HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

on Rabu, 14 Januari 2009

TUGAS TERSTRUKTUR
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
KOMENTAR ATAS KASUS DAN ARTIKEL MENGENAI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
By Aing urang banjaran kabupaten Bandung.nyaho teu sia?

KASUS 1

Seorang (WNI) menikah dengan WNA Prancis di Jepang. Mereka berdua beragama Kristen Katolik, tetapi mereka tidak melangsungkan perkawinan menurut hukum agama (pernikahan di gereja). Perkawinan ini telah didaftarkan di kedutaan besar masing-masing di Jepang. Mereka masih akan berdomisili di Jepang dalam minimal 1-2 tahun mendatang. Setelahnya, mereka masih belum memutuskan, tetapi mereka sepakat bahwa anak di kemudian hari akan dilahirkan dan dibesarkan di Prancis.
A Permasalahan
Setelah melihat kasus diatas, kemudian muncul permasalahan, sebagai berikut:
1.Apakah permasalahan diatas termasuk permasalahan HPI? Kalau termasuk dalam HPI bagaimana mengkualifikasikan fakta-faktanya?
2.Mengenai status kesahan perkawinan mereka menurut hukum perkawinan Indonesia:
a.Menurut UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, apakah perkawinan tersebut belum sah karena belum didaftarkan di Catatan Sipil di Indonesia (walaupun telah didaftarkan di Kedubes Indonesia di Jepang)? Apakah proses pencatatan sipil hanya bisa diadakan di Indonesia, dan harus dihadiri oleh kedua belah pihak yang menikah?
b.Apakah kerugian dan keuntungannya jika mendaftarkan catatan sipil di Indonesia? Jika tidak mendaftarkan catatan sipil, apa saja konsekuensi negatifnya, khususnya terhadap anak yang dilahirkan kelak, terutama dalam kejadian misalkan perceraian atau salah satu pihak meninggal?

PEMBAHASAN
Sebelum membahas lebih lanjut, kita harus mengetahui lebih dahulu apakah permasalahan ini termasuk HPI atau tidak. Kalau kita melihat berdasarkan kualifikasi dari fakta-fakta yang ada, yaitu berbedanya dua sistem hukum yang berbeda, hukum indonesia dan hukum jepang, serta perbedaan kewarganegaraan diantara para pihak (WNI dan WNA). Maka dengan adanya unsur asing tersebut, permasalahan diatas termasuk dalam masalah HPI.
Perkawinan antar warga negara Indonesia dengan Warga Negara Asing selama memenuhi syarat-syarat hukum Indonesia boleh dilakukan berdasarkan pasal 57-62 UU No. 1 tahun 1974.  Pertama-tama harus diketahui lebih dahulu bahwa perkawinan WNI yang dilangsungkan di Luar Negeri berlaku Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara dimana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini Hukum Jepang. Hukum Perkawinan Jepang, lewat Horei Law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan tersebut secara formil telah sah. 
Tapi pelaksanaan pasal 56 tersebut harus didahului oleh pelaksanaan pasal 60 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan untuk setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan oleh UU No. 1 tahun 1974. Syarat materiil yang harus dipenuhi adalah menikah tidak dalam paksaan, cakap bertindak yaitu berusia 15 tahun keatas dan berpikiran sehat, tidak sedang terikat dalam perkawinan, atau telah lewat 300 hari sesudah putusnya perkawinan lama.  
Konsepsi perkawinan yang harus dianut adalah bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga  yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena konsepsi ini, perkawinan di Indonesia haruslah sah menurut hukum agama. 
Apabila dikaitkan dengan HPI, berdasarkan pasal 16 dan 18 AB. Pasal 16 AB mengatur bahwa status personal seseorang menentukan hukum yang berlaku bagi dirinya, dalam hal ini dimanapun WNI itu berada maka perkawinannya harus tunduk pada hukum di indonesia. Pasal 18 AB mengatur bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana tindakan hukum itu dilakukan. Berdasarkan pasal 16 AB hukum yang berlaku bagi WNI yang akan melangsungkan perkawinan di luar negeri diatur dalam pasal 56 (1) UU No.1 tahun 1974. Kemudian yang diatur dalam pasal 18 AB maka yang berlaku adalah hukum jepang. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 16 jo pasal 18 AB maka perkawinannya adalah sah.
Setelah sah berdasarkan hukum agama barulah muncul keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil. Kedutaan Besar bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil yang harus didatangi adalah Catatan Sipil Jepang, bukan catatan sipil Indonesia. Akta yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil Jepang berlaku universal, tapi agar dapat memiliki akibat hukum di Indonesia, perkawinannya harus didaftarkan ke buku pendaftaran di Perwakilan RI dan dilaporkan ke Catatan Sipil Indonesia, yaitu di wilayah asalnya (misalnya: Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, Bogor, Bekasi, dst). 
Pelaporan perkawinan selayaknya memang dihadiri oleh kedua mempelai secara langsung. Namun jika tidak ada rencana kembali ke Indonesia dalam waktu dekat, mungkin pemberian kuasa khusus kepada advokat atau konsultan hukum dapat dipertimbangkan sebagai opsi. 
Keuntungan melaporkan perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri di Indonesia baru terasa kelak apabila ingin bercerai. Jika perkawinan anda sah dan telah dilaporkan, pengadilan Indonesia akan tanpa ragu menerima permohonan cerai. Jika tidak dilaporkan, ada kemungkinan Pengadilan Indonesia menyatakan tidak berwenang terhadap permohonan cerai, sehingga untuk melaksanakan perceraian digunakan hukum jepang.
Status anak dari hasil perkawinan campuran itu, merupakan anak yang sah karena dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Terhadap anak, pelaporan perkawinan juga diperlukan sehingga status dwikewarganegaraannya diketahui. Lalu dengan diketahuinya status dwikewarganegaraan, anak tersebut nantinya dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan WNI lainnya seperti misalnya memiliki tanah. Jika status WNInya tidak diketahui, ia nantinya akan kesulitan untuk menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut tanah atau apapun yang dibatasi untuk orang asing. 

0 komentar: