belom ada judul

on Selasa, 02 Desember 2008

DALANGNYA PKI, SOEHARTO, CIA ATAU . . .

DEMIKIAN beberapa baris terakhir sajak berjudul "Catatan Tahun 1965" yang
ditorehkan penyair Taufik Ismail. Sajak itu pula yang dibacakan Harry Tjan
Silalahi, anggota Dewan Kehormatan CSIS (Centre for Strategic and
International Studies) untuk menggambarkan suasana tanah air tahun 1965,
pada diskusi terbatas "Gerakan 30 September 1965" di Aula Redaksi HU Pikiran
Rakyat, Kamis (26/9).

Selain Harry Tjan, diskusi yang dibuka Wapemhared HU Pikiran Rakyat H.
Widodo Asmowiyoto dan dipandu Redaktur Opini Abdullah Mustappa, diikuti pula
sejarawan A. Mansur Suryanegara, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat, Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S., dan peneliti LIPI, Dr. Asvi
Warman Adam.

Suasana konfrontasi yang mencapai puncaknya pada penculikan dan pembunuhan
tujuh pahlawan revolusi itu, kata Harry Tjan, sebenarnya sudah dapat
dirasakan jauh sebelumnya. Dia juga merasa yakin, peristiwa berdarah 30
September 1965 atau kemelut yang traumatik itu merupakan perbuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI).

Karena keyakinannya itu pula Harry menyayangkan kecenderungan penulis
sekarang menghilangkan kata PKI menjadi G30S semata, bukan G30S/PKI. "Buat
saya ini tidak benar sebab saya sangat yakin, tragedi berdarah itu kerjaan
PKI," ujarnya.

Meski demikian, sejauh mana keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S masih
menjadi persoalan. Apakah sebagai organisasi atau hanya terbatas pada
orang-orang tertentu, sangat debatable. Akan tetapi, bila melihat sistem
demokrasi sentralistik yang dianut PKI, kata Harry, harus dianggap bahwa
secara mendalam PKI terlibat, walau barangkali keputusannya hanya berada di
tangan Polit Biro; Ketua Aidit dan Biro Khususnya. Dengan demikian, kasihan
nasib orang-orang kecil anggota PKI dan ormas-ormasnya seperti Sobsi,
Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, yang menjadi korban karena percaya pada
Demokrasi Sentralisme-nya PKI.

"Penyebutan G30S dengan embel-embel kata 'PKI' didasari pemikiran, tidak
mungkin itu bisa digerakkan oleh sebatas Kol. Untung. Tidak mungkin, karena
ujung-ujungnya berada pada ideologi. Dalam lingkungan petinggi PKI, boleh
jadi saat disetujui Aidit, otomatis menjadi keputusan partai. Apalagi dalam
PKI itu dikenal istilah demokrasi sentralisme," ujarnya.

Menurut Harry, peristiwa G30S/PKI itu dimulai ketika Manipol Usdek diterima
sebagai haluan negara. Bung Karno lantas mulai mengarah ke kiri. Manipol
Usdek menjadi arah revolusi yang kekiri-kirian, kemudian diperkuat dengan
Resopim/RIL (Revolution, Ideology dan Leadership). Bung Karno pun praktis
mengemudikan arah negara secara tunggal.

Dalam suasana global berupa perang dingin yang memuncak, Bung Karno sangat
gandrung terhadap New Emerging Forces, yang antinekolim,
imperialisme-kapitalisme. Peluang ini dimanfaatkan PKI atau kelompok kiri.
Mereka pun mempersiapkan dan melatih Pemuda Rakyat di Lubang Buaya dengan
dalih mendukung Dwikora: Malaysia. Jargon "Ganyang Malaysia" yang banyak
disuarakan saat itu, rupanya menjadi kedok bagi PKI untuk melakukan aksi
terhadap rezim berkuasa.

"Saya secara pribadi menangkap isyarat-isyaratnya. Kurang lebih seminggu
sebelum peristiwa itu, saya bersama Pak Kasimo, Duriat dan Cosmas Batubara
membicarakan hal ini dengan Menko Polkam Pak Nasution, juga dengan Pak
Jusuf, Menteri Perdagangan. Jadi kalaupun tragedi itu terjadi bukan karena
kita tidak tahu, tapi karena kita lengah. Kita tahu bakal ada sesuatu yang
terjadi, tapi tidak tahu kapan itu terjadi," katanya.

Walau demikian, Harry tidak setuju terhadap pembantaian terhadap anggota
atau masyarakat yang dituduh PKI pasca-G30S, terutama yang terjadi di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, di Jawa Barat, di bawah Pangdam
Siliwangi Ibrahim Adji, penataan pasca G30S bisa dibilang tanpa menimbulkan
korban jiwa. PKI pun bubar.

Bandung memerah

Selaku salah satu saksi dan pelaku sejarah saat itu A. Mansur Suryanegara
mengungkapkan Bandung sempat diwarnai warna merah menjelang peringatan 10
tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1965. Bendera merah yang
bertuliskan Nasakom memerahkan Bandung saat itu, bahkan bendera tersebut
lebih menunjukkan komunis dengan menuliskan nasaKOM.

Situasi seperti itu mendorong Mansur menghimpun kekuatan dan memimpin
Gerakan Anti-Nasakom di Bandung. Setelah menjadi Sekretaris Umum Kesatuan
Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), ia ikut pertempuran malam di Tugu
Selamat Datang agar proses penghancuran komunis lebih cepat.

Kendati demikian, ia mempertanyakan apakah peristiwa G30S betul-betul murni
terjadi karena benturan kepentingan Angkatan Darat dengan komunis. Yang
pasti, kata Mansyur, sebelum terjadi peristiwa G30S, Presiden Soekarno
sempat berniat membubarkan HMI. Oleh karena itu, ia bersama rekan-rekannya,
termasuk Amien Rais, menggagas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai
suatu wadah tempat "hijrah" para mahasiswa jika Presiden Soekarno jadi
membubarkan HMI.

Mansur setuju di antara Soekarno dan Soeharto tidak pernah terjadi perbedaan
pendapat. Soekarno juga bukan seorang komunis. Setelah terjadi G30S, Bung
Karno ikut membalikkan komunis. Akan tetapi, ia melakukannya tidak secara
langsung.

"Filsafat Jawanya membuat dia menyerahkan hal itu kepada Soeharto.
Soehartolah yang diberi Supersemar, suatu bahasa politik untuk Indonesia dan
dunia internasional bahwa Soekarno tidak pernah membubarkan komunis
melainkan Soeharto," tuturnya.

Mengenai sosok Soeharto, Mansur menilai mantan presiden tersebut sebagai
tokoh pembalik sejarah tahun 1966. Jiwa juang Soeharto adalah memberantas
komunis. Bahkan ia dipandang sebagai penghancur komunisme yang paling besar
di dunia.

Menurut Mansur sekarang ini ada kesan tidak relevan lagi menilai Soeharto
sebagai pahlawan karena anak-anaknya tidak benar. "Tidak bisa orang
memenggal sejarah, pembaharu tidak mungkin memenggal sejarah. Soekarno
menyebut diri pemimpin besar revolusi, pintar dengan filosofi kejawaan yang
sangat tinggi. Soekarno adalah sipil yang berbaju jenderal (tentara),
sebaliknya Soeharto adalah tentara yang berbaju sipil," katanya.

Masih banyak misteri

Sejarawan LIPI Dr. Asvi Warman Adam menilai meski sudah lama berlalu, G30S
1965 masih menyimpan banyak misteri karena semasa pemerintahan Soeharto
nyaris tidak ada riset baru di dalam negeri mengenai peristiwa itu, kecuali
yang mendukung versi pemerintah.

Menurut Asvi G30S bukan semata gerakan yang berlangsung dalam satu hari,
melainkan sebuah trilogi yang saling terkait, yaitu peristiwa G30S sendiri,
lalu pembantaian pascagerakan terhadap orang-orang kiri secara tidak
manusiawi pada tahun 1965-1966, dan penahanan ribuan orang di pulau Buru.
"Jadi jangan berhenti pada kejadian tahun 1965 saja," ujarnya.

Asvi menolak pula istilah Gestapu yang dilansir Noegroho Notosoesanto (alm.)
atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) versi Soekarno. Gestapu mengambil istilah
dari Gestapo pada zaman Hitler. "Saya juga tidak setuju pencantuman PKI pada
G30S," tandasnya.

Saat ini terdapat sejumlah versi terhadap peristiwa 30 September 1965, yaitu
bahwa itu dilakukan para elite PKI, versi bahwa Soekarno juga terlibat,
keterlibatan intelijen Amerika Serikat CIA, keterlibatan intelijen Inggris
dan Australia, dan terakhir bahwa gerakan itu dilakukan Soeharto sendiri.

Dia juga menilai tidak ada informasi baru dari dokumen CIA berkaitan
peristiwa G30S yang dibuka tahun lalu karena telah berusia di atas 25 tahun.
Terlebih lagi masih ada bagian-bagian dokumen yang ditutup tinta hitam.
Penghitaman tersebut dengan alasan terkait dengan warga AS yang masih hidup.

Hal yang baru adalah G30S tidak semata peristiwa yang berlangsung dalam satu
hari, tetapi ada dampak sosial hingga sekarang. Peristiwa pada 1965 tersebut
berbuntut pada pembantaian yang berlangsung hingga 1966, bahkan di Blitar
(Jatim) pada 1968 masih ada Operasi Trisula yang menimbulkan korban jiwa.
"Pembantaian itu harus diungkap dengan jelas. Ada operasi militer yang
kebablasan," katanya.

Yang patut dicatat, peristiwa pembantaian pasca-G30S itu tidak hanya terjadi
pada anggota PKI. Bisa saja akibat dendam pribadi dan agar tidak dicap
komunis. Oleh karena itu, sebagian ikut membunuh orang yang bukan komunis.
Diakuinya, sedikit buku-buku yang mengungkap pembantaian pasca-G30S.

Ia juga mempersoalkan proses penahanan ribuan tahanan politik di Pulau Buru.
"Bayangkan, di Pulau Buru itu orang dicabut hak miliknya, tidak ada besuk,
dicabut masa depannya dan mereka tidak memiliki kepastian kapan akan
dibebaskan," ujarnya.

Pulau Buru adalah penjara terbesar dalam sejarah Indonesia. Berdasarkan data
tahun 1991, jumlah penjara di Indonesia 35 buah, jumlah penghuni mencapai 29
ribu jiwa. Dari total itu sebanyak 10 ribu orang menghuni Pulau Buru atau
sekira 1/3-nya. "Bayangkan berapa banyak penjara di sana," kata Asvi yang
mengaku banyak orang menilai tulisannya mengenai G30S terlalu kekiri-kirian.

Dia tidak menutup mata, peristiwa G30S telah menimbulkan trauma bagi
putra-putri dan keluarga pahlawan revolusi yang menjadi korban. Menurut
Asvi, Nani Sutojo, anak kedua jenderal Sutojo menyebut, penderitaan tidak
bisa dipertukarkan. Asvi menilai penulisan buku oleh anak-anak pahlawan
revolusi yang berjudul Kunang-kunang di Langit Malam merupakan salah satu
upaya untuk melepaskan tekanan yang mereka alami selama ini.

Buku itu juga menolak dua aspek yang diputarbalikkan oleh pelaku, Misalnya,
mereka menyatakan wajah korban saat itu bersih. Tidak ada mutilasi atau
penyiletan seperti yang ditulis media saat itu. Lantas aspek kedua yang
ditolak adalah memoar Saelan yang mengaku menemukan sumur tempat para korban
dibuang. Sayangnya, buku tersebut kurang menampilkan bagaimana keluarga
korban menjalani kehidupan pascaperistiwa tersebut. Di sisi lain ada buku
yang ditulis dr. Ciptaning yang berjudul Aku Bangga Menjadi Anak PKI.

Dia dapat memahami trauma yang dialami keluarga para pahlawan revolusi yang
menjadi korban G30S. Akan tetapi, trauma dan penderitaan lebih besar justru
dialami keluarga korban pembantaian pasca-G30S, baik pelaku G30S, anggota
PKI maupun orang-orang yang dicap sebagai PKI. "Trauma ini harus dibuka
lebar-lebar supaya tidak ada dendam sejarah," katanya.

Menurut Asvi memang diperlukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
sebagai salah satu pintu untuk menyelesaikan masalah tersebut, meski
diakuinya di berbagai negara tidak bisa selesai mutlak melalui komisi
semacam itu. Akan tetapi, ini merupakan upaya mencoba berdamai dengan
sejarah di tingkat nasional. KKR saat ini prosesnya sudah di Departemen
Kehakiman dan HAM. Diyakini, ini tidak akan tuntas, tetapi paling tidak
hal-hal yang tertutup itu dapat diungkapkan melalui pengalaman-pengalaman.

Pelurusan sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G30S, perlu dilakukan,
bahkan amat perlu. Oleh karena itu, keberadaan KKR sangat penting, terlepas
dari apapun hasilnya nanti. "Sebagai sejarawan, kita harus di tengah-tengah,
meneliti apa yang bagus dan apa yang kurang bagus, dijelaskan apa adanya."

Buku putih

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, Dr. Hj. Nina Herlina
Lubis, M.S., sependapat, lembaran sejarah nasional, khususnya mengenai
peristiwa seputar G30S perlu ditulis ulang. Penulisan kembali (rewriting),
khususnya untuk mengoreksi, meluruskan dan reinterpretasi berkaitan dengan
data baru mengenai G30S.

"Pada 30 Oktober tahun lalu, para sejarawan dari berbagai provinsi berkumpul
di Bogor. Mereka sepakat akan menulis sejarah Indonesia yang baru," katanya.

Menurut Nina, sekarang ini banyak kajian baru dari dalam dan luar negeri
yang mengungkap data baru mengenai peristiwa G30S. Pada 30 September 2002
juga akan diluncurkan buku berjudul Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam.
Buku ini kumpulan tulisan putra-putri dan keluarga pahlawan revolusi korban
G30S, tentang apa saja yang dialami dan disaksikan mereka pada 1 Oktober
1965. Dia juga mengaku, sempat dihubungi putra D.N. Aidit yang kini berada
di Kanada. Putra Ketua PKI tersebut sempat berkuliah di Pertambangan ITB
angkatan 1973.

Dalam waktu dekat, Masyarakat Sejarawan Indonesia akan mengeluarkan buku
putih yang berisi enam peristiwa yang harus diluruskan pada periode Orba.
Keenam peristiwa yang sudah dibuat draftnya adalah: Hari Lahir Pancasila 1
Juni, Serangan Umum 1 Maret, G30S, Supersemar, Peristiwa Timor Timur dan
Lahirnya Orde Baru.

"Soal Supersemar, saksi yang masih hidup masih ada. Ada Harry Tjan, Jenderal
Yusuf, dan Soeharto sendiri. Tapi siapa yang bisa membuka mulut kedua nama
terakhir. Dalam sejarah, kolaborasi harus dilakukan tidak hanya satu sumber.
Setelah Harry bicara, maka perlu juga ditanya Soeharto yang berusaha
menutupi itu, dan tanya juga Yusuf yang berusaha menghindar," paparnya.
Mengenai peristiwa G30S, kata Nina, sekarang ini paling tidak ada empat
versi dalang yang berada di belakangnya. Orang mengatakan dalang yang
pertama adalah PKI. Dalang kedua, Soeharto. Dalang ketiga Soekarno sendiri.
Dalang keempat AS dan Inggris. "Empat kelompok pendapat ini ada
kajian-kajiannya masing-masing," tutur Nina.

Dengan adanya data dan visi baru, lanjutnya, maka reinterpretasi harus
dilakukan, dan rewriting tentang G30S menjadi wajib sifatnya, agar
masyarakat mendapat informasi sejarah yang mendekati kebenaran.

Menurut dia, para sejarawan yang saat ini bisa menemukan kebebasan
akademisnya kembali memang dituntut untuk bisa menggali sumber-sumber
sejarah baru agar bisa melakukan reinterpretasi dan rewriting peristiwa
tersebut.

Sumber yang digali bukan saja sumber resmi pemerintah, tapi juga berbagai
pihak, termasuk keluarga atau keturunan anggota PKI yang selama ini merasa
menjadi korban ketidakadilan akibat adanya cap tidak bersih lingkungan.
Sehingga mereka sulit mendapat pekerjaan atau aktivitas sosial lainnya.
Tentu saja semua sumber itu harus diperlakukan sama, yaitu dengan
memperhatikan metode kritis dalam sejarah. "Sebagai sejarawan, kita harus
objektif dan menjauhkan sikap empati, kesedihan. Jangan memberikan value
judgement. Analisis harus dilakukan secara kritis, karena para putra korban
masih kecil saat peristiwa terjadi

0 komentar: