakan dan mengontrol peraturan perundang – undangan yang mengatur berbagai hal berkenaan dengan pemberantasan korupsi. Ketentuan UU NO. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sedangkan tindak pidana HAM diatur dalam pasal 11 dan 12 UU NO. 26 tahun 2002 tentang pengadilan HAM.

0 komentar: