cewe jilbab

on Selasa, 02 Desember 2008

BTM3 Unimed - Marilah kita buka satu persoalan yang di negara-negara Barat dianggap sebagai simbol dari penindasan dan perbudakan wanita, yaitu jilbab atau tudung kepala. Apakah betul tidak terdapat pembahasan mengenai jilbab di dalam tradisi Jahudi-Kristen ? Mari kita lihat bukti catatan yang ada. Menurut Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. Beliau disana mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: “Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala” dan “Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut isterinya terlihat,” dan “Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan.”

Hukum Rabbi melarang pemberian berkat dan doa kepada wanita menikah yang tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap “telanjang”. Dr. Brayer juga mengatakan bahwa “Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya. Jika kepalanya tidak tertutup dia bisa dikenai denda sebanyak empat ratus zuzim untuk pelanggaran tersebut.”

Dr. Brayer juga menerangkan bahwa jilbab bagi wanita Yahudi bukanlah selalu sebagai simbol dari kesopanan. Kadang-kadang, jilbab justru menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakannya ketimbang ukuran kesopanan. Jilbab atau tudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Jilbab juga diartikan sebagai penjagaan terhadap hak milik suami.

Jilbab menunjukkan suatu penghormatan dan status sosial dari seorang wanita. Seorang wanita dari golongan bawah mencoba menggunakan jilbab untuk memberikan kesan status yang lebih tinggi. Jilbab merupakan tanda kehormatan. Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237). Wanita-wanita Yahudi di Eropa melanjutkan menggunakan jilbab sampai abad ke sembilan belas hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Tekanan eksternal dari kehidupan di Eropa pada abad sembilan belas memaksa banyak dari mereka pergi keluar tanpa penutup kepala.

Beberapa wanita Yahudi kemudian lebih cenderung menggantikan penutup tradisional mereka dengan rambut palsu sebagai bentuk lain dari penutup kepala. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang saleh tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi) (S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239). Sementara beberapa dari mereka. seperti sekte Hasidic, masih menggunakan rambut palsu (Alexandra Wright, 19??, hal 128-129).

Bagaimanakah jilbab menurut tradisi Kristen?
Kita sendiri menyaksikan sampai hari ini bahwa para Biarawati Katolik menutup kepalanya yang suruhannya sebetulnya telah ada semenjak empat ratus tahun yang lalu. Tetapi bukan hanya itu, St. Paul (atau Paulus) dalam Perjanjian Baru, I Korintus 11:3-10, membuat pernyataan-pernyataan yang menarik tentang jilbab sebagai berikut: “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan kepala Kristus adalah Allah. Tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga mengguting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan dicipt akan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena malaikat”. (I Korintus 11:3-10).

St. Paul memberikan penalaran tentang wanita yang berjilbab atau berkerudung adalah bahwa jilbab memberikan tanda kekuasaan pada laki-laki, yang merupakan gambaran kebesaran Tuhan, atas wanita yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. St. Tertulian di dalam risalahnya “On The Veiling Of Virgins” menulis: “Wanita muda hendaklah engkau mengenakan kerudung saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam gereja, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu.”

Di antara hukum-hukum Canon pada Gereja Katolik dewasa ini, ada hukum yang memerintahkan wanita menutup kepalanya di dalam gereja (Clara M Henning, 1974, hal 272). Beberapa golongan Kristen, seperti Amish dan Mennoties contohnya, mereka hingga hari ini tetap mengenakan tutup kepala. Alasan mereka mengenakan tutup kepala, seperti yang dikemukakan pemimpin gerejanya adalah: “Penutup kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita kepada laki-laki dan Tuhan,” logika yang sama seperti yang ditulis oleh St. Paul dalam Perjanjian Baru (D. Kraybill, 1960, hal 56).

Dari semua bukti-bukti di atas, nyata bahwa Islam bukanlah agama yang mengada-adakan dan mewajibkan penutup kepala, tetapi Islam telah mendukung hukum tersebut. Al Qur’an memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Juga memerintahkan wanita beriman agar memanjangkan penutup kepalanya sampai menutupi leher dan dadanya.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat….. Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya…” (An Nuur:30,31)

Di dalam Al Qur’an jelas tertulis bahwa kerudung sangat penting untuk menutup aurat. Mengapa aurat itu penting ? Hal itu dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Ahzab 59: “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Al Ahzab:59)

Pada intinya, kesederhanaan digambarkan untuk melindungi wanita dari gangguan atau mudahnya, kesederhanaan adalah perlindungan.

Jadi, tujuan utama dari jilbab atau kerudung di dalam Islam adalah perlindungan. Kerudung di dalam Islam tidak sama seperti di dalam tradisi Kristen dimana merupakan tanda bahwa martabat laki-laki berada di atas wanita dan merupakan simbolisasi tunduknya wanita terhadap laki-laki. Kerudung di dalam Islam juga bukan seperti di dalam tradisi Yahudi dimana kerudung merupakan tanda keagungan dan tanda pembeda sebagai wanita bangsawan yang menikah. Kerudung di dalam Islam hanya sebagai tanda kesederhanaan dengan tujuan melindungi wanita, tepatnya semua wanita. Pada falsafah Islam dikenali prinsip bahwa selalu lebih baik menjaga daripada menyesal kemudian. Al Qur’an sangat
memperhatikan wanita dengan menjaga tubuh mereka dan kehormatan mereka atas pernyataan laki-laki yang berani menuduh ketidaksucian seorang wanita, mereka akan mendapat balasan;

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (mereka yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur 4)

Bandingkan sikap Al Qur’an yang sangat tegas, dengan hukuman yang sangat longgar bagi pemerkosa di dalam Injil:

“If a man find a damsel that is a virgin, which is not betrothed, and there was none to save her. Then the man that lay with her shall give unto the damsel’s father fifty shekels of silver, and she shall be his wife; because he hath humbled her, he may not put her away all his days” (Deut. 22:28-29).

Terjemahannya:
“Jika seorang laki-laki menemui seorang gadis yang tidak dijanjikan untuk dinikahkan kemudian memperkosanya, dia harus membayar sebesar lima puluh shekels perak kepada ayah gadis itu. Laki-laki itu harus menikahi gadis tersebut karena perbuatannya dan dia tidak boleh menceraikannya selama hidupnya” (Ulangan. 22:28-29).

Patut ditanyakan, siapa yang sebenarnya dihukum dalam hal ini? Orang yang membayar denda karena telah memperkosa ataukah gadis yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang memperkosanya dan harus tinggal bersamanya sampai dia mati ? Pertanyaan lainnya: Mana yang lebih melindung seorang wanita sikap tegas Al Qur’an atau sikap kendor moral (lax) daripada Injil ?

Beberapa kalangan, terutama di belahan negara-negara Barat, mungkin cenderung untuk menertawakan bahwa kesederhanaan (modesty) berguna untuk perlindungan. Alasan mereka adalah perlindungan yang terbaik yaitu memperluaskan pendidikan, berperilaku yang sopan, dan pengendalian diri. Kami akan mengatakan: semua itu baik tapi tidak cukup.

Jika tindakan yang ada dipandang perlindungan yang sudah cukup, lalu mengapa wanita-wanita di Amerika Utara saat ini tidak berani berjalan sendirian di kegelapan atau bahkan cemas melewati tempat parkir yang sepi ?. Jika pendidikan adalah suatu penyelesaian lalu mengapa Universitas Queen yang terkenal pelayanan pendidikannya terpaksa harus mengantar pulang para mahasiswi di dalam kampus ?. Jika pengendalian diri adalah jawabannya, lalu mengapa kasus pelecehan sex di tempat kerja diberitakan di media masa nyaris setiap hari ?. Contohnya, yang tertuduh melakukan pelecehan sex dalam beberapa tahun terakhir: para perwira Angkatan Laut, Manager-manager,
Professor-professor, Senators, Pengadilan Tinggi (Supreme Court Justices), dan bahkan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton sendiri !

Saya tercengang saat saya membaca statistik yang ditulis dalam sebuah pamflet yang dikeluarkan oleh Dean of women’s office di Universitas Queen berikut :

* Di Canada, setiap 6 menit ada seorang wanita yang mengalami pelanggaran sexual.

* 1 dari 3 wanita di Canada akan mengalami pelanggaran sexual pada suatu saat dalam kehidupannya.

* 1 dari 4 wanita berada dalam resiko diperkosa atau usaha pemerkosaan dalam kehidupannya.

* 1 dari 8 wanita akan mengalami pelanggaran sexual saat menjadi mahasiswi unitersitas.

* Sebuah penelitian menemukan bahwa 60% dari mahasiswa laki-laki mengatakan mereka akan berbuat pelanggaran seksual jika mereka yakin mereka tidak ditangkap.

Ada sesuatu yang secara fundamental amat sangat keliru di masyarakat kita ini [negara Barat, penerjemah] Suatu perubahan yang radikal sangat perlu dilakukan di dalam gaya hidup dan budaya kita ini. Budaya hidup sederhana (modesty) teramat sangat dibutuhkan.Sederhana dalam berpakaian, dalam bertutur kata, dan dalam sopan santun berhubungan antara pria dan wanita. Kalau perubahan tidak dilakukan, maka angka-angka statistik yang kelabu di atas akan makin suram dari hari ke hari hingga benar-benar semuanya terjerembab dalam kegelapan. Dan sialnya, penanggung beban masyarakat yang paling berat adalah para wanita.

Sesungguhnya kita semua menderita sebagaimana Khalil Gibran (sastrawan nasrani dari Libanon, penerjemah) pernah mengatakan: “…for the person who receives the blows is not like the one who counts them.” (Khalil Gibran, 1960, hal 56). Oleh sebab itu, sebuah masyarakat seperti Perancis yang pernah mengusir seorang gadis dari sekolahnya lantaran si gadis menampilkan kesederhaan dengan mengenakan tudung, sesungguhnya hanyalah tindakan yang mencelakakan masyarakat itu sendiri.

Adalah sebuah ironi maha besar di dalam dunia yang kita tinggali saat ini. Secarik tudung penutup kepala mereka katakan sebagai simbol ‘kesucian’ saat dikenakan oleh seorang biarawati Katolik, padahal dalam ajaran Kristiani hal itu untuk menunjukkan kekuasaan pria. Namun apabila secarik tudung kepala tersebut dikenakan oleh seorang muslimah untuk keperluan melindungi diri, justru dituduh sebagai simbol penindasan pria atas wanita! []

Catatan Redaksi: Artikel berikut adalah salah satu bab dari buku kecil karangan Dr. Sherif Abdel Azeem, seorang professor di Queen University, Ontario, Canada. Judul bukunya (terbitan 1996) adalah Women in Islam versus Women in the Judaeo-Christian Tradition; The Myth and The Reality. Hak Cipta ada pada pengarang dimana beliau mengijinkan untuk penyalinan dan terjemahan sepanjang tidak mengurangi isinya.

mossad dalam pesantren

{mosimage}Sebuah berita pernah mengemuka. Berita yang cukup membuat orang yang berhati sehat sangat prihatin. Sedemikian dangkal kecerdasan para pembawa serta para pengekspos berita tersebut. Dari situ dapat dirasakan, betapa miskin pemahaman mereka terhadap Islam dan pedoman-pedomannya.
Majalah Suara Hidayatullah pernah menyebarluaskannya, lalu oleh beberapa pihak, tulisan itu dicopy dan ditempel di masjid-masjid atau di tempat-tempat tertentu lainnya. Kini berita senada, kembali ditayangkan oleh Majalah Risalah Mujahidin. Isi pemberitaan tersebut memuat pengakuan seorang bekas agen rahasia Zionis, Mossad (?).
Menurut pengakuan bekas agen Zionis Mossad ini, bahwasanya Salafiyyun didanai oleh zionis untuk memecah-belah kaum Muslimin. Menanggapi pemberitaan semacam itu, hendaklah para salafiyyun tidak perlu risau, dan tidak perlu terpancing emosinya. Kita harus menyikapi pemberitaan dusta ini dengan sabar, ta'anni (tidak terburu nafsu), dan dengan lemah-lembut. Dan Rasulullah n telah bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
Lemah-lembut tidak berarti membiarkan sesuatu yang tidak benar terus berlangsung. Melawan kemungkaran, tidak berarti kehilangan kelemah-lembutan. (HR . . . . . . ).

Sebenarnya, persoalannya sangat sederhana. Yaitu setiap tuduhan, jika tanpa bukti, tanpa data dan fakta, pasti tuduhan tersebut merupakan fitnah. Kapankah Salafiyun menerima dana dari Zionis atau antek-anteknya, dimana, berapa, dalam bentuk apa? Atau kapankah Salafiyyun bertemu dengan mereka, bagaimana pertemuannya, dan dimana? Dan seterusnya. Semua perlu bukti. Jika tidak ada, itu berarti fitnah yang hendak dihembuskan ke tengah umat, untuk memecah-belah kaum Muslimin.
Padahal jika dicermati, fakta dan bukti yang ada justeru menegaskan, merekalah yang sesungguhnya terlibat bekerjasama dengan agen Mossad, baik disadari maupun tidak, langsung maupun tidak. Fakta ini dapat dilihat oleh siapa saja yang memiliki daya pandang tajam. Tapi kalau Anda belum melihat fakta itu juga, kami akan memberitahukannya.
Inilah faktanya! Mereka menelan mentah-mentah berita yang disampaikan oleh seorang bekas agen Mossad. Apakah mereka tidak menyadari, bahwa sesungguhnya mereka sedang terlibat dengan kegiatan mata-mata dan missi Zionis?
Ini fakta yang amat nyata. Mereka menganggap informasi dari bekas agen rahasia Zionis itu sangat berharga bagi mereka. Sungguh miskin, seorang bekas agen Mossad yang belum pernah teruji kejujurannya, begitu dipercaya? Subhanallah! Pedoman menerima dan menyampaikan berita, pedoman diterimanya sebuah informasi dan ditolaknya suatu informasi menurut ajaran Islam, tidak mereka fahami. Sungguh memprihatinkan. Pejuang Islam tidak mengerti kaidah-kaidah Islam, apalagi mengamalkannya. Lalu apa yang hendak diperjuangkan?
Sehingga tak salah jika kemudian muncul pertanyaan, itukah salah satu ciri media-media tersebut, suka menyebarkan issu tanpa bukti, bahkan dengan berita usang yang sudah terbuang, lalu dikemas lagi, padahal jauh dari ilmiah, seperti yang belum lama ini juga, bahwa mereka melontarkan tuduhan irja' kepada Syaikh al-Albani dan murid-muridnya hanya karena suka mengganjal gerakan takfir mereka.
Demikian mudahnya mereka termakan issu. Jika ini yang terjadi di kalangan mayoritas muslim, maka kapan kaum Muslimin akan meraih kejayaan? Harapan kaum Muslimin untuk maju, menang dan menguasai pentas dunia, masih begitu jauh panggang dari api.
Oleh sebab itu, hendaknya kaum Muslimin bersungguh-sungguh untuk kembali mengkaji ajaran Islam yang benar, dengan cara yang benar, berdasarkan manhaj Salaf. Dengan manhaj Salaf, kita akan terbimbing untuk benar, dan sebaliknya, tanpa manhaj Salaf, niscaya kita akan tersesat.
Berkaitan dengan pemberitaan, Allah Ta'ala telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs al-Hujurat/49:6).

Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam juga telah bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ . متفق عليه
Hati-hatilah kamu dengan prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan paling dusta. (Muttafaq 'Alaih).

belom ada judul

DALANGNYA PKI, SOEHARTO, CIA ATAU . . .

DEMIKIAN beberapa baris terakhir sajak berjudul "Catatan Tahun 1965" yang
ditorehkan penyair Taufik Ismail. Sajak itu pula yang dibacakan Harry Tjan
Silalahi, anggota Dewan Kehormatan CSIS (Centre for Strategic and
International Studies) untuk menggambarkan suasana tanah air tahun 1965,
pada diskusi terbatas "Gerakan 30 September 1965" di Aula Redaksi HU Pikiran
Rakyat, Kamis (26/9).

Selain Harry Tjan, diskusi yang dibuka Wapemhared HU Pikiran Rakyat H.
Widodo Asmowiyoto dan dipandu Redaktur Opini Abdullah Mustappa, diikuti pula
sejarawan A. Mansur Suryanegara, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat, Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S., dan peneliti LIPI, Dr. Asvi
Warman Adam.

Suasana konfrontasi yang mencapai puncaknya pada penculikan dan pembunuhan
tujuh pahlawan revolusi itu, kata Harry Tjan, sebenarnya sudah dapat
dirasakan jauh sebelumnya. Dia juga merasa yakin, peristiwa berdarah 30
September 1965 atau kemelut yang traumatik itu merupakan perbuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI).

Karena keyakinannya itu pula Harry menyayangkan kecenderungan penulis
sekarang menghilangkan kata PKI menjadi G30S semata, bukan G30S/PKI. "Buat
saya ini tidak benar sebab saya sangat yakin, tragedi berdarah itu kerjaan
PKI," ujarnya.

Meski demikian, sejauh mana keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S masih
menjadi persoalan. Apakah sebagai organisasi atau hanya terbatas pada
orang-orang tertentu, sangat debatable. Akan tetapi, bila melihat sistem
demokrasi sentralistik yang dianut PKI, kata Harry, harus dianggap bahwa
secara mendalam PKI terlibat, walau barangkali keputusannya hanya berada di
tangan Polit Biro; Ketua Aidit dan Biro Khususnya. Dengan demikian, kasihan
nasib orang-orang kecil anggota PKI dan ormas-ormasnya seperti Sobsi,
Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, yang menjadi korban karena percaya pada
Demokrasi Sentralisme-nya PKI.

"Penyebutan G30S dengan embel-embel kata 'PKI' didasari pemikiran, tidak
mungkin itu bisa digerakkan oleh sebatas Kol. Untung. Tidak mungkin, karena
ujung-ujungnya berada pada ideologi. Dalam lingkungan petinggi PKI, boleh
jadi saat disetujui Aidit, otomatis menjadi keputusan partai. Apalagi dalam
PKI itu dikenal istilah demokrasi sentralisme," ujarnya.

Menurut Harry, peristiwa G30S/PKI itu dimulai ketika Manipol Usdek diterima
sebagai haluan negara. Bung Karno lantas mulai mengarah ke kiri. Manipol
Usdek menjadi arah revolusi yang kekiri-kirian, kemudian diperkuat dengan
Resopim/RIL (Revolution, Ideology dan Leadership). Bung Karno pun praktis
mengemudikan arah negara secara tunggal.

Dalam suasana global berupa perang dingin yang memuncak, Bung Karno sangat
gandrung terhadap New Emerging Forces, yang antinekolim,
imperialisme-kapitalisme. Peluang ini dimanfaatkan PKI atau kelompok kiri.
Mereka pun mempersiapkan dan melatih Pemuda Rakyat di Lubang Buaya dengan
dalih mendukung Dwikora: Malaysia. Jargon "Ganyang Malaysia" yang banyak
disuarakan saat itu, rupanya menjadi kedok bagi PKI untuk melakukan aksi
terhadap rezim berkuasa.

"Saya secara pribadi menangkap isyarat-isyaratnya. Kurang lebih seminggu
sebelum peristiwa itu, saya bersama Pak Kasimo, Duriat dan Cosmas Batubara
membicarakan hal ini dengan Menko Polkam Pak Nasution, juga dengan Pak
Jusuf, Menteri Perdagangan. Jadi kalaupun tragedi itu terjadi bukan karena
kita tidak tahu, tapi karena kita lengah. Kita tahu bakal ada sesuatu yang
terjadi, tapi tidak tahu kapan itu terjadi," katanya.

Walau demikian, Harry tidak setuju terhadap pembantaian terhadap anggota
atau masyarakat yang dituduh PKI pasca-G30S, terutama yang terjadi di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, di Jawa Barat, di bawah Pangdam
Siliwangi Ibrahim Adji, penataan pasca G30S bisa dibilang tanpa menimbulkan
korban jiwa. PKI pun bubar.

Bandung memerah

Selaku salah satu saksi dan pelaku sejarah saat itu A. Mansur Suryanegara
mengungkapkan Bandung sempat diwarnai warna merah menjelang peringatan 10
tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1965. Bendera merah yang
bertuliskan Nasakom memerahkan Bandung saat itu, bahkan bendera tersebut
lebih menunjukkan komunis dengan menuliskan nasaKOM.

Situasi seperti itu mendorong Mansur menghimpun kekuatan dan memimpin
Gerakan Anti-Nasakom di Bandung. Setelah menjadi Sekretaris Umum Kesatuan
Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), ia ikut pertempuran malam di Tugu
Selamat Datang agar proses penghancuran komunis lebih cepat.

Kendati demikian, ia mempertanyakan apakah peristiwa G30S betul-betul murni
terjadi karena benturan kepentingan Angkatan Darat dengan komunis. Yang
pasti, kata Mansyur, sebelum terjadi peristiwa G30S, Presiden Soekarno
sempat berniat membubarkan HMI. Oleh karena itu, ia bersama rekan-rekannya,
termasuk Amien Rais, menggagas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai
suatu wadah tempat "hijrah" para mahasiswa jika Presiden Soekarno jadi
membubarkan HMI.

Mansur setuju di antara Soekarno dan Soeharto tidak pernah terjadi perbedaan
pendapat. Soekarno juga bukan seorang komunis. Setelah terjadi G30S, Bung
Karno ikut membalikkan komunis. Akan tetapi, ia melakukannya tidak secara
langsung.

"Filsafat Jawanya membuat dia menyerahkan hal itu kepada Soeharto.
Soehartolah yang diberi Supersemar, suatu bahasa politik untuk Indonesia dan
dunia internasional bahwa Soekarno tidak pernah membubarkan komunis
melainkan Soeharto," tuturnya.

Mengenai sosok Soeharto, Mansur menilai mantan presiden tersebut sebagai
tokoh pembalik sejarah tahun 1966. Jiwa juang Soeharto adalah memberantas
komunis. Bahkan ia dipandang sebagai penghancur komunisme yang paling besar
di dunia.

Menurut Mansur sekarang ini ada kesan tidak relevan lagi menilai Soeharto
sebagai pahlawan karena anak-anaknya tidak benar. "Tidak bisa orang
memenggal sejarah, pembaharu tidak mungkin memenggal sejarah. Soekarno
menyebut diri pemimpin besar revolusi, pintar dengan filosofi kejawaan yang
sangat tinggi. Soekarno adalah sipil yang berbaju jenderal (tentara),
sebaliknya Soeharto adalah tentara yang berbaju sipil," katanya.

Masih banyak misteri

Sejarawan LIPI Dr. Asvi Warman Adam menilai meski sudah lama berlalu, G30S
1965 masih menyimpan banyak misteri karena semasa pemerintahan Soeharto
nyaris tidak ada riset baru di dalam negeri mengenai peristiwa itu, kecuali
yang mendukung versi pemerintah.

Menurut Asvi G30S bukan semata gerakan yang berlangsung dalam satu hari,
melainkan sebuah trilogi yang saling terkait, yaitu peristiwa G30S sendiri,
lalu pembantaian pascagerakan terhadap orang-orang kiri secara tidak
manusiawi pada tahun 1965-1966, dan penahanan ribuan orang di pulau Buru.
"Jadi jangan berhenti pada kejadian tahun 1965 saja," ujarnya.

Asvi menolak pula istilah Gestapu yang dilansir Noegroho Notosoesanto (alm.)
atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) versi Soekarno. Gestapu mengambil istilah
dari Gestapo pada zaman Hitler. "Saya juga tidak setuju pencantuman PKI pada
G30S," tandasnya.

Saat ini terdapat sejumlah versi terhadap peristiwa 30 September 1965, yaitu
bahwa itu dilakukan para elite PKI, versi bahwa Soekarno juga terlibat,
keterlibatan intelijen Amerika Serikat CIA, keterlibatan intelijen Inggris
dan Australia, dan terakhir bahwa gerakan itu dilakukan Soeharto sendiri.

Dia juga menilai tidak ada informasi baru dari dokumen CIA berkaitan
peristiwa G30S yang dibuka tahun lalu karena telah berusia di atas 25 tahun.
Terlebih lagi masih ada bagian-bagian dokumen yang ditutup tinta hitam.
Penghitaman tersebut dengan alasan terkait dengan warga AS yang masih hidup.

Hal yang baru adalah G30S tidak semata peristiwa yang berlangsung dalam satu
hari, tetapi ada dampak sosial hingga sekarang. Peristiwa pada 1965 tersebut
berbuntut pada pembantaian yang berlangsung hingga 1966, bahkan di Blitar
(Jatim) pada 1968 masih ada Operasi Trisula yang menimbulkan korban jiwa.
"Pembantaian itu harus diungkap dengan jelas. Ada operasi militer yang
kebablasan," katanya.

Yang patut dicatat, peristiwa pembantaian pasca-G30S itu tidak hanya terjadi
pada anggota PKI. Bisa saja akibat dendam pribadi dan agar tidak dicap
komunis. Oleh karena itu, sebagian ikut membunuh orang yang bukan komunis.
Diakuinya, sedikit buku-buku yang mengungkap pembantaian pasca-G30S.

Ia juga mempersoalkan proses penahanan ribuan tahanan politik di Pulau Buru.
"Bayangkan, di Pulau Buru itu orang dicabut hak miliknya, tidak ada besuk,
dicabut masa depannya dan mereka tidak memiliki kepastian kapan akan
dibebaskan," ujarnya.

Pulau Buru adalah penjara terbesar dalam sejarah Indonesia. Berdasarkan data
tahun 1991, jumlah penjara di Indonesia 35 buah, jumlah penghuni mencapai 29
ribu jiwa. Dari total itu sebanyak 10 ribu orang menghuni Pulau Buru atau
sekira 1/3-nya. "Bayangkan berapa banyak penjara di sana," kata Asvi yang
mengaku banyak orang menilai tulisannya mengenai G30S terlalu kekiri-kirian.

Dia tidak menutup mata, peristiwa G30S telah menimbulkan trauma bagi
putra-putri dan keluarga pahlawan revolusi yang menjadi korban. Menurut
Asvi, Nani Sutojo, anak kedua jenderal Sutojo menyebut, penderitaan tidak
bisa dipertukarkan. Asvi menilai penulisan buku oleh anak-anak pahlawan
revolusi yang berjudul Kunang-kunang di Langit Malam merupakan salah satu
upaya untuk melepaskan tekanan yang mereka alami selama ini.

Buku itu juga menolak dua aspek yang diputarbalikkan oleh pelaku, Misalnya,
mereka menyatakan wajah korban saat itu bersih. Tidak ada mutilasi atau
penyiletan seperti yang ditulis media saat itu. Lantas aspek kedua yang
ditolak adalah memoar Saelan yang mengaku menemukan sumur tempat para korban
dibuang. Sayangnya, buku tersebut kurang menampilkan bagaimana keluarga
korban menjalani kehidupan pascaperistiwa tersebut. Di sisi lain ada buku
yang ditulis dr. Ciptaning yang berjudul Aku Bangga Menjadi Anak PKI.

Dia dapat memahami trauma yang dialami keluarga para pahlawan revolusi yang
menjadi korban G30S. Akan tetapi, trauma dan penderitaan lebih besar justru
dialami keluarga korban pembantaian pasca-G30S, baik pelaku G30S, anggota
PKI maupun orang-orang yang dicap sebagai PKI. "Trauma ini harus dibuka
lebar-lebar supaya tidak ada dendam sejarah," katanya.

Menurut Asvi memang diperlukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
sebagai salah satu pintu untuk menyelesaikan masalah tersebut, meski
diakuinya di berbagai negara tidak bisa selesai mutlak melalui komisi
semacam itu. Akan tetapi, ini merupakan upaya mencoba berdamai dengan
sejarah di tingkat nasional. KKR saat ini prosesnya sudah di Departemen
Kehakiman dan HAM. Diyakini, ini tidak akan tuntas, tetapi paling tidak
hal-hal yang tertutup itu dapat diungkapkan melalui pengalaman-pengalaman.

Pelurusan sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G30S, perlu dilakukan,
bahkan amat perlu. Oleh karena itu, keberadaan KKR sangat penting, terlepas
dari apapun hasilnya nanti. "Sebagai sejarawan, kita harus di tengah-tengah,
meneliti apa yang bagus dan apa yang kurang bagus, dijelaskan apa adanya."

Buku putih

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, Dr. Hj. Nina Herlina
Lubis, M.S., sependapat, lembaran sejarah nasional, khususnya mengenai
peristiwa seputar G30S perlu ditulis ulang. Penulisan kembali (rewriting),
khususnya untuk mengoreksi, meluruskan dan reinterpretasi berkaitan dengan
data baru mengenai G30S.

"Pada 30 Oktober tahun lalu, para sejarawan dari berbagai provinsi berkumpul
di Bogor. Mereka sepakat akan menulis sejarah Indonesia yang baru," katanya.

Menurut Nina, sekarang ini banyak kajian baru dari dalam dan luar negeri
yang mengungkap data baru mengenai peristiwa G30S. Pada 30 September 2002
juga akan diluncurkan buku berjudul Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam.
Buku ini kumpulan tulisan putra-putri dan keluarga pahlawan revolusi korban
G30S, tentang apa saja yang dialami dan disaksikan mereka pada 1 Oktober
1965. Dia juga mengaku, sempat dihubungi putra D.N. Aidit yang kini berada
di Kanada. Putra Ketua PKI tersebut sempat berkuliah di Pertambangan ITB
angkatan 1973.

Dalam waktu dekat, Masyarakat Sejarawan Indonesia akan mengeluarkan buku
putih yang berisi enam peristiwa yang harus diluruskan pada periode Orba.
Keenam peristiwa yang sudah dibuat draftnya adalah: Hari Lahir Pancasila 1
Juni, Serangan Umum 1 Maret, G30S, Supersemar, Peristiwa Timor Timur dan
Lahirnya Orde Baru.

"Soal Supersemar, saksi yang masih hidup masih ada. Ada Harry Tjan, Jenderal
Yusuf, dan Soeharto sendiri. Tapi siapa yang bisa membuka mulut kedua nama
terakhir. Dalam sejarah, kolaborasi harus dilakukan tidak hanya satu sumber.
Setelah Harry bicara, maka perlu juga ditanya Soeharto yang berusaha
menutupi itu, dan tanya juga Yusuf yang berusaha menghindar," paparnya.
Mengenai peristiwa G30S, kata Nina, sekarang ini paling tidak ada empat
versi dalang yang berada di belakangnya. Orang mengatakan dalang yang
pertama adalah PKI. Dalang kedua, Soeharto. Dalang ketiga Soekarno sendiri.
Dalang keempat AS dan Inggris. "Empat kelompok pendapat ini ada
kajian-kajiannya masing-masing," tutur Nina.

Dengan adanya data dan visi baru, lanjutnya, maka reinterpretasi harus
dilakukan, dan rewriting tentang G30S menjadi wajib sifatnya, agar
masyarakat mendapat informasi sejarah yang mendekati kebenaran.

Menurut dia, para sejarawan yang saat ini bisa menemukan kebebasan
akademisnya kembali memang dituntut untuk bisa menggali sumber-sumber
sejarah baru agar bisa melakukan reinterpretasi dan rewriting peristiwa
tersebut.

Sumber yang digali bukan saja sumber resmi pemerintah, tapi juga berbagai
pihak, termasuk keluarga atau keturunan anggota PKI yang selama ini merasa
menjadi korban ketidakadilan akibat adanya cap tidak bersih lingkungan.
Sehingga mereka sulit mendapat pekerjaan atau aktivitas sosial lainnya.
Tentu saja semua sumber itu harus diperlakukan sama, yaitu dengan
memperhatikan metode kritis dalam sejarah. "Sebagai sejarawan, kita harus
objektif dan menjauhkan sikap empati, kesedihan. Jangan memberikan value
judgement. Analisis harus dilakukan secara kritis, karena para putra korban
masih kecil saat peristiwa terjadi

sukarno kayanya antek kgb loh? may be yes or no

Dari laporan SK Sinar Harapan yang dikirimkan Arif Harsana tentang pemutaran film "Shadow
Play" ini, menurut saya, sementara ini tapi, adalah bagus untuk membongkar pemutarbalikan atau pemalsuan sejarah yang dilakukan oleh beberapa fihak selama ini, yaitu antara lain fihak pemerintah
rezim Orde Baru, AS dan Inggeris. Betapa selama ini kita telah diberikan
"knowledge" yang salah, akibatnya kita pun selama ini berada di posisi yang
salah pula. Begitu hebatnya yang berenama "knowledge" itu, bukan?

Karena saya belum menyaksikan film itu, maka timbullah beberapa pertanyaan,
yang mungkin hanya bisa dijawab setelah saya menonton film itu. Sepengetahuan saya di AS saya belum pernah mendengar film ini diputar. Atau pun ada yang menulis tentang film ini. Tentulah, pengetahuan saya ini pun terbatas sekali, artinya janganlah lalu diartikan bahwa apa yang tidak saya ketahui ini, yaitu pemutaran film itu di AS, adalah kenyataan. Bisa jqadi ada pemutaran film itu, tetapi saya tidak tahu. Boleh jadi ada tulisan di media massa tentang pemutaran film itu di AS, tetapi
saya tidak sempat membacanya. (Jadi, tolong dikoreksi, di mana film itu diputar, media mana yang memuat pembahasannya, di AS?)

Jangan lupa, zaman itu adalah zaman Perang Dingin, semua fihak yang bermusuhan ikut bermain aktif: CIA/AS dan kawan-kawannya, KGB/Uni Soviet dkk, termasuk juga RRC meskipun ada konflik ideologis dengan Unie Soviet. Dan tentu saja Bung Karno dan kabinetnya ikut dalam percaturan seputar Perisitwa G30S itu.

Ada tiga hal penting yang tidak saya dapatkan dalam laporan Sinar Harapan kiriman Arif Harsana itu, yakni:
(1) Peranan KGB/Uni Soviet,
(2) Peranan Bung Karno dengan politik Dalam Negeri-nya yang menurut kesaksian saya adalah memberikan sumbangan yang melahirkan konflik besar yang membawa korban besar itu.
(3) Last but not least adalah Peranan RRC.


(1) PERANAN KGB: Jendral Agayants.

Apa yang diungkapkan dalam buku "The Deception Game" oleh Ladislav
Bittman tentang peranan KGB dalam masa Perang Dingin itu, termasuk juga
peranannya di Indonesia, apakah hal ini diungkapkan dalam film "Shadow Play"
itu? Bagian yang berjudul "Indonesian Boomerang" dalam buku itu dengan jelas-jelas
menunjukkan peran langsung KGB di Indonesia, yakni dengan dikirimnya seorang jendral KGB bernama Jenderal Agayants oleh Uni Soviet ke Jakarta untuk melakukan operasinya. Yang dipakai oleh Jenderal Agayants adalah Dinas Rahasia Chekoslowakia, untuk melakukan dis-informasi, yaitu
dengan membuat dokumen palsu yang dikatakan ditulis oleh Dutabesar Inggeris
kepada Dubes AS. Dokumen ini dikirimkan kepada Subandrio secara dan rahasia dan dipercaya oleh Subandrio bahwa itu bukan palsu. Dalam dokumen palsu (kertasnya aseli, tetapi isinya ditulis
oleh KGB) inilah diungkapkan adanya kalangan militer Indonesia ("our local army friends) yang siap
untuk bekerjasama dengan fihak Barat untuk melakukan kup menjatuhkan
Bung Karno. TNI-lah yang dituding oleh Ketua CC PKI DN Aidit dan
Subandrio, yang kemudian kelompok jenderal TNI inilah yang disebut sebagai Dewan
jenderal yang dipimpin oleh Jenderal A. Yani. Bung Karno percaya akan hal ini, maka disusunlah rencana penangkapan (bukan pembunuhan) atas sejumlah jenderal dalam rapat di Tampaksiring (Bali) dipimpin oleh Bung Karno sendiri. Penangkapan itu maksudnya untuk kemudian mengadili jenderal-jenderal itu Halim Perdana Kusumah. Semua jenderal yang dibawa ke Lobang Buaya itu adalah jenderal yang diperkirakan siap melakukan kup seperti yang ditulis dalam dokumen palsu buatan kelompok dis-informasi pimpinan KGB, yaitu Jendral Agayants. Jadi, kalau tidak ada dokumen palsu itu, maka pastilah tidak akan ada rencana penangkapan atas sejumlah jenderal kita itu, yang ternyata bukan hanya ditangkap melainkan dibantai dan jebloskan semuanya ke dalam sebuah lobang sumur tua yang diurug dan ditanami satu pohon pidang di atasnya.

Nyatanya, pembantaian atas jenderal-jenderal di Lobang Buaya itulah yang
menyebabkan peristiwa berdarah di negeri kita itu berawal mula, bukan?Jadi, permainan
dis-informasi KGB yang dilakukan oleh Jenderal Agayant itulah yang mendorong lahirnya Gerakan 30 September itu.

Nah, apakah peranan Uni Soviet dengan menggunakan agen Chekoslowakia ini ada
diungkapkan lewat film "Shadow Play" itu?


(2) PERANAN BUNG KARNO: Jor-joran Manipolis & Politik DN

Bahwa CIA berminat besar untuk menjatuhkan Bung Karno dan rezim Orlanya, itu
tidak perlu diragukan. Bukankah memang dalam kenyataannya Bung Karno
cenderung memihak kepada musuh AS yaitu fihak UniSoviet dan RRC pada masa
Perang Dingin itu berlangsung? Bagi mereka yang hidup dan m,engalami di zaman Orla yang hiruk piruk dengan kata "Revolusi" itu, seperti saya sendiri, memang menyaksikan hal itu benar adanya, bahkan saya yang termasuk berpendapat bahwa Bung Karno memang berada di fihak Uni Soviet dan RRC, bahkan lebih dari itu GNB pun telah digiringnya ke arah posisi itu, artinya GNB telah bergabung dengan kubu Uni Soviet dan RRC.

Maka, persepsi di kalangan yang anti-komunis ketika itu adalah mereka telah melihat Bung Karno sedang membawa Indonesia ke arah kemenangan PKI. Jadi, kalau Bung Karno menekankan agar jangan Komunisto-phobi, dan bersatulah dalam Nasakom, sambil menganjurkan "Jor-joran Manipolis" ketika itu, di mata mereka yang non-Komunis hal itu semua adalah bertujuan untuk menjagokan PKI saja agar bisa menguasai Indonesia. Artinya, kalangan anti-PKI secara diam-diam justeru makin mengeras sikap antinya (baca: phobynya), sehingga persatuan Nasakom itu hanyalah berlangsung di tingkat bibir saja. Dengan kata lain, perpecahan lah yang sebenarnya sedang berlangsung di kalangan rakyat sipil dan juga di kalangan birokrat sipil dan militer serta polisi kita, yakni antara yang pro-PKI dan yang anti-PKI. Konflik ini tampak mencuat ke permukaan di daerah-daerah dalam bentuk bentrokan fisik. Termasuk yang saya saksikan sendiri di Bali. Uniknya yang di Bali bentrok itu bukanlah antara kelompok politik agama (Islam) yang anti-PKI dengan PKI, melainkan antara kelompok PNI dengan PKI. Kelompok politik Islam di Bali boleh dikata tidak ada artinya, karena mayoritas penduduk pulau itu adalah Hindu Bali.

Jadi, politik Dalam Negeri Bung Karno yang berdasarkan Manipfesto Politiknya itu juga berperan besar melahirkan G30S dan juga memberikan sumbangan atas keganasan yang dilakukan rakyat dan militer dalam menumpas PKI yang memakan korban besar terutama di Bali, Jawa Timur dan Jawa tengah itu.

Apakah peranan Bung Karno ini ditampilkan di dalam film "Shadow Play" ini?


(3) PERANAN RRC: Senjata untuk Angkatan Ke-Lima

Kalau mau lengkap lagi, ada satu lagi yang perlu diungkapkan: Peranan RRC! Bukankah RRC telah mengirimkan senjata untuk mempersenjatai "Angkatan Ke-Lima" yang terdiri dari rakyat yang militan revolusioner seperti para anggota Pemuda Rakyat yang menjadi onderbow PKI? Saya tidak cukup punya pengetahuan dalam soal ini. Ada yang punya? Silahkan diungkapkan! Sebab, Peranan RRC ini dalam percaturan politik dalam negeri kita yang berujung dengan G30S dan pembantaian atas anggota PKI di tahun 1965 itu juga ada!

Apakah peranan RRC juga ada diungkapkan dalam film "Shadow Play" itu?

Jadi, kalau Peranan KGB, Peranan Bung Karno dan Peranan RRC ini tidak ada di dalam film "Shadow Play" itu, maka itu berarti film tersebut baru mengungkapkan seperempat kenyataan saja, sedangkan yang tigaperempatnya lagi belum lagi. Maka saya punh teringat kepada sebuah kata-kata mutiara yang kira-kira berbunyi: "Setengah kebenaran jauh lebih buruk dari kebohongan!" Jadi, nilanya akan sama dengan propaganda sefihak, seperti yang dilakukan oleh pemerintah IOrde Baru, AS dan Inggeris jugalah --- tak ada bedanya!

Tapi, mudah-mudahan ketiga hal penting yang saya ungkapkan di atas ada di dalam film "Shadow Play" itu. Kalau benar ada, maka sempurnalah film ini menyampaikan kebenaran 100% dan bukan hanya 25% saja, bukan?

Marilah kita saksikan, apakah kita menonton 25% kenyataan atau 100% kenyataan!


Ikra
===

----- Original Message -----
From:
To: Forum Indonesia ;

Cc: Gogol ; ;

Sent: Thursday, October 02, 2003 7:09 AM
Subject: [LISI] Kisah Lain ttg. Gestapu

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/01/sh05.html

Kisah Lain di Balik Tragedi Gestapu

JAKARTA - "Tidak, tidak ada satu pun yang senang mendengar laporan saya,"
ujar Dr Arif Budiarto. Nada bicaranya begitu enteng tapi terkesan agak
sinis, seolah sedang mengejek lawan bicaranya. Gurat kekecewaan, jelas
terpancar di wajahnya. Karena memang, menurut dokter forensik ini, semua
fakta hasil temuannya dibuat terbalik.
Di dalam isi laporannya, pemotongan alat vital dan pencungkilan bola mata
ketujuh Jenderal Angkatan Darat pada peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S)
1965 itu tidak ada sama sekali. G-30-S sering juga disingkat Gestapu. Sangat
jauh berbeda dengan yang dilansir, baik oleh semua surat kabar yang beredar
di tahun 1965, maupun di dalam berpuluh-puluh edisi buku sejarah kebangsaan
RI seputar drama keji Gestapu yang kita pelajari bertahun-tahun. Termasuk,
oleh film "Pengkhianatan G 30 S/PKI" keluaran Pusat Produksi Film Negara
(PPFN) yang disulap menjadi "alat propaganda" pemerintahan Orde Baru dalam
merangkai sejarah bangsa ini.
Petikan wawancara dengan Dr Arif Budianto itu sendiri merupakan secuplik
adegan di film Shadow Play. Tak lain, film dokumenter produksi Hilton
Cordel/Vagabons Film 2001 yang menuturkan kisah lain seputar tragedi Gestapu
1965. Dan bukan tidak mungkin, satu dari sekian banyak cuplikannya, entah
peristiwa, keterangan, atau pun wawancara dengan saksi hidup lainnya di film
ini, bisa "berbicara banyak" dalam menyingkap tabir sesungguhnya di balik
peristiwa Gestapu tersebut.

Mencoba Objektif
Berdurasi sekitar 76 menit, Shadow Play mencoba untuk lebih objektif
mengemukakan peristiwa tahun 1965, baik dari perspektif sejarah maupun para
korban pasca peristiwa Gestapu itu. Cerita dimulai dari penggambaran masa
perang dingin antara blok Barat dan blok Timur yang memuncak di pertengahan
tahun 1960-an. Sayangnya, dan tentu saja, kebijakan Non Blok yang diterapkan
presiden Soekarno-yang saat itu sedang menjalin hubungan baik dengan Moskow
dan Peking, malah membuat Amerika dan sekutunya di blok Barat memberikan
penilaian, bahwa Indonesia terlalu "dekat" dengan pihak musuh, yakni blok
Timur. Dus, tak bisa tidak, pemerintahan Soekarno dianggap membahayakan, dan
harus segera dijatuhkan.
Sebetulnya, penilaian barat, terutama Amerika Serikat, itulah yang bisa
diangkat sebagai titik tolak terjadinya peristiwa Gestapu. Karena, betapa
Shadow Play ini lugas berkisah soal keterlibatan Amerika Serikat dan
Inggris, atau lebih tepatnya melalui Central Inteligent of America (CIA) itu
di dalam kancah politik saat itu. Menyusul peristiwa pembunuhan
jenderal-jenderal senior di TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Kiranya, tak hanya itu saja bahasan penting yang menjadi benang merah untuk
dicermati seputar tragedi terbesar dunia politik dan sejarah Indonesia itu.
Karena, kekejaman kemanusiaan sesungguhnya yang terjadi pada pasca peristiwa
itulah yang dikuatkan di film ini. Yakni, bagaimana jutaan orang-orang PKI
dan rakyat yang tak terbukti anggota PKI pun diasingkan, atau dibunuh dan
dikubur layaknya binatang. Jawa Tengah yang disebut-sebut sebagai basis PKI,
Bali, Jawa Timur dan daerah-daerah lainnya seakan berubah menjadi kuburan
massal massa PKI dan rakyat tak berdosa. Sarwo Edhi Wibowo, yang kala itu
sebagai perwira paling aktif memimpin penangkapan, menyatakan ada sekitar
tiga juta rakyat telah dibunuh.
Lalu, bagaimana keterikatan kalangan pers sendiri dalam menyingkapi detik
per detik peristiwa ini? Bisa disimak, baik pers asing yang ada di tanah
itu, maupun pers kita sendiri saat itu menjadi silap mata, hingga
menyembunyikan tragedi ini sedemikian rupa. Untuk hal satu ini, Shadow Play
menampilkan wawancara dengan beberapa nara sumber dari BBC dan radio
Australia, dan bahkan pemimpin propaganda dari Inggris yang telak-telak
berbincang ihwal pemutarbalikan fakta yang terjadi saat itu.

Ditayangkan Terbatas
Konon, film arahan sutradara Chris Hilton yang diproduseri oleh Walter
Slamer dan seorang pria Indonesia, Lexy Rambadeta, ini sudah ditayangkan di
Eropa, Amerika Serikat, dan Australia sejak 2001 hingga saat ini.

Di Indonesia sendiri Shadow Play baru akan diputar pada awal Oktober ini,
(6-7 Oktober) di Goethehaus, Menteng, Jakarta Pusat. Namun, penayangannya
masih terfokus untuk kalangan pelajar SMU dan anak-anak muda Jakarta.
Rencananya, Off Stream Productions sebagai pemegang hak edarnya di
Indonesia, baru akan menayangkannya daerah-daerah sekitar bulan Desember.
Cukup fenomenal, tentu saja. Tapi amat disayangkan, belum terlihat
tanda-tanda film ini akan ditayangkan secara utuh di televisi kita. Utuh,
seperti film "Pengkhianatan G 30 S/PKI yang setiap tanggal 30 Sepetember
selalu muncul di layar kaca itu. Nah, akankah Shadow Play ini bisa
"membungkam" sejarah 1965 seperti di film keluaran Pusat Produksi Film
Negara (PPFN) itu, yang bias tetapi nyata-nyata ada selama puluhan tahun?

suharto my idoll and my teladan

Keterlibatan AS dalam kupdeta militer yang merangkap di tahun 1965 di Indonesia sudah banyak ditulis. Bung Karno (BK) yang mempunyai visi jauh kedepan sudah menetapkan bahwa Indonesia adalah non blok, mandiri (berdikari), dan tidak mau tergantung pada utang luar negeri (“Go to hell with your aids!”). Sayang sekali, Soeharto dkk. melakukan konspirasi dengan USA (via CIA) menusuk bangsanya sendiri. Negara-negara sahabat Bung Karno, sperti RRC dan India, yang mempunyai prinsip serupa dengan BK dan tidak mempunyai pengkianat negara semacam Soeharto Cs., saat ini sudah menjadi bangsa yang sehat, normal, bahkan adidaya! Presiden SBY baru-baru ini terpaksa mengulangi langkah BK lagi dengan mengunjungi RRC dan India.

Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang juga ada film dokumenternya, dengan judul The New Rulers of the World, antara lain, dikatakan: “Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar”.

Ini terkenal dengan istilah nation building dan good governance oleh "empat serangkai" yang mendominasi World Trade Organisation (Amerika Serikat, Eropa, Canada, dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF, dan Departemen Keuangan AS). Mereka mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar USD 100 juta per hari kepada para kreditor Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia yang elitenya -dengan jumlah lebih sedikit dari satu miliar orang- menguasai 80 persen kekayaan seluruh umat manusia."

Itu ditulis oleh John Pilger, seorang wartawan Australia yang bermukim di London, yang tidak saya kenal. Antara John Pilger dan saya, tidak pernah ada komunikasi. Namun, ada beberapa kata yang saya rasakan berlaku untuk bangsa Indonesia dan yang relevan dengan yang baru saya kemukakan. Kalimat John Pilger itu begini: "Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countres..." dan seterusnya. Dalam hal Indonesia, keuangan negara sudah bangkrut pada 1967. Paling tidak, demikianlah yang digambarkan oleh para teknokrat ekonom Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk memegang tampuk pimpinan dalam bidang perekonomian. Maka, dalam buku John Pilger tersebut, antara lain, juga dikemukakan sebagai berikut:

(Saya kutip halaman 37) "Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ’hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut "ekonoom-ekonoom Indonesia yang top".

"Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ’the Berkeley Mafia’ (kebanyakan dosen UI), karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, mereka menawarkan : … buruh murah yang melimpah… cadangan besar dari sumber daya alam … pasar yang besar." Di halaman 39 ditulis: "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ’Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffry Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson, telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ’Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini, dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia.

Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.” Sekali lagi, semuanya itu tadi kalimat-kalimatnya John Pilger yang tidak saya kenal.

Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson, dan Jeffry Winters, sejak 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elite bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa.

Sejak itu, Indonesia dikepung oleh kekuatan Barat yang terorganisasi dengan sangat rapi. Instrumen utamanya adalah pemberian utang terus-menerus sehingga utang luar negeri semakin lama semakin besar. Dengan sendirinya, beban pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya semakin lama semakin berat. Kita menjadi semakin tergantung pada utang luar negeri. Ketergantungan inilah yang dijadikan leverage atau kekuatan untuk mendikte semua kebijakan pemerintah Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi dan keuangan, tetapi jauh lebih luas dari itu. Utang luar negeri kepada Indonesia diberikan secara sistematis, berkesinambungan, dan terorganisasi secara sangat rapi dengan sikap yang keras serta persyaratan-persyaratan yang berat. Sebagai negara pemberi utang, mereka tidak sendiri-sendiri, tetapi menyatukan diri dalam organisasi yang disebut CGI.

Negara-negara yang sama sebagai pemberi penundaan pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya yang jatuh tempo menyatukan diri dalam organisasi yang bernama Paris Club. Pemerintah Indonesia ditekan oleh semua kreditor yang memberikan pinjaman kepada swasta Indonesia supaya pemerintah menekan para kreditor swasta itu membayar tepat waktu dalam satu klub lagi yang bernama London Club. Secara kolektif, tanpa dapat dikenali negara per negara, utang diberikan oleh lembaga multilateral yang bernama Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia. Pengatur dan pemimpin kesemuanya itu adalah IMF. Jadi, kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan kartel internasional yang sudah berhasil membuat Indonesia sebagai pengutang yang terseok-seok.

Sejak itu, utang diberikan terus sampai hari ini. Dalam krisis di tahun 1997, Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya untuk memperoleh bantuan. Ternyata, ada aturan ketat untuk bantuan itu. Bantuan uang tidak ada, hanya dapat dipakai dengan persyaratan yang dibuat demikian rupa, sehingga praktis tidak akan pernah terpakai. Dengan dipegangnya pinjaman dari IMF sebagai show case, IMF mendikte kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia, yang dengan segala senang hati dipenuhi oleh para menteri ekonomi Indonesia, karena mereka orang-orang pilihan yang dijadikan kroni dan kompradornya.

Maka, dalam ikatan EFF itulah, pemerintah dipaksa menerbitan surat utang dalam jumlah Rp 430 triliun untuk mem-bail out para pemilik bank yang menggelapkan uang masyarakat yang dipercayakan pada bank-bank mereka. Mereka tidak dihukum, sebaliknya justru dibuatkan perjanjian perdata bernama MSAA yang harus dapat meniadakan pelanggaran pidana menurut undang-undang perbankan. Dalam perjanjian perdata itu, asalkan penggelap uang rakyat yang diganti oleh pemerintah itu dapat mengembalikan dalam bentuk aset yang nilainya sekitar 15 persen, dianggap masalahnya sudah selesai, diberikan release and discharge.

Lima tahun lamanya, yaitu untuk tahun 1999 sampai dengan tahun 2003, pembayaran utang luar negeri yang sudah jatuh tempo ditunda. Namun, mulai tahun 2004, utang yang jatuh tempo beserta bunganya harus dibayar sepenuhnya. Pertimbangannya tidak karena keuangan negara sudah lebih kuat, tetapi karena sudah tidak lagi menjalankan program IMF dalam bentuk yang paling keras dan ketat, yaitu EFF atau LoI.

Setelah keuangan negara dibuat bangkrut, Indonesia diberi pinjaman yang tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisanya sendiri habis total. Pinjaman diberikan setiap pemerintah menyelesaikan program yang didiktekan oleh IMF dalam bentuk LoI demi LoI. Kalau setiap pelaksanaan LoI dinilai baik, pinjaman sebesar rata-rata USD 400 juta diberikan. Pinjaman ini menumpuk sampai jumlah USD 9 miliar, tiga kali lipat melampaui kuota Indonesia sebesar USD 3 miliar. Karena saldo pinjaman dari IMF melampaui kuota, Indonesia dikenai program pemandoran yang dinamakan Post Program Monitoring.

Mengapa Indonesia tidak mengembalikan saja yang USD 6 miliar supaya saldo menjadi USD 3 miliar sesuai kuota agar terlepas dari post program monitoring. Berkali-kali saya mengusulkan dalam sidang kabinet agar seluruh saldo utang sebesar USD 9 miliar dikembalikan. Alasannya, kita harus membayar, sedangkan uang ini tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisa milik sendiri habis total. Cadangan devisa kita ketika itu sudah mencapai USD 25 miliar, sedangkan selama Orde Baru hanya sekitar USD 14 miliar. Yang USD 9 miliar itu harus dicicil sesuai jadwal yang ditentukan oleh IMF. Skemanya diatur sedemikian rupa sehingga pada akhir 2007 saldonya tinggal USD 3 miliar. Ketika itulah, baru program pemandoran dilepas. Alasannya kalau yang USD 9 miliar dibayarkan sekarang, cadangan devisa kita akan merosot dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar. Saya mengatakan, kalau yang USD 9 miliar dibayarkan, cadangan devisa kita meningkat dari USD 14 miliar menjadi USD 25 miliar. Toh pendapat saya dianggap angin lalu sampai hari ini.

Mari sekarang kita bayangkan, seandainya cadangan devisa kita habis pada akhir 2007. Ketika itu, utang dari IMF tinggal USD 3 miliar sesuai kuota. Barulah ketika itu utang dari IMF boleh dipakai. Olehnya secara implisit dianggap bahwa ini lebih kredibel, yaitu mengumumkan bahwa cadangan devisa tinggal USD 3 miliar yang berasal dari utang IMF. Kalau seluruh utang yang USD 9 miliar dibayar kembali karena sudah mempunyai cadangan devisa sendiri sebesar USD 25 miliar dikatakan bahwa Indonesia tidak akan kredibel karena cadangan devisa merosot dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar.

Jelas sekali sangat tidak logisnya kita dipaksa untuk memegang utang dari IMF dengan pengenaan bunga yang tinggi, sekitar 4 persen setahun, tanpa boleh dipakai. Jelas sekali bahwa Indonesia dipaksa berutang yang jumlahnya melampaui kuota yang sama sekali tidak kita butuhkan. Tujuannya hanya supaya Indonesia dikenai pemandoran yang bernama post program monitoring. Jelas ini hanya mungkin dengan dukungan dan kerja sama dari kroni-kroninya Kartel IMF.

Mengapa kami dan teman-teman yang sepikiran dan sepaham dikalahkan terus-menerus? Mengapa pikiran yang tidak masuk akal seabsurd itu dipertahankan? Sebab, para menteri ekonomi yang ada dalam kabinet dan otoritas moneter sedikit pun tidak menanggapinya. Memberikan komentar pun tidak mau. Mengapa? Sebab, perang modern yang menggunakan seluruh sektor ekonomi sebagai senjata, terutama sektor moneternya, membutuhkan kroni atau komprador bangsa Indonesia sendiri yang mutlak mengabdi pada kepentingan agresor.

Kalau kita percaya pada Brad Sampson, Jeffrey Winters, dan John Pilger, dan kita perhatikan serta ikuti terus sikap satu kelompok tertentu, kiranya jelas bahwa kelompok pakar ekonomi yang dijuluki "the Berkeley Mafia" adalah kelompok kroni dalam bidang ekonomi dan keuangan. Lahirnya kelompok tersebut telah dikemukakan dalam studi Brad Sampson yang tadi saya kutip. Pengamatan saya sendiri juga membenarkan bahwa kelompok itu menempatkan dan memfungsikan diri sebagai kroni kekuatan asing.

Yang paling akhir menjadi kontroversi adalah sikap beberapa menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu terhadap uluran tangan spontan dari beberapa kepala pemerintahan beberapa negara Eropa penting berkenaan dengan bencana tsunami. Baru kemarin media massa penuh dengan komentar minor mengapa tim ekonomi pemerintah utang lagi dalam jumlah besar sehingga jumlah stok utang luar negeri keseluruhannya bertambah? Ini sangat bertentangan dengan yang dikatakan selama kampanye presiden dan juga dikatakan oleh para menteri ekonomi sendiri bahwa stok utang akan dikurangi. Berdasar pengalaman, saya yakin bahwa kartel IMF yang memaksa kita berutang dalam jumlah besar supaya dapat membayar utang yang jatuh tempo. Buat mereka, yang terpenting memperoleh pendapatan bunga dan mengendalikan Indonesia dengan menggunakan utang luar negeri yang sulit dibayar kembali.

Mafia Berkeley

Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Mereka mempunyai atau menciptakan keturunan-keturunan. Para pendirinya memang sudah sepuh, yaitu Prof Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli, J.B. Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh. Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.

Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa peduli siapa presidennya. Mereka mendesakkan diri dengan bantuan kekuatan agresor. Kalau kita ingat, sejak akhir era Orde Lama, Emil Salim sudah anggota penting dari KOTOE dan Widjojo Nitisastro sudah sekretaris Perdana Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya menjabat sebagai ketua Bappenas dan bermarkas di sana. Setelah itu, presiden berganti beberapa kali. Yang "kecolongan" tidak masuk ke dalam kabinet adalah ketika Gus Dur menjadi presiden. Namun, begitu mereka mengetahui, mereka tidak terima. Mereka mendesak supaya Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional. Seperti kita ketahui, ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani.

Mereka berhasil mempengaruhi atau "memaksa" Gus Dur bahwa mereka diperbolehkan hadir dalam setiap rapat koordinasi bidang ekuin. Tidak puas lagi, mereka berhasil membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang terdiri atas dua orang saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani. Dipaksakan bahwa mereka harus ikut mendampingi Menko Ekuin dan menteri keuangan dalam perundingan Paris Club pada 12 April 2000, walaupun mereka sama sekali di luar struktur dan sama sekali tidak dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa ekonomi akan porak-poranda di bawah kendali tim ekonomi yang ada. Padahal, kinerja tim ekonomi di tahun 2000 tidak jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.

Yang mengejutkan adalah Presiden Megawati yang mengangkat Boediono sebagai menteri keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian. Aliran pikir dan sikap Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan Berkeley Mafia, walaupun dia bukan anggotanya. Ada penjelasan tersendiri tentang hal ini. Presiden SBY sudah mengetahui semuanya. Toh tidak dapat menolak dimasukkannya ke dalam kabinet tokoh-tokoh Berkeley Mafia seperti Sri Mulyani, Jusuf Anwar, dan Mari Pangestu, seperti yang telah disinaylir oleh beberapa media massa.

Peranan UI dalam Konspirasi Destruktip

Setelah dr. Mahar Marjono sukses mengemban tugas Soeharto dalam “mempersingkat” hidup Bung Karno (meninggal pada usia sekitar 66 th.), maka Mahar Marjono diangkat menjadi Rektor UI. Dengan ini, maka konspirasi tiga serangkai: USA-Militer-UI mulai terjadi. Untuk menguasai SDM top Indonesia, maka dibentuklah mafia Berkeley (yang sipil, yang notabene para oknum akademisi UI) dan mafia West Point (yang militer, yang notabene para oknum petinggi TNI AD/Polisi). Sejarah dan pendidikan Indonesia mengalami kegelapan disaat Rektor UI dijabat oleh jendral TNI AD yaitu Nugroho Notosusanto. Hari lahir Pancasila diabaikan, sejarah nasional dijungkir balikan: nama2 jalan besar diseluruh kota besar di Indonesia harus memakai nama jendral AD (Yani, Tendean, dst), peran BK diminimalkan, peran militer di blow up, peran inteligensia/kecerdasan disempitkan, dan wawasan almamater (pembungkaman kampus) dilaksanakan. Para pelacur intelektual UI sungguh banyak, mereka ini telah ikut serta menenggelamkan Indonesia, sudah saatnya mereka mengalami hukuman sosial dengan membeberkan dosa-dosa terselubung mereka! Prof. Ismail Suni, Yusril, Jimmly Asidiqi, Miranda Gultom, Anwar Nasution, Nazarudin, dst., adalah termasuk para konspiran. Pada umumnya, mereka ditokohkan terlebih dahulu melalui televisi sebagai intelektual yang kritis (politik kambing putih); kemudian setelah beberapa bulan dan telah mempunyai reputasi nasional, maka mereka diselundupkan/disusupkan dan diangkat menjadi pejabat penting regim ORBA (dan bablasannya) dalam pemerintahan (eselon 1, 2, atau menteri). Konspirasi destruktip USA-Militer-UI yang berhasil menusuk Bung Karno dari belakang (kupdeta yang merangkak) menjadikan Indonesia hingga kini terjebak dalam berbagai krisis dan sulit kembali menjadi bangsa yang sehat sehat.

Dalam perkembangannya, Soeharto dan regim penerusnya tidak hanya menggunakan UI, melainkan juga memanfaatkan para pelacur intelektual dari: ITB, UGM dan IPB. Seperti diketahui, UI, ITB, IPB, dan UGM adalah institusi perguruan tinggi negeri (PTN) tertua dan terbesar di Indonesia. Jadi, mereka adalah pencetak para PNS (peg. Negeri sipil) terbanyak, tersenior dan terbesar di Indonesia, dan alumni mereka menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan; dari pegawai menengah (IIIA), eselon dua, eselon satu, dan menteri. Sayang sekali, masyarakat telah memahami adanya istilah korupsi berjamaah dan birokrasi keranjang sampah; ini ibarat mengatakan bahwa keempat PTN itu adalah produsen koruptor dan birokrat keranjang sampah terbesar didunia (ingat prestasi KKN kita selalu nomor satu atau tiga besar)! Melihat, memahami, dan mengalami sendiri berbagai krisis di Indonesia, sudah sepatutnya kalau kita tidak perlu mensyukuri kehadiran ITB, UI, UGM, dan IPB, mereka tidak membawa berkah dan rahmat ke masyarakat; atau justru sebaliknya, kita harus merasa prihatin atas moral hazard dan tingkat kecerdasan mereka, mereka yang dianggap kelompok terpandai di Indonesia ternyata tidak pernah bisa membawa Indonesia ke bangsa yang mandiri, sejahtera, adil, berwibawa, dan berkepribadian! Ternyata mereka, kalau diijinkan pembaca, boleh diibaratkan dan boleh disebut sekedar sampah masyarakat yang terhormat (sampah berdasi) dan sekedar alat politisi busuk atau alat negara asing dalam membodohi bangsanya sendiri!

Mari Mewaspadai Mass Media Terutama TV

Regim ORBA (dan bablasannya) menguasai hampir 75% mass media di Indonesia; maka mereka dengan mudah menyusupkan manusia2nya melalui politik “kambing putih”; dan sebaliknya melakukan character assasination/kambing hitam bagi musuh2 politiknya! Seringkali mereka cukup memberi gaji tambahan bulanan bagi para kuli tinta, tanpa harus mendirikan mass media corporation, sungguh jeli dan licik! Dengan menguasai mass media, maka mereka dapat membentuk mind set (pola pikir) bangsa Indonesia sesuai kehendak mereka.

Kambing Putih adalah strategi memberikan gelar yang hebat agar didengar masyarakat dan untuk mendongkrak dan menjadikan level nasional, contoh politik kambing putih adalah:
- Prof. Sumitro (besan Soeharto): digelari Begawan Ekonomi, padahal anak2nya terlibat maha kejahatan (Prabowo: pembantaian Cina Mei 98, dan Sudrajat J. dan Hasyim: kasus BLBI, dst), jadi mestinya begawan Durna (karena suka menipu Pendawa, muridnya sendiri!). Dijaman beliau, ekonomi kita mulai dijajah Barat!
- Marie Muhammad: digelari Mister Clean, padahal saat beliaulah terjadi kasus BLBI, jadi semestinya Mister berlepotan saja!
- Zainudin MZ: digelari Dai Sejuta Umat, padahal dai politik untuk menggaet suara pemilih! Semestinya digelari dai sejuta dollar, atas upahnya menipu umat Islam melalui politisi agama!
- Tanri Abeng: digelari Manajer Satu Milyar, padahal dipakai untuk menghisap BUMN! Semestinya manajer sejuta kasus, atas upahnya membuat BUMN menjadi sapi perah politisi, petinggi militer dan polri!
- Prof. Yuwono Sudarsono: penjaga setia dominasi Militer atas Sipil dan dwi fungsi ABRI, maka ia diselundupkan ke LEMHANAS (alat intelektual militer) dan saat ini menjabat MENHAN. Bagaimana para petinggi militer tidak pakar dalam politik kalau pekerjaan utamanya beralih ke politik (sehingga tugas utamanya terbengkelai, apalagi juga pelaku bisnis ilegal) yang menghasilkan account di bank menjadi ukuran XL (puluhan milyar rupiah), yang semestinya ukuran S (small) mengingat gaji pegawai negeri itu rendah sekali. Sementara itu, sipil, yang digaji rendah sehingga sulit fokus pada bidangnya, yang berusaha menguasai perpolitikan dengan baik dan etis selalu mereka ganggu dan gagalkan upayanya untuk mendominasi kancah perpolitikan nasional!
- Prof. Nazarudin Syamsudin dkk.: diselundupkan ke KPU untuk menjaga PEMILU agar regim ORBA selalu menang atau minimal termasuk tiga besar.
- Saat menjelang reformasi: Sri Mulyani dan Anwar Nasution (dosen UI) di “roketkan”, seolah-olah mereka kritis terhadap regim ORBA, padahal mereka diselundupkan demi mengamankan sisa hari Tua regim Soeharto/ORBA dari jamahan hukum dibidang Keuangan dan demi dominasi asing!
- Puncak politik kambing putih dan strategi penyelundupan adalah Amien Rais! Beliau digelari tokoh/pelopor reformasi, padahal beliau diselundupkan untuk membelokan reformasi dan menyelamatkan regim ORBA! Untuk ini baca artikel di web site di seksi Pesan Penutup dibawah.
- Dst. (sampai dengan sekarang, politik kambing putih terus dilaksanakan)

Saat ini kedudukan politik regim ORBA dan Bablasannya amat sangat kuat, lihatlah posisi: Yusril (kesayangan Soeharto) menjadi Setneg (powerful sekali dalam memfilter informasi ke presiden SBY); Miranda Gultom (kepala BI) dan Anwar Nasution (ketua BPK): untuk melindungi ORBA dari segi keuangan atas kasus BLBI, dan kasus besar lainnya (terutama di BUMN), agar sulit terungkap, padahal mengungkap KKN itu mudah sekali, cukup mempelajari histori rekening para pejabat dan tersangka secara mendalam dan tuntas, nah disinilah faktor keamanan regim Soeharto terjamin oleh Miranda Gultom dan Anwar Nasution; Jimmly Asidiqi (ketua MK): untuk melindungi ORBA dari segi hukum, agar berbagai kasus pelanggaran HAM berat sulit terungkap; dan seterusnya …masih banyak sekali. Mereka ini, pelacur intelektual sekaligus akademisi selebritis dari UI, selalu dikonotasikan pandai dan bersih dalam mass media, padahal sebaliknya!

Saat reformasi (1998) papan tulisan di Kampus UI Salemba yang berjudul: KAMPUS PERJUANGAN ORDE BARU ditutup kain hitam, tanda malu dan berkabung; mungkin sekarang sudah dibuka lagi dan ditulis ulang sebagi: “KAMPUS PERJUANGAN ORDE BARU DAN BABLASANNYA, MENERIMA ORDER PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT WALAU UNTUK MERUSAK BANGSA SENDIRI.”

Sebaliknya, Kambing Hitam adalah strategi memberikan gelar yang sangat negatip agar mereka tidak laku dimasyarakat (character assasination); contoh politik kambing hitam adalah: di PKI kan, dikonotasikan radikal (Munir, Budiman Sujatmiko, Ditasari, dst), dikonotasikan agen asing (Hendradi dan NGO/LSM yang baik dan bermoral).

Menonton TV (dan mendengarkan radio) di Indonesia harus waspada; sebab banyak skenario dibelakangnya/terselubung; pada umumnya untuk membentuk opini yang pro Regim ORBA dan bablasannya. Semakin sering seorang cendekiawan/akademisi/pengamat muncul di TV, kita harus semakin waspada pada orang itu (alat Regim ORBA dan bablasannya dan moralitasnya perlu diragukan)! Sebaliknya, semakin jarang, semakin dapat dipercaya ke idealismeannya! Sebagai contoh: pernah terjadi dialog yang sangat menggelikan, WS Rendra tidak bisa dikontrol pembicaraannya oleh Salim Said (pengamat militer, alat ORBA) dan Anhar Gogong (pengamat sejarah, alat ORBA); WS Rendra terus nerocos membahas rusaknya kebudayaan kita akibat ORBA! Sejak saat itu, WS Rendra tidak pernah muncul lagi di dialog Televisi! Jangan harap kita disuguhi dialog yang sering dengan orang yang bermoral baik dan idealis seperti: Kwik Kian Gie, Mochtar Prabotinggi, Hendradi, Teten Masduki/tokoh ICW, Dita Sari, Wardah Hafidz/ketua UPC, Munir, Jeffry Winters, Budiman Sujatmiko, Faisal Basri, dst. Seandainya mereka muncul, slot waktunya paling hanya singkat dan amat jarang; mereka dimunculkan kadang2 saja hanya untuk sekedar mengelabui bahwa stasiun TV tsb. adalah netral, padahal tidak!

Pesan Penutup

Dengan keterlibatan USA dalam kupdeta 1965, semestinya para kurban PKI mempunyai alat jitu dengan membuat masalah ini menjadi masalah internasional dengan strategi tidak hanya menuntut regim militer Soehato, melainkan juga menuntut USA! Tentu saja dengan melibatkan NGO level internasional; sayang sekali nalar para kurban 1965 belum sampai kesitu! Dengan internasionalisasi masalah HAM berat, maka kans untuk membawa ybs. ke kebenaran dan keadilan akan mudah terlaksana! Karena visi/misi para konspirator/mafia 1965 (yang saat ini banyak yang sudah berusia diatas 60 th.) adalah: ”Jangan berani mengungkit masa lampau kami dan hormati kami s/d kami meninggal. Setelah kami meninggal silahkan buka borok2 kami dan luruskan sejarahmu. Kalau kami masih hidup, jangan sekali-kali kau berani melakukannya, atau negara ini akan kami obok2 sampai manusianya mabok. Hanya dengan bunga uang kami (hasil curian/merampok) yang disimpan di luar negeri, kiranya sudah cukup untuk mengobok-obok Indonesia! Ketahuilah dengan samar2 bahwa TNI AD, Kepolisian, Badan Intelijen dan Lembaga Peradilan masih dalam cengkeraman kami. Selain itu, telah kami tempatkan penjaga setia kami yaitu para pakar/pelacur intelektual di posisi yang strategis!”. Memahami misi mereka, maka upaya membawa mereka ke justice, kalau hanya level dalam negeri, hanya akan sia2 saja! Demikian pula dengan kasus pelanggaran HAM dan KKN berat yang lain!

Sebagai penutup, tulisan diatas diambil dari artikel karangan Kwik Kian Gie di Jawa Pos, edisi pertengahan Agustus 2005, dengan sedikit tambahan. Bila anda merasa artikel ini bagus dan bermanfaat untuk mencerdaskan kebudayaan bangsa Indonesia, maka mohon diteruskan keseluruh penjuru Indonesia dan dunia.

Penulis juga berharap agar tulisan ini jatuh ketangan para mahasiswa aktivis di ITB, UI, UGM dan IPB, dengan maksud agar mereka menyadari/memahami bahwa banyak dosen mereka yang menjadi oknum kelas berat (level nasional atau bahkan internasional) dan yang sepantasnya dijadikan musuh bangsa!

Dan bagi anda yang mempunyai: inteligensi, idealisme, moral dan etika yang baik, keprihatinan akan krisis di Indonesia, serta kemampuan menulis, kami menghimbau anda untuk menulis di Internet yang bebas, kritis, lugas dan pembacanya mencapai seluruh dunia! Selamat berkarya.